Presiden Joko Widodo telah
mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000
per liter pada 17 November 2014. Kebijakan pemerintah ini diwarnai aksi
penolakan oleh mahasiswa di berbagai daerah, termasuk segelintir mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Namun, isu kenaikan BBM di kampus UIN Syarif
Hidayatullah kalah heboh dengan isu Pemilihan
Raya (Pemira) yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Mahasiswa disibukan
dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan pemira. Cari dukungan sana-sini gencar
dilakukan para mahasiswa yang berkepentingan dalam pemira.
Ironis memang, ketika kebijakan pemerintah yang
menyangkut kehidupan masyarakat banyak ditanggapi secara dingin. Sementara Pemira
yang hanya untuk kepentingan kelompok tertentu mendapat porsi lebih.
Tampaknya para mahasiswa yang sibuk dengan kepentingan
politik praktis ala kampus ini sudah lupa dengan fungsinya sebagai kontrol
sosial. Padahal, peran mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat sangat
diperlukan ketika keadaan tak lagi berpihak kepada rakyat kecil.
Kenaikan BBM secara otomatis memengaruhi
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Keadaan ini tentu tak
menguntungkan rakyat. Dengan alih-alih menaikan BBM untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, kebijakan yang dibuat rezim komprador ini jelas lebih
banyak merugikan rakyat.
Meski telah ditetapkan, kebijakan tersebut
perlu ditanggapi serius dengan terus menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga
BBM bersubsidi. Kami juga menyerukan kepada seluruh kawan-kawan mahasiswa agar
ikut menyuarakan penolakan, walau hanya dengan beberapa patah kata.
Untuk itu, kami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Journo Liberta Konsentrasi Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah secara tegas mengatakan, “Menolak kenaikan harga BBM
bersubsidi”. Salam redaksi. Hidup rakyat..Hidup Mahasiswa!
0 Komentar