![]() |
Journoliberta/Annisa Karlina |
Potret realitas tenaga kerja kesehatan di Indonesia tergambar lewat perayaan May Day atau Hari Buruh Internasional di Jakarta, Selasa (1/5). Sejumlah serikat buruh maupun aliansi buruh turun ke jalan
untuk menyampaikan aspirasi serta tuntutannya. Masih adanya tuntutan adalah tanda jika tenaga kerja di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, khususnya tenaga kerja honorer.
Salah satunya adalah Gerakan Nasional Perawat
Honorer Indonesia (GNPHI). Pada May Day kemarin, GNPHI bersama serikat buruh lainnya turut melakukan aksi di sekitar Istana Negara, Jalan Merdeka Utara. GNPHI menyoroti soal ketidaklayakan
yang diterima oleh pekerja kesehatan honorer di beberapa daerah.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tuntutan.
“Yang pertama upah sesuai UMR (Upah Minimum Regional), pengangkatan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil),
serta tunjangan kesehatan,” ujar Aris Pujianto, ketua GNPHI. Aris bersama
beberapa rekan sesama tenaga perawat honorer ini bertolak dari kota asalnya di Sragen,
Jawa Tengah menuju Jakarta.
Isu tentang UMR yang
terus digaungkan oleh GNPHI serta pekerja honorer lainnya di Indonesia, merupakan
hal krusial yang belum kunjung menemui titik temu. Sehingga perbedaan
signifikan antara perawat yang telah diangkat
menjadi PNS dengan perawat honorer tidak menimbulkan diskriminasi
berkepanjangan. Selain itu, Aris juga menambahkan bahwa selama ini
pendapatannya hanya berasal dari dana Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan masih di bawah standar.
Perawat honorer diantaranya bertugas
mulai dari rumah sakit umum, rumah sakit khusus, puskesmas induk, hingga puskesmas pembantu yang tersebar di seluruh desa di tanah air atau berada dalam
instansi kesehatan lainnya. Para perawat honorer ini mendapat upah di bawah standar UMR, ada pula yang digaji setiap
tiga bulan sekali, ada yang digaji Rp. 100.000 hingga Rp. 300.000 per bulan dan
bahkan tak sedikit yang tidak mendapatkan upah.
Hal senada juga diungkapkan Yeni Widiastuti.
Wanita yang berprofesi sebagai bidan tenaga kerja sukarela atau bidan TKS ini,
mengungkapan keluhannya di Hari Buruh Internasional. “Tidak digaji sama sekali,”
keluh Yeni yang kemudian diiringi anggukan setuju dari teman-temannya sesama
Bidan TKS.
Kemudian pengangkatan status kepegawaian menjadi PNS merupakan pokok pembahasan Yeni selanjutnya. Ia mengatakan betapa
sulitnya mendapat kesempatan menjadi PNS di daerah tempat tinggalnya di Lampung
Tengah, Kecamatan Seputih Raman. “Sulit kalau mau jadi PNS,” ungkapnya. Perawat honorer sampai saat ini belum diberikan
kesempatan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil secara khusus. Sehingga
sebagai tenaga kesehatan, khususnya perawat yang bekerja di instansi pemerintah
semakin terpuruk tanpa adanya kepastian hukum.
“PPNI (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia) berharap memang bukan sekedar menuju status kepegawaain
saja, kalau bisa negara ini menjamin prinsip yang sudah dianut dan menjunjung
tinggi bangsa kita yaitu adil dan wajar, sehingga tidak menimbulkan prinsip
diskriminasi maupun eksploitasi. Banyak rumah sakit maupun puskesmas pemerintah
daerah yang menjalankan program BPJS diharuskan memberikan pelayanan yang
berkualitas standar, tetapi pemberi pelayanan tidak menerima upah yang standar,”
ucap Harif Fadhillah, ketua umum DPP PPNI yang membawahi GNPHI, seperti yang
dikutip dari laman Facebook resminya.
Perawat honorer Indonesia berjumlah sekitar 81.110 orang dengan masa kerja satu tahun hingga 30 tahun. Adapun status kepegawaian yang berbeda meliputi tenaga honorer, tenaga kontrak, tenaga Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), magang, wiyata bakti, tenaga sukarela, Perawat Tidak Tetap (PTT), honorer daerah, supporting staff, tenaga harian lepas dan perawat honorer Indonesia lainnya yang tersebar di berbagai sarana kesehatan.
(Rindani Oktaria)
0 Komentar