![]() |
Memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara,
termasuk penyandang disabilitas. Akan tetapi, akses untuk mendapatkannya masih
menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas mengamanatkan kepada perguruan tinggi untuk
memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Tentu ini suatu hal
yang baik untuk mempermudah penyandang difabel mendapatkan kemudahan di
universitas.
Untuk mengimplementasikan UU tersebut Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Desember 2017 silam
membentuk ULD yang bernama Center for Student with Special Needs (CSSN).
CSSN sendiri sampai saat ini seperti ada dan tiada.
Salah satu permasalahannya adalah CSSN belum masuk dalam organisasi tata kelola
UIN, sehingga anggaran untuk melakukan kegiatan belum ada. Terkait persoalan tersebut
Journo Liberta mewawancarai Arief Subhan selaku ketua CSSN. Berikut hasil
wawancaranya:
Apa yang mendasari pendirian CSSN?
CSSN adalah lembaga yang berdiri berdasarkan kesadaran
bersama, anggota yang ada di dalamnya membuat kampus UIN menjadi inklusif. UIN
kampus yang belum friendly terhadap difabel. Masih banyak gedung tidak
dilengkapi fasilitas yang dibutuhkan orang difabel, belum friendly dan
belum memberikan treatment khusus. Oleh karena itu kita berinisiatif
mendirikan lembaga ini. Kebetulan UIN tergabung dalam konsorsium universitas
menyebut proyeknya INDOEDUC4ALL. konsorsium itulah yang mendorong semakin
meyakinkan kita pentingnya (CSSN) ini.
Kenapa baru tahun 2017?
Cita-citanya sudah lama sejak pendirian Kesejahteraan
sosial (Kessos). Saat pendiskusian kessos dibuka sebagai program studi kita
sudah memikirkan bagaimana memberikan service khusus kepada mahasiswa
difabel. Hambatan karena kita susah meminta kepada rektorat untuk mendirikan
unit layanan disabilitas sebagai lembaga resmi, akhirnya baru Desember 2017.
*Dalam wawancara kami dengan anggota CSSN sekaligus pengajar Prodi Kesejahteraan Sosial, Siti Napsiyah, mengakui Prodi Kesejahteraan Sosial pernah
mendirikan Pusat Pelayan Pelayanan Cacat (P3C).
Apa saja yang sudah dilakukan CSSN selama 10 bulan
ini?
Kita baru membuat sekali pelatihan untuk dosen. Kecil aja karena dananya kecil, kita mengingatkan bahwa inklusif education
itu penting. Bahwa disabel itu punya potensi yang sama, itu aja.
Jadi gini lembaga CSSN terdapat di surat keputusan
oleh rektor sebagai lembaga otonom di universitas, akan tetapi tidak diberi
anggaran oleh universitas karena dia bukan lembaga negara. Maka dia (CSSN)
tidak bisa mendapatkan anggaran, dia tidak ada di organisasi tata kelola UIN.
Pak rektor memberikan SK tapi tidak memberikan anggaran dan fasilitas,
masih dijanjikan akan diberikan kantor.
Boleh saya melihat SK pendirian dan struktural CSSN?
Tidak ada struktural, bentuknya paguyuban. Kita akan
meminta ke rektor agar dalam SK itu dilengkapi struktural, selama ini hanya ada
anggota CSSN dan saya dianggap sebagai ketua.
*Menurut Siti Napsiyah CSSN tidak dibentuk dengan surat
keputusan rektor, melainkan hanya berupa sertifikat pembentukan. Journo Liberta
dijanjikan akan dikirimi foto sertifikat tersebut, akan tetapi hingga tulisan
ini diterbitkan belum ada balasan. “Bukan SK rektor hanya di-create
aja kita yang bikin ini. Semacam sertifikat saking hari itu momentum yang baik.
Lalu beliau (Dede Rosyada) tanda tangani. Hanya sertifikat publishment of
CSSN,” ujarnya.
Journo Liberta mendapatkan data terkait jumlah
mahasiswa berkebutuhan khusus dari Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
(Pustipanda) UIN Jakarta. Namun setelah kami lakukan verifikasi kepada 13
mahasiswa yang aktif, tidak satu pun yang benar. Apa CSSN tidak mencoba
melakukan pendataan?
Data itu memang masalah sampai sekarang, antara real
dan asumsi itu masih belum selesai. Ini kan lembaga baru didirikan oleh
dosen volunteer gak ada yang bayar hanya kesadaran saja, pasti jalannya lambat.
Melakukan pendataan pasti akan membutuhkan waktu. Saya
sendiri di CSSN posisinya itu bersamaan saya sebagai dekan. Urusan dari
fakultas banyak, akan tetapi kesadaran mendirikan CSSN itu ada, kalau bukan
sekarang kapan lagi. Saya mengurusi tanda tangan setumpuk itu (menunjuk meja
kerjanya), saya mengerjakan sampai jam 3 sore itu. Itu hanya ngurusin tanda
tangan, belum rapat lainnya.
Nanti kita akan melakukan pendataan dengan dekan, kita
kirim surat ke dekan untuk pendataan mahasiswa disabilitas.
Pendirian CSSN sangat dilatarbelakangi oleh proyek
INDOEDUC4ALL, apa saja yang didapatkan CSSN dari proyek tersebut?
Bersama konsorsium itu ada anggaran yang sangat
terbatas hanya bisa membeli alat, misalnya printer braille dan komputer
yang bisa bicara, yang bisa dipakai oleh penyandang tuna netra. Sampai sekarang
masih belum bisa terimplementasikan karena soal administrasi.
European Commission yang
memberikan dana mempunyai aturan. Tidak bisa kita sembarangan beli.
Pertama kita harus mengajukan mereknya minimal tiga dengan harganya, kita kirim
data ke sana mereka setuju yang mana. Jadi ada proses lelang yang rumit.
Apa yang akan dilakukan CSSN ke depan?
Kita akan membuat tempat untuk konsultasi bagi orang
tua yang memiliki anak difabel dan ingin kuliah di UIN, bisa konsultasi dengan
CSSN, misalnya dia mau pilih prodi apa yang tepat. Kedua, kita memberikan
pendampingan bagi mahasiswa difabel oleh volunteer yang direkrut dari
mahasiswa, terutama mahasiswa Kessos karena itu bagian dari Social Service.
Kemudian mahasiswa difabel yang berkuliah di UIN kita fasilitasi corner-nya
di perpustakaan, kita juga mendorong pimpinan untuk membuat fasilitas kampus
ini agar lebih ramah.
Baca juga : Setengah Hati UIN Jakarta Wujudkan Kampus Ramah Disabilitas
Baca juga : Karut Marut Data Disabilitas UIN Jakarta
Baca juga : Menanti Fasilitas untuk Disabilitas
(Reza)
0 Komentar