Orasi budaya oleh mahasiswa dalam deklarasi menolak Pabrik Semen PT. Semen Indonesia di Rembang, Senin (13/4/2015). |
Menjelang Sidang putusan pada 16 April 2015 atas gugatan terhadap izin
lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah di PTUN Semarang, aksi penolakan Pabrik Semen PT. Semen
Indonesia belum padam. Kali ini penolakan
pabrik semen dilakukan melalui pembacaan deklarasi oleh sejumlah mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang tergabung dalam Forum Emperan Budaya, Senin
(13/4/2015).
Bertempat di Basement Fakultas Ushuluddin, deklarasi penolakan pabrik semen
dibacakan oleh Selamet Widodo, mahasiswa asal Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ada
empat tuntutan yang disampaikan dalam deklarasi bertajuk ‘Jakarta Melawan Semen’
itu. Pertama, pemerintah segera membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan
izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. (Baca:Masyarakat Butuh Air, Bukan Semen)
Kedua, menolak pabrik semen dan mendesak semua penegak hukum memberikan
putusan seadil-adilnya. Kemudian, akan terus mengawal dan memberikan dukungan
serta solidaritas kepada warga di Karst Kendeng, agar terus menolak pembangunan
pabrik semen. Keempat, mengajak seluruh elemen bersatu membangun solidaritas
dan soliditas menolak eksploitasi alam.
Dalam kesempatan itu, hadir pula Grup Band Punk Marjinal yang ikut
menyuarakan penolakan pabrik semen di Rembang. Vokalis Marjinal, Mike
mengatakan pembangunan Pabrik Semen PT. Semen
Indonesia di Rembang hanya akan mewarisi kehancuran. Pabrik semennya mungkin hanya bisa menjaga
satu generasi, tapi ketika gunung kapur itu telah habis, maka hanya kehancuran
yang diwarisi,” kata pria bertato ini. (Baca: Pembangunan Pabrik Semen di Rembang Tak Perhatikan Aspek Lingkungan)
Tapi, lanjut Mike, dengan pertanian bisa menghidupi lintas generasi sampai
akhir hayat. “Ketika gunung kapur habis, habis pula kepentingan mereka (PT.
Semen Indonesia),” Ungkapnya.
Menurut Mike, penolakan pabrik semen bukan perlawanan tanpa alasan, sebab
ibu-ibu di sana berada di tenda selama hampir setahun guna mempertahankan
tanahnya. “Mereka juga ingin berada di rumah, tapi mereka berjuang sampai detik
ini untuk menandai suatu perjuangan yang mereka yakini akan mewakili kehidupan
dan generasi mereka,” jelasnya. (Baca: Tolak Pabrik Semen di Rembang, Tolak Konversi Lahan)
Selain deklarasi, acara yang bertepatan dengan 302 hari ibu-ibu Rembang
berada di tenda perlawanan itu juga diisi dengan penampilan Marjinal, orasi
budaya, dan penggalangan petisi foto. Nantinya petisi itu dipublikasikan
melalui media sosial sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat Rembang.
(KR/Sri Mulyawati)
1 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus