![]() |
Pemeran Dawala dan Hilanngya Kalimasada saat berpentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, (24/11/2016). |
Lampu pertunjukan mulai menyala menyinari
panggung. Dekorasi bertema wayang menambah kentalnya nuansa cerita. Lampu
panggung mati sejenak, dan saat menyala dua buah wayang gunungan muncul di tengah
panggung saling menyilang satu sama
lain. Alunan musik Gambang Kromong terdengar mengiringi sambutan dari dalang.
Diceritakan jimat kalimasada yang menjadi
pusaka penjaga kerajaan Amarta telah dicuri Dewi Mustakaweni. Para Pandawa
selaku penguasa Amarta pusing tujuh keliling mencari solusi mengembalikan
pusaka tersebut.
Di tempat yang lain, tempat ibadah Eka yang tengah dibangun di
Amarta tak kunjung rampung pasca dicurinya jimat kalimasada. Di waktu yang
lain, Bambang Priambada yang tengah menuju Amarta untuk mencari Ayahnya, Arjuna, bertemu Srikandi yang memberi tugas
padanya untuk mencari pencuri jimat kalimasada.
Dibantu Dawala, Bambang berhasil
menemukan Dewi Mustakaweni yang telah mencuri Jimat Kalimasada. Petempuran pun
terjadi. Di tengah pertarungan Bambang mengunci pergerakan Mustakaweni dan
menyuruh Dawala mengambil jimat tersebut. Namun, hasutan dari bataraguru, raja kahyangan,
menyebabkan Dawala membawa lari jimat tersebut ke Kerajaan Lojitenggara.
Dawala yang dipenuhi kesombongan menantang
Raja Kerajaan Lojitenggara dan balatentaranya adu kekuatan. Dengan kekuatan
jimat kalimasada, Dawala berhasil mengalahkan mereka dan menduduki kerajaan tersebut. Setelah dipimpin Dawala, Lojitenggara menjadi makmur
melebih amarta dan kerajaan lain. melihat keadaan kerajaannya, Dawala menyuruh Prabu Jaya Wijaya yang kini menjadi
wakil rajanya untuk menuliskan surat pada para pandawa untuk memisahkan diri.
Itulah sepenggal kisah
Dawala dan Hilangnya Jimat Kalimasada dalam pementasan drama kelompok teater
El-Nama di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Kamis (24/11/2016). Kolaborasi antara cerita pewayangan
dengan wayang orang betawi, serta sisipan lelucon menjadikan cerita ini menarik
dan tak membosankan.
Achmad “Echo” Chotib,
sutradara teater El-Nama mengatakan, ide awal cerita tersebut muncul dari keingintahuannya
tentang akar budaya betawi.
”Saya tertarik dengan seni budaya Betawi
karena rasa keingintahuan saya
sebagai orang Betawi yang dibesarkan secara urban. Saya
sudah banyak bersentuhan dengan beragam tradisi, seperti Betawi, Jawa dan Sunda.
Sementara untuk tradisi betawi sendiri hanya sedikit yang saya tahu,” ucapnya.
Echo mengatakan konsep yang
mereka buat dalam tiap cerita selalu mengabungkan unsur kedaerahan yang tak
lepas dari nilai-nilai dakwah. Ia menambahkan memang kebetulan teater
El-Nama selalu mementaskan pertunjukan yang bernilai religius. Mulai dari Hamlet, Kocak
Kacik, hingga Ora Somong selalu memiliki unsur religius
yang sudah menjadi ciri khas mereka.
Di samping itu, latar cerita yang berganti ganti
serta menyatukan unsur wayang orang betawi dalam cerita pewayangan merupakan
sebuah tantangan tersendiri baginya dan kru El-Nama. ”Itu
adalah tantangan saya pikir.kemudian juga karena ini adalah opera, opera wayang
orang Betawi.wayang Betawinya aja orang belum tentu kenal kan? sedikit orang
kenal wayang orang betawi,” jelasnya.
Kelompok El-Nama merupakan salah satu dari 265 grup teater
yang mengikuti acara tahunan Festival Teater Jakarta 2016 (FTJ) dengan tema transisi. Acara yang diadakan dari tanggal 21 november hingga 9 desember ini
mengadakan berbagai acara dari pertunjukan teater, workshop, hingga fotografi.
(Bismar Reza Araisyi)
0 Komentar