Badannya yang hitam legam kini makin rapuh. Namun
baret dan karat yang menghiasinya menunjukkan jejak sejarah yang tidak
ternilai. Masih terpasang jelas nomor yang menjadi penanda jenis dan
kemampuannya, CC50 01. Cat yang mulai memudar dan bau oli yang menyengat tak
melemahkan kesan kuat dan gagah yang terpancar dari alat transportasi ini.
“CC itu menunjukkan roda penggeraknya, kalau C itu
artinya tiga, yang ini CC masing-masing tiga roda tersebut ada enam. Dan jenis
seperti ini untuk di bagian pegunungan, yang jalurnya berkelok,” ucap Cahyo
sambil menunjuk nomor lokomotif uap tersebut.
Ya, lokomotif uap yang dibawa Java Staatsporwagen dari Eropa pada
tahun 1927 ini menjadi saksi bisu sejarah perkeretaan di Indonesia. Dengan
kecepatan 55 km/jam dan kemampuan membawa beban seberat 1.300 ton, alat
transportasi ini menjadi andalan membawa gerbong penumpang dan barang melewati jalur
pegunugan Cibatu-Cikarang-Garut.
Namun, setelah kebijakan rasionalisasi lokomotif uap
ke diesel membuat CC50 harus purna tugas pada tahun 1982. Kini tinggal tersisa
beberapa jenis lokomotif CC50 yang tersebar di tiga museum. Salah satunya lok CC50
01 yang berjejer rapih dengan beberapa jenis lokomotif lain di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Cahyo Hari Murti, wakil ketua dari Indonesia Railway
Preservation Society (IRPS) yang mengenalkan saya dengan lokomotif CC50 01. Dia
dan beberapa anggota IRPS yang lain merupakan komunitas pecinta kereta yang
mendedikasikan kesukaan mereka pada kereta api dengan melakukan preservasi, yaitu
kegiatan penyelamatan dan pelestarian
aset sejarah perkeretaapian Indonesia.
Saya berkesempatan bertemu dengan Cahyo saat IRPS
tengah mengadakan kegiatan perawatan lokomotif uap pada hari Minggu (24/09/2017)
di Museum Transportasi TMII. Kegiatan ini diselanggarakan
dalam rangka memperingati 150 tahun hari perkeretaapian nasional. Sambil duduk di sekitar
bantaran rel yang membatasi gudang lokomotif uap, Cahyo menceritakan awal dari
IRPS dalam misi melestarikan kereta api yang bersejarah.
“Jadi awalnya itu adalah di Bandung, berawal
dari komunitas pecinta minatur kereta api yaitu Indonesia Railway
Modeller Craft (IRMC). Tapi
mereka selain hobi dalam model miniatur kereta api kereta yang asli juga mereka
sukai,” ucapnya
membuka perbincangan kami.
Cahyo menuturkan, pembentukan IRPS berawal dari
anggota mereka yang melihat lokomotif CC200 yang berada di Cirebon pada bulan Februari 2001. Dia
mengatakan lokomotif diesel pertama di Indonesia yang dibeli dari Amerika pada tahun 1953 dan 1954 hanya
tersisa tiga unit yaitu CC200 08, CC200 09, dan CC200 15. Dengan pertimbangan
untuk menyelamatkan lokomotif yang tersisa, mereka membentuk kelompok Friends of CC200 untuk usaha pelestarian
tiga lokomotif tersebut.
“Jadi dari situ kita dirikan Friends of CC200
untuk menyelamatkan lokomotif tersebut. Akhirnya kita ajukan proposal ke direksi kereta
api, kemudian disetujui,”
kata Cahyo menambahkan.
Mulailah proses perbaikan lokomotif CC200 15 dengan
mengorbankan beberapa komponen CC200 08 dan CC200 09 yang masih berfungsi.
