Bahasa
isyarat merupakan bahasa yang sangat identik dengan penyandang tuna
rungu/tuna wicara dalam berkomunikasi. Namun, pada kenyataannya tidak semua
penyandang tuna rungu/tuna wicara mampu berbahasa isyarat. Banyak dari mereka yang
terbiasa dengan bahasa mulut atau membuka mulut selebar-lebarnya untuk
menyampaikan informasi (oral).
Masyarakat memiliki hak yang sama, termasuk hak mendapatkan informasi bagi kaum
tuli. Inilah yang menjadi acuan bahwasannya para tuna rungu berhak mendapatkan
informasi melalui bahasa isyarat. Sebagai salah satu akses untuk mendapatkan
informasi yang sama dengan orang dengar (orang dengan pendengaran normal).
Untuk
memberikan akses bagi kaum tuli yaitu dengan pelayanan penerjemahan bahasa
isyarat. Saat ini penerjemah bahasa isyarat banyak digunakan media-media besar
agar penyandang tuna rungu memiliki akses informasi yang sama. Seperti
tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Thn 2016 tentang penyandang disabilitas.
Salah
satu penerjemah bahasa isyarat pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 Edik
Widodo. Suatu kehormatan tersendiri baginya ketika terpilih menjadi penerjemah
bahasa isyarat pada Pilgub DKI 2017. Ia adalah orang dengar yang terjun ke
dunia penerjemahan bahasa isyarat.
Widodo—begitu
ia disapa menjelaskan awal keterlibatannya untuk menolong kaum tuli. “Dimulai
tahun 1997-1999, lalu ketika itu ada satu komunitas yang terdiri dari 30-100
orang dan tuli semua. Mereka datang ke salah satu gereja di kawasan Roxi Mas
untuk beribadah, namun mereka ingin beribadah dengan bahasa isyarat,” ucap
Widodo.
Ia
mengungkapkan keterlibatannya dalam dunia bahasa isyarat bukan karena sengaja
melainkan rasa iba terhadap orang-orang tuli yang sulit berkomunikasi. Banyak
diantara mereka yang sudah terbiasa menggunakan oral sehingga bahasa isyarat
tidak mudah dikuasai.
Dalam
menjalankan profesi sebagai interpreters/penerjemah Widodo tak lepas dari
kesulitan yang dialaminya saat mengajarkan bahasa isyarat. “Kesulitan diarea
sesama tuli biasanya, banyak kaum tuli itu terbiasa oral,” ujar Widodo.
Sehingga
ketika berbahasa isyarat mereka sukar untuk lancar. Kaum tuli yang terbiasa
oral saat berkomunikasi disebabkan karena sejak
mereka tuli tidak dibiasakan memakai bahasa isyarat. Dengan demikian
bahasa yang terus melekat sehari-hari ialah bahasa mulut.
Menjadi
interpreters tidak hanya menghadapi tunarungu yang oral, tetapi ketika tampil
di Televisi menjadi tantangan tersendiri untuk menerjemahkan bahasa isyarat.
Kerap kali penerjemah harus menerjemahkan yang bukan sebenarnya. “kadang-kadang
itu orang bicara pakai analogi, perumpamaan ujung-ujungnya ternyata cuma cerita
bukan kejadian yang sebenarnya, akhirnya kita minta maaf dan dijelaskan yang
benar,” tegas Widodo.
Bagi
Widodo menjadi penerjemah bahasa isyarat bukan hanya kesulitannya, tetapi ada
pula sukanya. Bukan diukur dari materi melainkan ketika kaum tuli mengerti apa
yang ia ajarkan. “Pada waktu kita terjemahkan terus si tulinya itu langsng
bilang “Ooooo...” jadi dia paham. Tapi kalau tulinya bingung, itu stress
kita pulang, mikir itu kita mimpi buruk pokoknya. Tapi begitu tulinya paham, itu
salah satu bagian saya seolah-olah menjadi bagian mencerdaskan bangsa saya,”
jelas Widodo.
Mencerdaskan
bangsa Indonesia bukan hanya dengan mengajarkan pelajaran di sekolah-sekolah, universitas dan dunia pendidikan formal lainnya yang terpaku pada nilai. Tetapi
dengan menolong sesama juga termasuk ikut mencerdaskan bangsa Indonesia.
Seperti yang dikatakan Widodo, “saya bukan guru tapi saya bisa bantuin mencerdaskan
bangsa ini lewat itu (interpreters),” ujar Widodo.
Demi
membantu mereka mendapatkan akses yang mudah, kemudian Widodo dan
kawan-kawannya membentuk suatu perkumpulan penerjemahan bahasa isyarat
Indonesia (INASLI). Ia menjelaskan bahwa organisasi ini didirikan supaya kaum tuli
mendapatkan layanan yang profesional. Selain untuk membantu tuli juga untuk
melindungi para penerjemah itu sendiri supaya mendapatkan haknya.
Pada
saat ini hampir semua stasiun Televisi menggunakan penerjemah bahasa isyarat.
Setelah ditegaskannya UU No.8 Thn 2016 yang menjelaskan hak-hak dan akses bagi
penyandang tunarungu/wicara pada 17 agustus 2017. Hal ini memudahkan kaum tuli
dalam memperoleh informasi.
Dalam
konteks ini untuk menambah informasi bagi kaum tuli Widodo berharap ditambahnya program edukasi, karena kaum tuli itu miskin informasi. “Kita ini
orang-orang tuna netra biasanya hanya miskin pengelihatan. Tapi kalau tuli, informasi yang miskin. Bahaya sekali, udah gitu pendengarannya dari mata. Karena semua pengelihatan yang
diandalkan dari telinga. Artinya informasi sebegitu pentingnya wawasannya jadi
terbuka. Kalau dia tidak diberikan informasi wawasannya tidak terbuka,” tambah Widodo.
Begitu
pentingnya informasi bagi penyandang tuna rungu/tuna wicara, karena tanpa mendapatkan
informasi mereka tidak mendapat haknya. Padahal jelas bahwa hak dan kewajiban
sesama manusia adalah sama. Bagi kaum muda khususnya yang terus belajar bahasa
isyarat, Widodo juga berharap teruslah belajar teruslah cintai tuli dengan bahasanya,
biarkan mereka berekspresi sebebas bebasnya, kita menemani mereka.
(Nurul)
0 Comments