Halimah, seorang mahasiswa Fakultas
Adab dan Humaniora yang menyayangkan hadirnya kode etik berpakaian yang
dikeluarkan oleh fakultas. Kode etik tersebut memuat aturan bagi mahasiswi
untuk mengenakan jilbab tampak wajah. Bukan tanpa sebab, Halimah merupakan
seorang perempuan yang telah terbiasa mengenakan cadar sejak duduk di bangku
SMA.
Adanya aturan tersebut, memaksanya
untuk melepas cadar yang telah lama melekat. Baginya, aturan ini merampas hak
asasinya dalam berkeyakinan dan berekspresi. Seperti kita tahu, berpakaian
merupakan salah satu bentuk mengekspresikan diri.
“Aku pikir ini termasuk pelanggaran
HAM, kan hak asasi manusia untuk bebas ngapain aja, termasuk berpakaian. Asal
enggak merugikan orang lain. Islam bisa tolerasi dengan agama lain kenapa sama
sesama muslim enggak bisa,” ungkapnya.
Halimah mengungkapkan pengalamannya
merasakan diskriminasi sudah dirasakan kala pertama kali masuk UIN Jakarta.
Pada masa Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), ia pernah
mendapat sindiran dari mahasiswa baru lainnya. Belum lama ini, pada pertemuan
pertama semester 3, salah satu dosen membuat kontrak belajar. Dalam kontrak
tersebut, dosen mengharuskan mahasiswa untuk membuka cadar saat kegiatan
belajar mengajar berlangsung.
“Setiap perkuliahan dia, aku duduk di
belakang, dan dilindungin teman-teman, jadi kaya nutupin aku biar tidak terlihat
laki-laki. Tapi, tiga minggu belakangan ini aku pake cadar ke kelas beliau,
enggak ditegur, biasa-biasa aja beliaunya,” ungkapnya. Sebelumnya Halimah
meminta untuk diperbolehkan memakai cadar saat persentasi.
Mahasiswa Sastra Arab lainnya, Vany, ia mengaku sudah
mendapat panggilan untuk bertemu kepala jurusan terkait aturan ini. “Kemarin
teman aku nyampein amanah dari salah satu dosen, aku disuruh bertemu Kajur,
cuma aku belum dateng. Dosen tersebut berpesan kalau bisa seminimal-minimalnya pas
di kelas jangan di tutup,” ungkap Vany salah satu mahasiswi bercadar.
“Padahal UU saja memberikan kebebasan untuk memilih agama dan
kepercayaan sesuai hati nurani kita,” tambah Vany.
Seperti diketahui, Fakultas Adab dan Humaniora telah
mensosialisasikan aturan etika berpakaian terbaru. Setiap lantai depan lift
memampang standing banner Etika Berpakaian. Salah satu poin aturan
tersebut ialah “Memakai Hijab atau Jilbab (Tampak Wajah) *Berdasarkan SK
Dirjen Pendis Kemenag No 102 tahun 2019 (BAB II Pasal D No 5.) Disebutkan Agar
Dalam pembelajaran Di Kelas Harus Tampil dengan Wajah Terbuka”.
Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Siti Anshoriyah Mudas
menginginkan ruang dialog bagi mahasiswi yang menggunakan penutup wajah.
“Pernah ada mahasiswi yang menutup wajah, dia menghadap kepada
saya, dan kita ngobrol, berdialog, bahwa secara pribadi saya tidak ada masalah.
Orang boleh mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Tetapi karena ini di
kampus, kampus itu adalah sebuah institusi tentu kita punya peraturan,” jelas
Anshoriyah.
Senada dengan Siti Anshoriyah, Mansoer mengungkapkan akan
mengambil tindakan berupa teguran bagi mahasiswi yang menggunakan penutup wajah
ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. “Selama ini masih persuasif.
Diajak dialog dan berargumen,” tambahnya.
Kemudian ia juga mengatakan sudah ada beberapa mahasiswi yang
dipanggil dan berdiskusi terkait aturan ini. “Ternyata setelah dijelaskan,
berdialog dan berargumen ada yang selama proses perkuliahan berlangsung di
kelas dia lepas sementara dan baru kemudian saat keluar dipakai lagi,” ujar
Mansoer.
Lebih lanjut, Mansoer akan melakukan perubahan dalam kode etik
mahasiswa. Ia menuturkan telah melakukan koordinasi dengan Rektor UIN Jakarta
Amany Lubis. Selanjutnya akan dibawa ke Senat Universitas untuk melakukan
perubahan.
“Kode etik kita ini masih umum ya. Di sini pakaian itu masih
diatur terlalu umum. Begini bunyinya: dilarang melanggar standar busana, tata
cara berbusana, dan berpenampilan. Ya begitu saja, tidak spesifik. Jadi kita
akan sesuaikan karena kan ketentuan lebih tinggi itu yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama lalu kemudian ini nanti harus menyesuaikan,” tambahnya.
Editor: Fachrureza dan Garis
0 Comments