Jihad tak hanya soal mengangkat senjata ke medan perang. Melawan
hal-hal yang bertentangan dengan norma dan hukum juga merupakan sebuah jihad.
Korupsi sebagai musuh bersama pun sudah semestinya menjadi objek jihad,
terutama bagi kalangan anak muda yang kelak menjadi pemimpin bangsa.
Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa yang merugikan banyak
orang. Menurut pasal 2 UU No. 31/1999 jo
UU No. 20/2001 korupsi mencakup perbuatan: melawan hukum, memperkaya diri
orang/badan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Namun, kita
tidak boleh terjebak dengan pengertian korupsi dari undang-undang saja.
“Ada perilaku koruptif yang secara definisi mugkin tidak masuk ke
definisi korupsi menurut undang-undang tapi justru itu adalah awal atau bibit
terjadinya korupsi,” kata Direktur Jendral Pendidikan RI, Erlangga pada acara yang bertajuk
“Pemuda dan Jihad Melawan Korupsi” di Hall Student Center UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jumat malam (9/11/2017).
Contoh sederhana korupsi menurut Erlangga adalah menyontek saat ujian dan
membuat laporan pertanggung jawaban palsu saat mengadakan acara organisasi di
kampus. Korupsi sejak dini inilah yang menjadi bibit-bibit potensial untuk
menjadi koruptor di masa mendatang. Jika terus dibiarkan, negeri ini akan
selalu berkutat dengan masalah korupsi.
Dari perilaku yang terlihat sepele tersebut bisa menjadi sebuah
kebiasaan yang berbahaya. “Karena terbiasa melakukan itu (korupsi) sehingga terjadi
pembiasaan bahwa kita menganggap korupsi itu sudah biasa, sudah umum di mata
masyarakat,” lanjut dia.
Korupsi merupakan tanggung jawab bersama yang penanganannya tidak
bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Masyarakat juga harus ikut andil dalam
gerakan anti korupsi. Sinergi pemerintah beserta lembaga anti korupsi dan
masyarakat bisa setidaknya mempersempit ruang gerak koruptor di negeri ini. Sikap
apatis tidak membuat korupsi menjadi berkurang tetapi justru bisa
melanggengkan para koruptor.
Kerugian akibat korupsi tidak hanya berupa materi yang bisa
mencapai triliunan rupiah pada kasus-kasus tertentu. Namun, kerugian yang
ditanggung oleh masyarakat bisa lebih besar dari itu. Sebagai contoh akibat
dari tindakan korupsi adalah fasilitas publik yang dibuat atau dibangun tidak
memenuhi standar karena anggaran yang telah terpotong di sana sini. Padahal
semua fasilitas itu dibiayai oleh rakyat.
Menurut data dari TMC Polda Metro pada 2011 sampai 2013, 10% kecelakaan di Jakarta terjadi karena jalan
rusak. Tanpa mengesampingkan faktor lain seperti buruknya drainase dan tonase
kendaraan yang melewati jalan tidak seimbang, buruknya kualitas jalanan ibu
kota menjadi penyebab kerusakan terus menerus meskipun jalan baru saja dibangun.
Jika dilihat dari anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk pembangunan
jalan raya seharusnya masyarakat pantas mendapatkan jalan yang berkualitas dan
tidak cepat rusak.
Pembicara lain yang menghadiri acara ini adalah Emerson Yunto dari
Indonesian Corruption Watch (ICW). Ia menjelaskan beberapa tahun terakhir telah
terjadi regenerasi koruptor dari orang tua ke anak muda. Data KPK dalam 10
tahun terakhir terdapat 71 orang pelaku
korupsi yang ditangani KPK berusia di bawah 40 tahun.
“Ini sangat memperihatinkan, pemuda kan harapannya menjadi ujung
tombak dari upaya perlawanan korupsi bukan sebaliknya menjadi bagian dari
praktik korupsi tersebut. Regenerasi koruptor harus dilawan dengan regenerasi
kader-kader anti korupsi,” ujarnya.
Salah satu aspek yang membuat angka korupsi masih tinggi di
Indonesia adalah hukuman bagi koruptor yang tidak bisa memberikan efek jera.
Catatan ICW menunjukkan rata-rata hukuman bagi pelaku korupsi adalah dua tahun
empat bulan, belum lagi jika mendapat remisi bisa menjadi satu tahun. Padahal
dalam Undang-Undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) minimal hukuman adalah setahun dan maksimal 20
tahun, bisa menjadi seumur hidup dan bahkan hukuman mati. ”Paling tidak
setengahnya lah rata-rata hukuman 10 tahun,” tambah Emerson.
Sementara itu politisi muda, Tsamara Amany, menyerukan kepada
generasi muda untuk ikut berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. “Pertama, kalian mulai suarakan di media sosial apa yang menjadi
konsen kalian menyuarakan ketidakadilan. Kedua, kalau sudah tidak puas
menyuarakan di media sosial, bergabung ke dalam gerakan-gerakan anti korupsi
semisal ICW. Ketiga, harus ada yang mulai berani terjun ke dalam
jabatan-jabatan penting publik,” terang Tsamara.
(Robby)
0 Komentar