![]() |
Ilustrasi: Siti Masyithoh |
“Aku cuma mau mereka
dikeluarkan dari sekolah, Bunda.”
JOURNOLIBERTA.COM - Itulah keinginan Nabila (bukan nama sebenarnya) terhadap orang-orang
yang dengan sengaja menyebarkan foto pribadi Nabila tanpa izin. Ia menyampaikan
keinginan itu diiringi isak tangis di hadapan ibunya 8 tahun lalu saat masih duduk di
bangku kelas 2 SMP di Kota Jakarta.
Kondisi Nabila sedang tidak begitu baik diakibatkan radang payudara yang dideritanya. Kakak
kelasnya datang menjenguk beramai-ramai. Siapa yang menyangka hari itu akan
menjadi mimpi buruk yang terus mengejarnya hingga tahun-tahun ke depan. Kakak
kelasnya ingin meminjam handphone
Nabila untuk mengabari orang tuanya terkait keberadaannya. Nyatanya, si kakak
kelas mengirimkan foto-foto pribadi Nabila kepada orang lain melalui aplikasi
pesan singkat di handphone Nabila.
“Aku kaget karena semua
temen-temenku tahu tentang foto itu, dan diomongin
di mana-mana. Aku malu banget, gak tau
harus gimana, “
ujarnya
Foto-foto itu sudah tersebar luas kepada siswa-siswi di sekolahnya.
Nabila marah dan takut di saat yang bersamaan. Pada ibunyalah Nabila bersandar.
Ibunya yang kemudian mengajukan gugatan kepada pihak sekolah untuk menangani
kejadian ini dan memberikan hukuman kepada para pelaku.
Pihak sekolah kemudian menyetujui keinginan tersebut.
Pihak sekolah menanyai satu per satu pelaku dan mencatat kronologi kejadian.
Hal selanjutnya yang terjadi benar-benar memukul Nabila dan ibunya. Pihak
sekolah ingin memeriksa handphone
Nabila untuk melihat foto seperti apa yang sudah disebarluaskan. Ibu Nabila
marah besar.
“Ini
privasi anak saya, saya aja gak
pernah ngecek. Anak saya dilecehkan, apa yang Anda semua cari dari HP ini?” Nabila menirukan ucapan ibunya saat itu.
Tekanan dan tuduhan juga berdatangan pada Nabila.
Banyak yang menyebutkan bahwa itu adalah kesalahan Nabila karena meminjamkan handphone-nya pada orang lain. Ada yang menyebutkan itu
kesalahan Nabila karena menyimpan foto dan tidak menghapusnya. Pihak sekolah
juga menekannya dengan memaksa agar tidak mengeluarkan para pelaku.
“Pihak sekolah dan pesantren pengennya untuk diselesaikan dengan kekeluargaan
aja. Kalo
bisa gak ada (siswa –red)
yang
keluar, cukup pelaku minta maaf ke aku aja gitu,” cerita Nabila.
Ibu Nabila-lah yang jadi pendukungnya. Tak henti dan
putus ibunya memercayai Nabila dan menemani Nabila menghadapi tekanan dan
tuduhan semua orang. Ibu Nabila juga yang terus mendorong pihak sekolah agar
memberikan hukuman pada pelaku sesuai keinginan Nabila.
“Mereka harus minta maaf padaku, sekolah mengeluarkan
mereka dan mempertemukan orang tua pelaku dengan bunda,” tambah Nabila.
Setelah tuntutan Nabila dan ibunya dikabulkan, Nabila
memutuskan keluar dari sekolah itu. Sekalipun pihak sekolah menyarankan agar
Nabila tidak keluar sekolah, tapi pindah ke cabang sekolah lainnya. Nabila
menolak.
“Aku gak berani lihat teman-teman di sekolah atau
kakak kelasku itu. Aku mau menjauh dari sana, aku trauma,” cetusnya.
Nabila tak langsung melanjutkan sekolah di sekolah
baru, ia memutuskan istirahat. Selain dikarenakan trauma bertemu orang lain, Nabila juga harus memulihkan kondisi kesehatannya.
