Pelarangan
penggunaan catrang sebagai alat tangkap ikan masih menimbulkan polemik.
Pasalnya akhir Desember 2017 merupakan batas akhir penggunaan alat tangkap
jenis ini. Peraturan yang telah diturunkan Kementrian Kelautan dan Perikanan
(KKP) lewat Peraturan Menteri (Permen) KP No.02 2015 ini berisi larangan
penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine
nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Peraturan
ini mengharuskan nelayan untuk mengganti jaring lama mereka dengan alat tangkap
ikan yang diklaim lebih ramah lingkungan.
Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pujiastuti melarang penggunaan
cantrang untuk melindungi ekosistem laut. Cantrang disinyalir menjaring seluruh
jenis ikan dari yang besar hingga yang kecil. Dia mengatakan, bila sampai
penggunaan cantrang tidak dibatasi, maka kekayaan laut di Indonesia akan hilang
sedikit demi sedikit.
Namun,
larangan penggunaan cantrang ini disambut dengan aksi penolakan dari beberapa
perkumpulan nelayan dan berbagai lembaga yang terkait kesejahteraan laut,
nelayan dan ikan. Seperti
halnya yang dilakukan oleh Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) yang lantang
menyuarakan keberatan mereka. Organisasi yang dibentuk sejak Juli 2017 diketuai
Riyono sebagai ketua umum secara vokal menentang peraturan yang diberlakukan
oleh Menteri Susi Pujiastuti.
Ditemui
setelah mengadakan kegiatan “Dialog Terbuka dan Sidang Istimewa: Menuju
Legalisasi Cantrang Secara Nasional” tentang pelegalan cantrang yang diadakan
ANNI bersama nelayan di gedung Nusantara V DPR RI pada Rabu (29/11/2017), Riyono
mengutarakan alasannya menolak larangan penggunaan cantrang. Salah satunya mengenai
cantrang sebagai sumber penghidupan utama para nelayan. Menurutnya tak benar
bila cantrang dikaitkan sebagai alat tangkap yang merusak lingkungan.
“Sehingga kita mengkaji, sekaligus juga
melakukan riset-riset. Terbukti bahwa alat tangkap ini (cantrang) adalah ramah
lingkungan. Sehingga kalau selama ini kemudian KKP mengeluarkan kebijakan
melarang alat tangkap ini, ini jelas tidak sesuai dengan harapan teman-teman
nelayan,” ujarnya.
Pendapat lain juga datang dari Miftah
Khoirul, wakil Sekertaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Perikanan Nasional (MPN). Dia mengatakan alasannya menolak pelarangan
cantrang. Menurutnya, pemerintah belum siap secara total terhadap seluruh
dampak yang akan terjadi dengan diberlakukan Permen yang diberlakukan KKP, baik
dampak sosial maupun dampak ekonomi yang akan terjadi kepada nelayan.
Miftah menambahkan, banyak nelayan
mengeluhkan tentang pengganti cantrang yang memiliki kualitas yang kurang baik
dan hasil tangkapan kurang memuaskan. Kemudian banyak yang mengaku belum
mengganti jaring lama mereka dengan alat pengganti karena masih memiliki hutang
di bank untuk investasi alat tangkap sebelumnya, sehingga nelayan merasa
keberatan untuk membeli alat tangkap baru tersebut.
Pemerintah dianggap belum mampu memberikan solusi kongkret
terkait kebijakan pelarangan
alat tangkap yang tertuang pada Permen
KP 71 2016 tentang Jalur
Penangkapan Ikan dan Penangkapan dengan Alat Tangkap Ikan. Miftah mengatakan
pemerintah telah menawarkan solusi pengganti cantrang dengan pemberian bantuan penggantian alat tangkap ramah lingkungan. Namun, pemberian ini hanya ditujukan untuk kapal nelayan ukuran kurang
dari 10 Gross Ton (GT).
“Akan tetapi, bantuan yang ditawarkan oleh pemerintah
untuk menggantikan cantrang dan sejenisnya belum ada penelitian serta jaminan
bahwa alat tangkap pengganti akan lebih efektif serta bisa menjadikan nelayan
lebih sejahtera,” ujar Miftah menambahkan.
Miftah berucap, ketika nelayan mengganti
cantang dengan bantuan alat tangkap baru, dibutuhkan proses yang lama untuk
menyesuaikan penggunaan. Selain itu, nelayan juga harus mencari tempat
pancingan (spot fishing) yang
baru dan memodifikasi kapal mereka untuk
menyesuaikan jaring ketika dipakai. Akhirnya, tetap ada biaya yang dikeluarkan
oleh nelayan demi usaha yang legal.
“Nelayan harus berlatih menggunakan alat tangkap baru, nelayan juga harus
mencari fishing ground baru, modif kapal, dan lain sebagainya. Semua itu tentu akan memakan biaya dan waktu cukup banyak. Dari sini, saya
melihat pemerintah belum jauh berfikir ke arah itu,”
tambahnya.
