Indonesia adalah negara yang kaya dalam hal budaya, sumber daya alam dan
termasuk komoditas pangan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga
negaranya. Namun faktanya, kini Indonesia masuk ke dalam zona merah
alias krisis pangan.
Di
era perubahan iklim seperti ini, peran pertanian sangat strategis, terlebih sektor pangan. Peran pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku pengolahannya ini perlu mendapatkan perhatian publik.
Kecukupan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri masih terus diupayakan. Meskipun dengan berbagai problematika yang kian hari terasa semakin menyulitkan petani, terutama petani perorangan.
“Jika pangan dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh warga Indonesia yang diproduksi dari dan untuk Indonesia itu
belum, mengapa? Lebih dari tujuh juta ton gandum masih diimpor setiap tahun, lebih
dari 70 persen kebutuhan nasional kedelai juga masih diimpor setiap tahun.
Bahkan, akhir-akhir ini singkong pun diimpor, sehingga harga di petani anjlok
sampai 300 rupiah per kilogram. Sementara pangan lokal seperti ubi, sukun, gayong dan
lain-lain terus terkikis dan cenderung punah,” ungkap Angga, Pemuda Tani dari Serikat Petani Indonesia (SPI)
Hasil
panen petani Indonesia selain prioritas untuk kebutuhan dalam negeri, adapun hasil yang diekspor setelah
kebutuhan dalam negeri tercukupi. Maka hasil tani yang tidak dapat diproduksi
di negara tujuan dapat diekspor. Dengan catatan tidak merusak produk pertanian
yang dihasilkan petani di negara tujuan ekspor tersebut.
Meskipun negara agraris, Indonesia juga melakukan impor pangan dari negara
lain. “Impor saat ini tidak berdasar pada kebutuhan, justru yang membahayakan
dianggap sebagai ideologi. Misalnya saja tepung terigu bisa diganti mocaf
(tepung olahan singkong) terlebih di tengah pemetaan perdagangan dunia misalnya. Petani yang menghasilkan minyak kelapa kini terhimpit dengan kehadiran minyak
kelapa sawit dari korporasi,” jelas Angga.
Presiden
Jokowi sempat berjanji untuk melakukan swasembada pangan bagi Indonesia. Hal ini belum bisa dikatakan berhasil menurut Pemuda Tani SPI. Angga menegaskan bahwa indikator keberhasilan yang
digunakan harusnya pencapaian kedaulatan pangan, bukan swasembada. Syarat utama
dari kedaulatan pangan adalah reforma agraria. Dari situ, petani bisa bertani
dan memproduksi pangan bagi rakyat.
Namun sayangnya, janji reforma agraria sembilan juta hektar (ha) belum juga dilaksanakan. Padahal ketimpangan penguasaan tanah oleh
petani semakin tinggi. Bahkan rata-rata penguasaan kepemilikan tanah oleh
petani menurut sensus pertanian 2013 seluas 0,3 ha. Berbanding terbalik dengan
penguasaan korporasi yang bahkan satu perusahaan saja bisa menguasai lebih dari dua juta ha tanah negara.
Angga mengharapkan untuk memperingati hari pangan sedunia agar segara terlaksananya reforma agraria untuk para petani
sebagai jalan mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia khususnya.
(Crusita)
0 Komentar