Kini, setelah 8 tahun berlalu Nabila juga masih merasa sendu tiap mengingat
atau menceritakan kejadian saat itu.
Oleh karena itu, Nabila berharap ke depannya orang-orang yang berada
di sekeliling korban kekerasan seksual haruslah menjadi support system yang tepat. Terkhusus untuk orang tua yang
anaknya menjadi korban kekerasan seksual, penting untuk diingat kesalahan
ada di pelaku bukan
korban.
“Kalo tidak ada yang penting untuk diucapkan pada korban,
maka gak perlu dilontarkan.
Seharusnya semua komunitas, sekolah, kantor punya perspektif korban, kalo gak,
kita akan stuck aja di masalah yang sama, dan penyelesaian yang sama,
tidak berpihak pada korban,” harapnya.
Kalau Bukan Kita yang Mulai, Siapa Lagi?
Ruang
komunal harusnya memberikan rasa aman yang sama ke pada semua penghuninya,
tidak hanya hubungan antarindividu seperti pertemanan teman sekolah layaknya
Nabila dan kakak kelasnya, tapi juga di dalam sebuah komunitas kegiatan.
Komunitas Sastra Rusabesi berusaha melakukannya saat
terjadi kasus kekerasan seksual yang melibatkan anggota komunitas pada 2019
lalu. Saat itu mereka mendapat laporan dari seseorang yang mendapatkan
pelecehan seksual dari anggota komunitas pada 2013 silam. Korban membutuhkan
waktu yang sangat lama hingga akhirnya berani bersuara untuk meminta keadilan.
“Kejadiannya memang bukan di lingkup kegiatan
komunitas, tapi pelakunya adalah anggota aktif komunitas. Rusabesi menjadi
mediator antara kedua belah pihak,” cerita Bendahara Umum Komunitas Rusabesi
Divani.
Saat itu Komunitas Rusabesi kebingungan tindakan
seperti apa yang harus mereka lakukan terhadap kasus kekerasan seksual yang
melibatkan anggota komunitas mereka. Ini adalah kasus pertama untuk mereka,
mereka meraba-raba bagaimana agar komunitas itu menjadi ruang yang aman bagi
anggotanya di masa mendatang. Karenanya, mereka bekerjasama dengan komunitas
perempuan Gender Talk, mulai dari mendengarkan cerita korban, lalu menawarkan
agar korban bertemu dengan Komnas Perempuan. Menawarkan bantuan psikologis dan bantuan
pelaporan jika kasusnya mau dibawa ke ranah hukum.
Seiring berjalannya waktu komunitas memutuskan untuk mempublikasi
keputusan kasus di sosial media atas permintaan korban dan menonaktifkan pelaku
dari kegiatan komunitas selama satu tahun. Keputusan ini menuai kecaman dari
banyak pihak karena dianggap bias terhadap pelaku.
“Dalam prosesnya itu, bias dan membingungkan, karena
kurang komunikasi dari kedua pihak, mungkin juga karena pengaruh hubungan
pribadi mediator dengan pelaku, makanya kita melakukan peninjauan kembali juga”
terang Divani.
Dengan keraguan dari pihak korban komunitas memutuskan
untuk mengganti mediator terkait dan melakukan proses peninjauan penyelesaian
kasus lagi. Akhirnya keputusan penyelesaian kasus dipublikasi di sosial media
dan pelaku dikeluarkan dari komunitas secara permanen.
“Setelahnya kasus itu kami buat catatan kasus
pelecehan seksual yang berhubungan dengan anggota komunitas juga. Hingga
sekarang tercatat 1 kasus dengan 3 orang korban,” ungkap Divani.
Hingga kini Komunitas Rusabesi terus berupaya
membangun komunitas sebagai ruang aman untuk semua anggota. Mereka kerap
menggelar diskusi mingguan agar tiap anggota lebih paham tentang ruang aman.
Mereka juga berusaha membuat standar operasional penangan pelecehan kasus
kekerasan seksual di dalam komunitas.
“Kalau
kelak kasus ini terjadi lagi, pelaku akan langsung kami keluarkan,” tegas Koordinator Komunitas Rusabesi Hafiz.
