Dunia maya kita sedang dilanda penyakit hati. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi, seperti hoax, desas-desus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti.
Itulah sepenggal surat
terbuka yang disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim
Syaifudin dalam Seminar Nasional di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution, Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Acara yang mengangkat
tema Hoax di Media Massa dan Media Sosial, Pergulatan Antara Fitnah dan
Tanggung Jawab Nasional itu merupakan kerjasama antara Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) dengan Asosiasi
Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (Askopis).
Dalam seminar tersebut, Direktur Jendral (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Rosarita
Niken Widyastuti mengatakan, hampir
seluruh dunia sudah terhubung dengan internet. Populasi Masyarakat dunia yang
mencapai lebih dari 7,3 milyar 46 persen
di antaranya adalah pengguna internet. Kemudian, yang aktif di media sosial
mencapai 31 persen.
Sementara di Indonesia,
dari total populasi 259,260 juta jiwa, 130 juta lebih adalah pengguna internet. 30
persen di antaranya pengguna media sosial.
“Pengguna media sosial di Indonesia
setiap hari bertambah. Laporan dari Kominfo, database yang menggunakan internet ini sangat banyak. Tetapi,
penggunaannya kebanyakan justru digunakan untuk hal-hal yang negatif,” jelas
Rosarita.
Rosarita juga
mengungkapkan, selama tahun 2016 lalu Kominfo telah menutup 800 ribu situs
negatif. Di antaranya situs pornografi, situs hoax, situs kebencian, radikalisme
dan lain sebagainya.
“Masyarakat ternyata juga berpartisipasi dalam menangkal
hoax, yaitu dengan aplikasi turnbackhoax
dari Mastel, kemudian dari Kominfo kami ada aduankonten@gmail.kominfo.go.id,”
ujarnya.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi
yang juga hadir dalam seminar tersebut mengatakan, boleh saja media sosial
menyebarkan berita, asal dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Sementara yang
terjadi sekarang, informasi dari media sosial kerap kali tidak benar. Parahnya,
media arus utama pun tak segan mengambil berita dari media sosial tanpa
memverifikasi berita tersebut.
“Di sinilah pentingnya
rukun jurnalis buat para jurnalis. Rukun jurnalis yang pertama yaitu
mengedukasi, kedua verifikasi, ketiga verifikasi, keempat verifikasi, kelima
verifikasi,” tuturnya.
Menurut Imam ada empat
karakter jurnalisme, pertama ada jurnalisme verifikasi, artinya siapapun yang
berbicara ia selalu verifikasi. kedua, jurnalisme pernyataan yaitu jurnalisme
yang hanya menuliskan apa yang dibicarakan oleh narasumber. Selanjutnya
jurnalisme pengukuhan, dalam karakter junalisme seperti ini, jika terdapat
sesuatu dikepala seorang jurnalis, dia akan sampaikan kepada masyarakat dengan
mencari dukungan di lapangan, seperti lewat narasumber misalnya.
Terakhir ada jurnalisme kaum
kepentingan, menurut Imam karakter seperti ini yang sekarang banyak terjadi. Jurnalisme
kaum kepentingan adalah jurnalisme yang memakai media-media kecil termasuk
media sosial. Informasi yang diproduksi adalah informasi hoax, informasi yang
ada kepentingan di dalamnya.
“Kemudian
dilakukan mekanisme diviralkan. 10 orang
yang membuat tetapi 90 persen orang yang menyebarkan. Ketika sudah viral, media mainstream pun malah ikut tertarik mengangkat beritanya,” jelas
Imam.
“Seharusnya pada saat
banjir komunikasi, yang menjadi semacam lilin penerang adalah media mainstream,” tambahnya.
Terkait fenomena hoax di media arus utama, Imam mengatakan Saluran penyebaran hoax di media cetak yaitu 5 persen sementara di televisi 8,7 persen. Meski angkanya terbilang kecil, menurut Imam hal itu termasuk masalah yang sangat serius.
Pada kesempatan itu, Imam
juga mengingatkan kepada mahasiswa untuk menjadi konsumen pers yang cerdas. Dapat
memilah dan memilih berita yang diterimanya.
Menurutnya mahasiswa harus aktif dalam literasi media dan menyadarkan
masyarakat bagaimana bermedia sehat.
Di hadapan peserta seminar, Imam juga menyampaikan komitmen dewan pers untuk terus meningkatkan kinerjanya. “kami dewan pers akan terus menerus menertibkan, memproses, memberikan sanksi etik kepada media yang melanggar kode etik jurnalistik,” janji Imam.
“Kalian harus ingat loh, masyarakat punya hak untuk mengoreksi dan mengontrol media. Sekarang rezimnya bukan lagi penguasa yang mengontrol media, tetapi masyarakat,” kata Imam.
Di hadapan peserta seminar, Imam juga menyampaikan komitmen dewan pers untuk terus meningkatkan kinerjanya. “kami dewan pers akan terus menerus menertibkan, memproses, memberikan sanksi etik kepada media yang melanggar kode etik jurnalistik,” janji Imam.
Mahasiswi Fidikom, Nabila
Indira mengatakan dengan mengikuti seminar ini ia menjadi mengerti,
langkah-langkah yang harus dilakukan ketika menemukan berita hoax. “saya juga
menjadi paham akan peran penting seluruh masyarakat dan pemerintah dalam memerangi
hoax tersebut,” tuturnya usai mengikuti seminar.
(Karmilah)
Baca Juga : Serba-Serbi Hoax
Baca Juga : Hoax Mudah Tersebar Karena Believe System
Baca Juga : Lawan Hoax Bersama Komunitas Masyarakat Anti Fitnah
(Karmilah)
Baca Juga : Serba-Serbi Hoax
Baca Juga : Hoax Mudah Tersebar Karena Believe System
Baca Juga : Lawan Hoax Bersama Komunitas Masyarakat Anti Fitnah
0 Komentar