Pendapat ini juga diperkuat oleh perkataan
Riyono. Pemerintah tidak memberikan kepastian terkait pelarangan cantrang. Menurutnya
tak bisa bila pemerintah mengharapkan nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang
sesuai bila permasalahan ini belum memiliki solusi yang koprehensif.
“Ini kan harus dilihat solusinya, tidak bisa
kemudian nelayan ini seperti yang diharapkan untuk mendapatkan hasil yang
sesuai. Kemudian juga problematikanya sekarang kawan-kawan itu yang punya
pinjaman-pinjaman ke bank itu kan harus diselesaikan. Nah itu faktualnya
sekarang tidak bisa,” ucap Riyono.
Selain keluhan soal kualitas alat, nelayan
juga mengeluhkan hasil tangkapan yang sedikit dan kualitasnya yang tidak
memuaskan. Kemudian, distribusi alat yang kurang merupakan salah satu masalah
yang disorotnya.
“Nelayan banyak yang mengeluh
karena kualitas alat tangkap yang dibagikan kurang begitu baik. Hasil alat
tangkapnya jauh lebih sedikit dan kualitas ikannya kurang bagus. Realisasi bantuan
juga masih rendah. Dari
target 4.620 alat tangkap yang akan dibagikan, Hanya 1.093
yang baru dibagikan sejak 2015 hingga 2017,”
tambahnya.
Dampak yang dirasakan oleh para nelayan soal
kebijakan ini akan sangat besar. Menurut Miftah, akan banyak nelayan dan tenaga kerja yang
menggantungkan hidup mereka dari cantrang akan menganggur. Kemudian akan
terjadi keadaan yang tidak diinginkan jika KKP nekat mengesahkan aturan pelarangan cantrang.
“Menurut hemat saya bahwa jika KKP nekat melarang alat tangkap
cantrang dan sejenisnya, tanpa dibarengi solusi yang mampu menjawab masalah
yang akan terjadi (pengangguran). Nelayan bisa saja nekat melakukan hal-hal yang mungkin diluar pemikiran
kita. Karena urusannya adalah perut,” ucapnya.
Untuk alasan tersebut Riyono bersama beberapa
perwakilan nelayan merumuskan lima poin hasil musyawarah rapat istimewa
tersebut. Dalam acara yang dihadiri perwakilan nelayan dari daerah Jawa, Banten, Madura dan Sumatera ini dihasikan
rumusan terkait tuntutan yang akan disampaikan pada pemerintah. Salah satunya
mengadakan uji petik alat tangkap ikan secara independen dan permintaaan untuk
melakukan dialog dengan presiden RI, Joko Widodo.
Tanggapan lain datang dari ketua Paguyuban Nelayan Panimbang,
Nawawi Nurhadi. Di tengah rapat istimewa yang diadakan ANNI, dia mengungkapkan
tentang bantuan jaring baru. Selain karena bantuan yang hanya diperuntukkan
untuk kapal ukuran 10 GT ke bawah, jaring pengganti ini dianggap tidak terlalu
menghasilkan sebanyak jaring cantrang. Seperti halnya penggunaan jaring insang
(gillnet) sebagai pengganti cantrang.
“Untuk memperoleh pendapatan ikannya juga nggak
seberapa. Walaupun betul kalau dengan menggunakan gillnet itu menghasilkan ikan yang
mahal, tapi kalau volume tangkapan cuman sedikit kan percuma, tidak bisa
menutupi anggaran. Cantrang walaupun harga ikannya
murah, tapi kalau banyak kan biayanya bisa menutupi,” ucapnya.
Ketika ditanyakan soal perkataan Menteri Susi tentang
cantrang yang menjaring berbagai ukuran ikan, Nawawi tidak sepakat dengan klaim
tersebut. Dia
mengatakan tidak mugkin bila jaring cantrang beroperasi seperti itu. Menurutnya
cantrang hanya beroperasi rata-rata empat mil ke atas dari 12 mil permukaan laut. Sedangkan
ikan-ikan kecil sendiri hidup di diameter empat mil ke bawah.
Selain itu, kualitas jaring baru ini tidak
sebagus cantrang. Nawawi beranggapan, resiko kerusakan cantrang lebih kecil
dibanding alat tangkap yang baru. Memang ada beberapa yang merasa terbantu dengan adanya subsidi jaring
dari pemerintah. Namun mayoritas nelayan yang mendapat bantuan memilih
untuk tidak memakai alat tangkap ini.
“Mungkin bisa saja ada
beberapa kawan yang merasa terbantukan, tapi faktanya mayoritas kawan-kawan
yang dapat bantuan jaring tersebut malah tidak terpakai. Nyatanya jaring ini tidak
terpakai, karena mereka (nelayan) coba mengoperasikan, ternyata tidak bisa
menutup biaya untuk melaut, kan percuma,” ujar Nawawi.
(Bismar)
0 Comments