Proyek yang selesai pada oktober 2002 ini berhasil mengembalikan CC200 15 pada
kondisi siap beroperasi. Mulai dari sana Friends of CC200 memutuskan untuk
mengubah nama menjadi IRPS.
“Dari situ karena kita terfokus sama pelestarian, dan
kalau kita hanya terikat
dengan nama Friends of CC200 berarti kami hanya mengurusi tipe lokomotif tersebut, akhirnya kami merubah
nama menjadi IRPS
pada tahun 2005,” tambah Cahyo.
Selain menyelamatkan lokomotif bersejarah dari peleburan,
IRPS juga turut serta dalam menjaga aset PT Kereta Api Indonesia dengan
perawatan dari karat dan korosi. Seperti yang dilakukan IRPS dengan mengadakan kegiatan perawatan lokomotif di TMII. Terlihat beberapa anggota tengah mengecat
badan lokomotif CC50 01 dan menyemprotkan minyak solar di bagian yang berkarat.
“Inikan
makin berkarat, jadi kita adakan kegiatan revitalisasi untuk mencegah karatan
makin parah. Ini CC50 01, lokomotif uap,
dulu beroperasi sekitar Tasikmalaya dan Garut,” ucap Cahyo sambil menunjuk lok CC50 01 yang tengah dicat anggota
IRPS.
Selain bertemu dengan wakil ketua IRPS, saya juga
berbincang-bincang dengan Danang Setyo Wibowo, kepala Museum
Transportasi TMII. Dia merasa sangat
terbantu dengan kegiatan yang diadakan IRPS. Apa lagi, kegiatan ini hanya
dilakukan dua kali dalam setahun.
“Oh iya, itu sangat membantu sekali. Karena museum
ini luas dan sekitarnya ada beberapa komunitas trasportasi. Dalam hal ini IRPS
sanggat membantu sekali, terutama dalam menyampaikan informasi. Kemudian
membantu kita dalam merawat lokomotif ini,” Ucap Danang.
Danang juga menambahkan kalau pihak museum turut
merawat lokomotif yang terjajar di gudang kereta. Namun, kendati PT KAI
merupakan pemilik dari koleksi kereta api museum, hingga hari ini belum ada
bantuan dana untuk perawatan aset transportasi bersejarah ini. Ditambah lagi, Museum Transportasi TMII yang berada di bawah Kementerian Perhubungan tidak mendapat
biaya karena kedua instansi yang telah terpisah sejak masuknya PT KAI ke bagian
BUMN.
Saat saya berbincang dengan Danang di sekitar CC50
01, saya melihat ada bagian lokomotif yang rusak parah dengan besi yang
terkelupas seperti ditarik. Danang menjelaskan kalau pihak museum dan IRPS
tetap berupaya untuk meminimalisir kerusakan dan karat. Namun, dengan kerusakan
dan karat makin parah tentu memerlukan biaya yang tak sedikit.
“Karena Museum Transportasi kan di bawah Kementerian Perhubungan, dia boleh merawat kalau benda tersebut milik Kementerian. Sedangkan
kereta-kereta ini kan
milik PT KAI. Memang sih ini milik negara Indonesia cuman secara prosedural tetap seperti itu,” tambah Danang.
Kendati demikian, Danang tetap menyampaikan surat
laporan mengenai lokomotif-lokomotif di museum pada PT KAI. Melihat kondisi
yang dialami koleksi lokomotif Museum Transportasi, dia berpesan agar Kementerian Perhubungan dan PT KAI dapat menyelesaikan masalah ini. Karena
bagaimanapun juga, aset sejarah ini merupakan bagian dari perkembangan
transportasi Indonesia yang bernilai tinggi secara historis.
“Apa dihibahkan ke Kementerian Perhubungan agar tiap
tahun ada dana perawatan agar tak termakan usia dan korosi. Karena memang ini jejak sejarah, dan ini bagian
dari kemerdekaan Indonesia,” ucap Danang.
(Bismar)
0 Komentar