Seiring perkembangan zaman, masyarakat menjadi lebih
mudah untuk memperoleh suatu informasi. Melalui media massa, berbagai
pengetahuan dapat dengan mudah diperoleh.
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis,
dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal
ini ditujukan agar masyarakat sebagai konsumen media (termasuk
anak-anak), menjadi sadar tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Menurut Helmi Hidayat, Dosen Jurnalistik Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, media di dunia, mengikuti dua mahzab, Mahzab Frankfurt dan
Mahzab Chicago. Kemunculan dua aliran tersebut bermula dari perbedaan pendapat
di kalangan tokoh-tokoh ilmu komunikasi. Mazhab Frankfurt berorientasi kepada kehidupan
sosial dan budaya, sedangkan Chicago mengarah kepada politik dan ekonomi.
Saat ini, berbagai media terutama televisi,
mengarah kepada kedua aliran tersebut. “Dan saya pro kepada
mahzab Frankfurt,”
kata Helmi, saat berbincang dengan Crusita Maharani dari LPM Journo liberta di ruangannya, Rabu
(31/11/2016).
Berikut hasil wawancaranya :
Menurut
anda apa itu literasi media?
Tingkat keterbacaan media, literasi media sebenarnya
menuju kepada media cetak. Namun, kepada media lain juga disarankan. Misalnya,
jumlah warga Indonesia mencapai 250 juta, sementara majalah kompas terbit tidak
sampai satu juta, jika dikumpulkan semua Koran di Jakarta hanya 5-10 juta
oplah. Artinya satu Koran dibaca empat orang dikali 10 juta berarti baru 40
juta orang yang membaca berita, sedang yang lain tidak membaca. Itu namanya
literasi media.
Apa
tujuan literasi media ?
Tujuannya, kita ingin mengetahui seberapa tinggi minat
masyarakat dalam membaca koran di suatu bangsa. Semakin banyak dia berinteraksi
dengan media, kesimpulannya semakin pintar bangsa itu.
Di Inggris, tabloid The
Sun setiap
hari mencetak 4 juta oplah. Jika satu
tabloid dibaca empat orang, maka sudah 16 juta orang yang membacanya. Itu hanya satu tabloid, belum lagi tabloid
lainnya. Bisa dibayangkan warga inggris berjumlah tidak sampai 100 juta,
berarti hampir rata-rata membaca koran.
Artinya bila pemerintah mengumumkan hal yang penting, lalu
disaksikan dan diragukan, tidak semua orang dapat menonton televisi dan mendengar
radio. Menggunakan koran saja, semua bisa membacanya. Betapa terjaminnya sebuah
bangsa, atau sebuah negara yang masyarakatnya selalu membaca koran. Itulah pentingnya
sebuah analisis literasi media.
Syarat
media yang di nilai baik itu seperti apa? Khususnya media televisi?
Kalau media televisi, saya cenderung seperti apa yang
disampaikan oleh mahzab Frankfurt dalam media. Mahzab frankfurt lawannya adalah
mahzab Chicago. Di dalam sosiologi media massa kedua mahzab ini saling
bertentangan. Saya pro kepada mahzab Frankfurt.
Contoh media yang menganut Mahzab Frankrut?
Sebagian stasiun televisi mencoba beralih kepada
mahzab Frankfurt dan sebagian lagi masih bermahzab Chicago. Saya memberi contoh
kepada NET tv. Saya menyukai sinetronnya, cara mengemas berita, kemudian entertainmentnya, infotainmentnya. Semua bagian dari NET tv seperti
yang disarankan oleh mahzab Frankfurt.
Jadi, apa peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal ini?
KPI itu hanya sebagai komisioner yang dibentuk untuk
mengawasi bukan mendidik. Tetapi dengan tegurannya itu KPI mendidik. Ketika dia
menegur, seperti “hei, kamu jangan begitu, mestinya begini” kata-kata “mestinya
begini” itu bersifat mendidik. Sebenarnya media televisi juga mengerti karena
itu adalah dunia mereka. Tetapi KPI bukan lembaga pendidikan, dia adalah watch dog, pengamat saja yang memberikan warning ketika terjadi pelanggaran.
Jadi KPI berperan, namun KPI bukan segala-galanya. Dia
bukan pendidik. KPI lebih tepatnya adalah pengawas, caranya dengan membuat
opini untuk survey kepada media
tertentu.
Permasalahan-permasalahan
dalam media televisi itu seperti apa?
Sebenarnya televisi itu dilema, karena fungsi media televisi
itu to inform , to educate, to
entertainment, to control. Jadi, bagaimana televisi itu bisa menjalankan keempat
fungsinya.
Bagaimana cara masyarakat
menyikapi literasi media?
Masyarakat tidak bisa berharap banyak dari media, karena
masyarakat itu beragam, tidak semua orang jebolan komunikasi. Jangankan untuk
orang yang tidak terdidik, bahkan orang yang terdidik pun semisal insyinyur,
dia tidak akan tahu masalah komunikasi. Karena , masyarakat mungkin hanya bisa
mengkritik “ tv jangan begitu dong” “terus gimana?” “pokonya jangan begitu deh”
jadi masyarakat itu tidak tahu jalan keluarnya. Masyarakat hanya bisa
menyampaikan saran, tanpa terjun langsung untuk memberi peneguran kepada media,
karena masyarakat begitu luas dan beragam.
(Crusita Maharani)
0 Komentar