Apakah Ruang Publik Kita Aman?
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja bahkan di
ruang publik sekalipun yang melibatkan orang banyak. Relasi hubungannya pun
dapat beragam, mulai dari pertemanan dekat hingga orang asing di jalan.
Hal ini dapat dilihat dalam catatan
tahunan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterbitkan Komisi Nasional
(Komnas) Perempuan 2020, menyebutkan ruang publik dan komunitas Indonesia termasuk kategori rentan kekerasan seksual. Tercatat 3.602 kasus
yang dilaporkan di 2019. 58 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik
atau komunitas adalah kekerasan seksual yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan
(715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Sementara itu persetubuhan sebanyak
176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Membenarkan, Co-director Hollaback! Jakarta Jesslyn
menjelaskan bahwa berdasarkan survey kekerasan seksual di ruang publik oleh
Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melalui 62.224 responden ada sekitar 19 jenis
kekerasan seksual yang diterima korban.
Secara
rinci, ada 19 jenis pelecehan seksual di ruang publik. Di antaranya, siulan
(5.392), komentar atas tubuh (3.628), main mata (3.325), disentuh (3.200),
komentas seksis (2.515), didekati dengan agresif dan terus menerus (1.445),
komentar rasis (1.753), diraba atau dicekam (1.826), komentar seksual secara
gamblang (1.986), digoda dengan klakson (2.140), digesek dengan alat kelamin
(1.411), dikuntit (1.215), gestur vulgar (1.209), suara kecupan (1.001),
dipertontonkan masturbasi publik (964), diintip (7), difoto (11), diperlihatkan
kelamin (35), dihadang (623).
Dilanjutkan Jesslyn dalam kasus kekerasan seksual
terjadi adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban baik secara material
ataupun psikis. Dalam kasus Nabila hal ini dapat dilihat bahwa kakak kelas
Nabila sebagai pelaku merasa lebih berkuasa dengan status senioritas dibanding
Nabila.
Melakukan konseling terlebih dahulu kepada
lembaga-lembaga yang fokus dalam pendampingan kasus kekerasan seksual sangat
direkomendasikan Jesslyn. Menyebarluaskan kasus melalui internet atau sosial
media adalah sesuatu yang tidak disarankan. Pasalnya, penyebaran kasus atau dokumentasi
dalam bentuk apapun tanpa consent
tidak akan pernah menjadi hal yang benar.
“Apalagi jika penyebaran tersebut dapat
lebih membahayakan situasi korban,”
tambahnya.
Untuk membantu korban kekerasan seksual di ruang publik saat kejadian, disampaikan Jesslyn, ada beberapa hal
yang dapat dilakukan orang sekitarnya untuk menolong. Disebut dengan standar
intervensi saksi 5D yaitu direct,
distract, delegate, delay dan
document.
Pada
dasarnya, Bystander Intervention atau Intervensi Pelecehan adalah
strategi sosial yang dilakukan untuk mencegah atau menghentikan kekerasan dan
opresi melalui keterlibatan individu maupun kelompok yang bersedia untuk
menangani situasi yang dianggap sebagai masalah. Panduan ini boleh dilakukan
jika saksi merasa sanggup dan sudah memastikan situasi dan kondisi dirinya
aman.
“Komunitas
atau publik seharusnya melakukan effort lebih untuk belajar dan
berempati dengan korban dan kelompok minoritas rentan, atau kita sebut sebagai Collective
Awareness. Setelah belajar dan berempati, mulailah bersosialisasi dengan
etika yang benar,” tambah
Jesslyn.
Jesslyn sampaikan ruang komunal atau ruang publik yang
ada interaksi banyak orang di dalamnya tidak bisa menjadi ruang aman selama
kekerasan seksual masih terjadi di mana saja. Tidak memandang laki-laki,
perempuan, anak-anak, remaja dan orang dewasa.
“. . . adalah tanggung jawab
setiap individu atau kelompok komunitas untuk melindungi satu sama lain,” ungkap Jesslyn.
Penulis:
Siti Masyithoh
***
Tulisan
ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis
untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die
Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
0 Komentar