![]() |
Ilustrasi : Google |
Kekerasan di
lembaga pendidikan kerap kali terjadi, beberapa kasus terjadi di perguruan
tinggi. Seperti kasus Taruna Tingkat Satu Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda Amirullah Adityas Putra, yang tewas karena
dikeroyok lima seniornya menjadi salah satu contohnya. Atau kasus tiga
mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang tewas saat melangsungkan
pendidikan dasar mahasiswa pecinta alam (mapala) dengan dugaan penganiayaan
oleh senior.
Tak hanya itu, di
Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) pun sudah berkali-kali terjadi.
Dilansir dari detik.com, sejak tahun 90-an sampai tahun 2005 tercatat 35 praja tewas. Namun, dari total praja yang
tewas hanya 10 kasus yang terungkap di media.
Tahun 1994 Praja
Madya Gatot kontingen Jawa Timur, meninggal saat mengikuti latihan dasar
kemiliteran. Di dadanya ditemukan bekas kebiru-biruan, dan tulang dada retak. Kemudian
Alvian dari Lampung (1995) dan Fahrudin dari Jawa Tengah (1997) ditemukan tewas
di barak tanpa sebab.
Berikutnya pada tahun 2000, Purwanto dan Obed meninggal
dengan dada retak. Lalu di 1999, Heru Rahman dari Jawa Barat tewas akibat tindak kekerasan. Kasusnya
menjadi sorotan, kemudian kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.
Tahun 2003, Wahyu
Hidayat yang tewas akibat tindak kekerasan. Kasusnya pun ramai diberitakan. Namun,
dari pelanggaran yang terjadi hanya seikit praja yang ditindak tegas.
Tak hanya di IPDN,
STIP pun mengalami hal serupa seperti contoh kasus Amirullah Adityas yang tewas
akibat dianiaya senior pada Januari 2017 lalu. Beberapa tahun sebelumnya pernah
terjadi kasus yang sama, tahun 2015 lalu Daniel Roberto Tampubolon tewas akibat dipukuli dan dipaksa
memakan cabai dalam jumlah banyak. Kemudian di tahun
2014, Dimas Dikita Handoko yang meregang nyawa setelah
menjadi korban kekerasan oleh para seniornya. Lalu
di tahun
2008, Agung Bastian juga tewas setelah dihukum karena dianggap melakukan
kesalahan dalam latihan pedang pora menyambut Agustusan.
Harus Ada Pemonitoran
Kasus kekerasan yang terjadi berulang dalam lembaga pendidikan, menimbulkan pertanyaan yang sampai saat ini
belum terjawab. Apakah fenomena ini merupakan suatu tradisi turun temurun atau
kurang tegasnya hukum di Indonesia dalam menangani kasus tersebut?
Pengamat Pendidikan, Itje Chodidjah berpendapat
bahwa tradisi kekerasan di kampus tercipta oleh keadaan,
di mana
para senior ingin mendapatkan kesempatan untuk memiliki power lebih besar dari juniornya. Hal itu -kekerasan- tidak akan
terjadi jika pemimpin kampus dan jajarannya menindak tegas melalui peraturan-peraturan yang
berlaku.
“Tradisi itu berkembang karena dibiarkan. Untuk memutus mata rantai itu harus ada peraturan dan tindakan tegas.
Monitoring harus dilakukan untuk memastikan tidak ada yang melanggar. Di
tingkat perguruan tinggi tindakan mengeluarkan mahasiswa perlu jika memang tidak
bisa lagi dilakukan pembinaan,” katanya.
Itje mengatakan fenomena kekerasan yang terjadi
bisa jadi berhubungan dengan sistem pendidikan yang belum berpihak pada persiapan peserta
didik untuk
berpikir kritis. Pendidikan saat ini hanya fokus pada materi pelajaran dengan
jumlah banyak dan ujian-ujian.
“Hal ini
menyebabkan siswa sibuk menyiapkan ujian guna mendapat nilai bagus. Celakanya,
sekolah senang dengan angka-angka tinggi yang dihasilkan siswa tanpa menelaah
apakah angka-angka yang dihasilkan menggambarkan kompetensi dan keterampilan
siswa,” jelasnya.
Bukan hanya di
kegiatan formal, kekerasan juga terjadi pada kegiatan ekstra kampus. Seperti kasus
tewasnya tiga mahasiswa UII Yogyakarta,
yang tewas saat melakukan diksar mapala dengan dugaan dianiaya senior.
Menurut
Itje, kasus tersebut terjadi karena
kelalaian pihak kampus, di
samping itu juga disebabkan karena belum kuatnya tanggung
jawab yang ditumbuhkan. Kegiatan-kegiatan ekstra seharusnya berada di bawah
pengawasan kampus, segenap pimpinan kampus memiliki tanggung jawab untuk
memonitor kegiatan yang ada, guna memastikan tidak adanya tindak kekerasan yang
terjadi.
“Namun seringkali tindak kekerasan terjadi ketika
seluruh kegiatan ekstra diserahkan langsung kepada mahasiswa, hal inilah yang
memunculkan adanya senioritas dan penyalahgunaan kekuasaan seperti
perpeloncoan,” ujar dia.
“Bagi saya perpeloncoan itu tindakan primitive. Orientasi sekolah atau kampus dapat dilakukan secara cerdas dan saya punya pengalaman ini di salah satu perguruan tinggi, tanpa perploncoan. Lagi-lagi kecakapan pemimpin kampus maupun sekolah dipertaruhkan,” ungkap Itje.
Kegiatan ekstra, lantut Itje, sejatinya bertujuan untuk melatih kemampuan non
akademik, seperti pembentukan karakter, kemampuan memimpin, atau penguatan
berbagai keterampilan dan sikap yang diperlukan ketika mahasiswa
memasuki dunia kerja. Oleh sebab itu pelaksanaannya harus konsisten mengarah
pada tujuan tersebut. Pihak kampus perlu membuat peraturan-peraturan yang
memagari tindak kekerasan. “Lagi-lagi
monitoring itu penting,” tegas Itje.
(Mega/Garis/Cici)
0 Comments