Penulis: Red.
Reporter: Nuzulia.
Beberapa pekan lalu Menteri Agama
Fachrul Razi, melontarkan ide kontroversial. Ide tersebut ialah wacana
pelarangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) memakai cadar dan celana cingkrang
di lingkungan instansi pemerintahan. Rencana itu masih dalam tahap
kajian, Kemenag beralasan larangan tersebut terkait keamanan.
"Memang nantinya bisa saja ada
langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk
masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak
Wiranto yang lalu," kata Fachrul Razi seperti dikutip dari Tirto.id, Rabu
(30/10/2019).
Jauh sebelum itu, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menggulirkan aturan pelarangan
penggunaan “penutup muka”.
Aturan tersebut tidak secara
eksplisit menyebutkan cadar. Namun, menurut Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan
Masri Mansoer, alasan keluarnya aturan tersebut berkaitan dengan maraknya
gerakan kekerasan mengatasnamakan agama. Dia mencontohkan beberapa gerakan
terorisme yang dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan cadar layaknya
perempuan.
“Jadi, performance itu digunakan oleh
kelompok tertentu mencederai performance pakaian muslim-muslimah. Berangkat
dari kondisi itu juga dikuatirkan ke kampus, kalau tidak terbuka wajah
ketika kegiatan akademik berlangsung itu, karena kita juga tidak ada deteksi
orang masuk kampus, siapa aja bisa kan. Mana ada satpam menanyai itu,” Ungkap
Mansoer.
Hal ini pertama kali dicetuskan saat
Pengenalan Budaya dan Akademik Mahasiswa baru 2019. Dalam Surat Keputusan
(SK) tentang pedoman pelaksanaan kegiatan pengenalan budaya dan akademik
pasal 28 poin C dan pasal 34 poin C, menyatakan "Tidak menutup wajah bagi
mahasiswi".
Aturan tersebut berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 102 Tahun 2019 Tentang Standar
Keagamaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Bab II Point D ayat 5 yang
menjelaskan “Pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung dalam bentuk interaksi
antara mahasiswa dan dosen yang dilakukan secara humanis dan andragogik serta
berpakaian yang sopan dan wajah terbuka”.
“Pertama untuk mendeteksi, betul ga
dia ini mahasiswa UIN dari Program Studi ini begitu ya. Setelah dia selesai
kuliah, dia mau pakai lagi karena itu bagian dari keyakinan dia ya terserah
saja, yang penting pada saat proses kuliah dia wajib membuka wajah,” ungkap
Mansoer
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN
Jakarta Sultan Rivandi, menyimpulkan bahwa pelarangan menggunakan penutup wajah
akan berdampak bagi mahasiswi pengguna cadar, ia mempertanyakan dasar apa yang
menjadi aturan tersebut.
“Kalau kemudian asumsi adalah
pelarangan cadar bagi mahasiswi untuk deradikalisasi itu terlalu
menyederhanakan persoalan. Memandang seseorang radikal dan cadar itu bukan
solusi yang tepat untuk kemudian kita menghindarkan paham ekstrimisme,” ungkap
Sultan.
Sultan mengkritik pihak UIN Jakarta
memiliki standar ganda, dia memberikan contoh UIN membiarkan mahasiswi
mengenakan jeans ketat, namun akan menegakan aturan pelarangan penggunaan
penutup wajah.
“Dalam butir-butir Pancasila dan UUD,
dijamin orang berkeyakinan dalam keagamaan tertentu ketika dia meyakini bahwa
cadar adalah bagian yang melekat dalam syariat Islam dan sudah ia terapkan dari
SMA, lalu dia memilih UIN yang dia pikir bebas melaksanakan mazhab apapun yang bebas untuk menerapkan pemahaman
keagamaan apapun, yang toleransi dan moderat, lalu dia masuk UIN, tiba-tiba
saat di kelas suruh buka, apa engga gila?” tambah Sultan
Mahasiswa program studi Jurnalistik
Ria Andresta, menanggapi ketidaksetujuan dengan aturan ini. "Pendapat
saya itu sudah mengganggu privasi dan hak dari setiap mahasiswa itu sendiri
baik dia memakai penutup wajah seperti cadar atau masker itu adalah bagian dari
haknya mahasiswi dan itu tidak ada sama sekali kaitannya dengan kegiatan PBAK di UIN Jakarta," tambah Ria mahasiswa semester lima tersebut.
Sementara itu, kontradiktif dengan
pernyataan sebelumnya, Mansoer membantah kalau penutup wajah dikaitkan dengan
cadar. “Di sini tidak ada cadar, tapi dengan wajah terbuka. Karena kalau
cadar konteksnya mungkin ke keyakinan tertentu. Ya tapi bisa saja dia tidak
cadar yang dipakai, tapi dia menutupi sebagian wajahnya, “ ujar Masri Mansoer.
Lebih lanjut, Mansoer akan melakukan
perubahan dalam kode etik mahasiswa, ia mengungkapkan sudah melakukan
koordinasi dengan Rektor UIN Jakarta Amany Lubis. Selanjutnya akan dibawa ke
Senat Universitas untuk melakukan perubahan.
“Kode etik kita ini masih umum ya. Di
sini pakaian itu masih diatur terlalu umum. Begini bunyinya: dilarang melanggar
standar busana, tata cara berbusana, dan berpenampilan. Ya begitu saja, tidak
spesifik. Jadi kita akan sesuaikan karena kan ketentuan lebih tinggi itu yang
dikeluarkan oleh Kementerian Agama, lalu kemudian ini nanti harus menyesuaikan,”
tambahnya.
Merenggut Kebebasan Berkeyakinan
Menurut peneliti Wahid Foundation, Libasut Taqwa, pengambil
kebijakan cenderung membuat peraturan yang diskriminatif bagi keyakinan
individu. Misal, pembatasan berpakaian atau kewajiban menggunakan pakaian
tertentu merupakan salah satu regulasi yang diskriminatif.
“Negara tidak berhak masuk ke wilayah privat. Kewajiban atau bukan
kewajiban itu tidak boleh diatur oleh pemerintah. Pemerintah menyediakan
fasilitas itu, itu tugasnya pejabat dan aparatur negara.
Karena kita bukan negara dengan agama tertentu
mengakui adanya eksistensi agama adanya mayoritas agama-agama tertentu tetapi
negara harus bersikap menengah untuk menyediakan fasilitas bagi seluruh agama
dan keyakinan,” papar Libasut
Libasut berpendapat standar yang dibuat oleh institusi tertentu akan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut. “Institusi punya aturan tersendiri. Nah di sinilah muncul masalah itu. Kadang-kadang hak kita berpakaian, kehidupan sosial di masyarakat, di sisi lain juga ada aturan di institusi-institusi tertentu yang berkaitan dengan pakaian. Kita perlu melihat lebih dalam apa alasan dari aturan pakaian itu,” ungkapnya
Menurut Libasut, solusi yang tepat
untuk aturan yang sudah terlanjur keluar dan diketahui banyak orang ini yaitu
adanya ruang diskusi terbuka untuk setiap mahasiswi yang menggunakan penutup
muka. Pihak universitas harus terbuka dan menerima setiap masukan dan saran
dari mahasiswa dan mahasiswinya.
“Wilayah akademis adalah wilayah
perdebatan,kalau menghindari perdebatan untuk mencari kebenaran hindari
wilayah kampus, enggak bisa itu otoriter berlaku di kampus. Dia wilayah
perdebatan,” tambahnya.
0 Komentar