![]() |
Foto: Sulthony Hasanuddin |
JOURNOLIBERTA.COM - Pengesahan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja
pada Senin (5/10/2020) menuai beragam penolakan dari berbagai kalangan. Proses pembentukan perundang-undangan serta
ditemukannya pasal-pasal kontroversi yang dinilai merugikan masyarakat sipil
dan buruh, menjadi pemicu
terjadinya banyak unjuk rasa
di berbagai daerah belakangan ini.
Kompas.com mencatat ada beberapa pasal bermasalah dan kontroversial
yang terdapat dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan
UU Cipta Kerja. Pasal-pasal tersebut di antaranya: pasal 59 yang menghapus
aturan mengenai jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pasal 79 tentang adanya pemangkasan waktu istirahat, dan pasal 88 tentang pengubahan kebijakan terkait pengupahan kerja.
Ketentuan di bab ini dianggap banyak mengikis hak-hak buruh
yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pakar
Hukum sekaligus Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,
Andi Syafrani, mengatakan, di situasi pandemi Covid-19 semua negara sedang
mengalami kesulitan, hadirnya UU Cipta Kerja ini diharapkan bisa menjadi salah
satu solusi dari melemahnya ekonomi di Indonesia. Namun, jika yang menjadi tumpuan adalah investasi
asing, menurutnya, undang-undang tersebut tidak bisa
diharapkan mengingat situasi global saat ini.
"Situasi
akibat pandemi ini bikin semua negara kesulitan. UU Cipta Kerja diharapkan jadi
salah satu solusi. Hanya saja tumpuan UU tersebut pada investasi asing.
Sedangkan negara lain pun sedang berbenah untuk dirinya. Harapan dari UU ini
yang terlalu besar mungkin saja akan tidak sesuai karena kondisi global saat
ini," jelas Andi Syafrani dalam wawancaranya di media Reaksi Nasional pada
Selasa (6/10/2020).
Menurut
Andi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam proses
pembuatan UU Cipta Kerja, di antaranya, materi dalam UU terlalu banyak sehingga sangat mungkin ditemukan ketidaksinkronan antarmateri UU atau dengan UU lainnya. Ditambah proses perancangan yang dinilai dikebut dan
dilakukan di masa pandemi, dikhawatirkan banyak masukan yang belum terakomodasi dan bisa saja menjadi
akar persoalan.
Andi juga menilai sikap pemerintah seharusnya lebih
sensitif terhadap suara-suara rakyat. Sebab pemerintah dalam mengambil
keputusan harus mengedepankan kepentingan rakyat dengan membuka ruang dialog
mendengar aspirasi dari berbagai kelompok.
Senada
dengan Andi, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Muhammad Ishar Helmi mengatakan,
secara formil pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut telah keluar
dari aturan baku ketentuan Undang-undang No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Menurutnya, hal itu mencederai kedaulatan rakyat
untuk dapat berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang. Ishar menambahkan,
sejak awal sebagai rancangan undang-undang, RUU Cipta Kerja tidak
dipublikasikan dan terkesan ditutup-tutupi dari perhatian publik.
“Terdapat cacat formil meliputi absennya
partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang (UU Cipta Kerja) tersebut.
Logika terbalik yang digunakan oleh DPR yaitu dengan membuat terlebih dahulu
baru dipublikasikan,” kata Ishar dalam wawancara lewat WhatsApp pada
Jumat (09/10/2020).
Lihat juga: Foto: Tolak
UU Omnibus Law, Demo di Istana Negara Ricuh
Alasan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja oleh sejumlah kalangan menurut Bambang Tri Wibagyo,
Dosen Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, salah satunya adalah penyusunan undang-undang yang
dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi
peran masyarakat sipil, mendaur ulang
pasal-pasal inkonstitusional, serta naskah
akademik dan draft RUU yang tidak dapat diakses.
Bambang menolak UU Cipta Kerja ini bukan
karena konsepnya, melainkan proses lahirnya UU tersebut dan waktu pengerjaan
yang dinilai bermasalah. Menurutnya, salah satu tujuan baik dari UU Cipta Kerja
ialah penambahan investasi tahun 2019 dari data yang ada sebesar 790 triliun
rupiah. Bambang juga mengingatkan tentang Incrementral Out Put
Ratio (ICOR) Indonesia yang berada di posisi tinggi, bahkan tertinggi
di Asean dengan nilai di atas 5. Bambang menyimpulkan, nilai investasi di Indonesia terbilang rendah, hal itu
disebabkan oleh birokrasi yang rumit serta biaya yang tinggi.
“Agaknya niat baik konsep Omnibus Law saja
tidak cukup, karena banyak hal yang harus diperhatikan seperti proses
pembentukannya dan waktu pengerjaan UU tersebut,” ungkap Bambang saat dihubungi
lewat WhatsApp pada Minggu (11/10/2020).
Secara terpisah, Dewan Eksekutif Mahasiswa
(DEMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga turut
menyoroti persoalan ini. Sehari setelah disahkannya UU tersebut, DEMA UIN Jakarta mengeluarkan surat edaran sebagai
bentuk pernyataan sikap penolakan disahkannya UU Cipta Kerja. Terdapat beberapa
poin alasan penolakan dalam surat edaran tersebut.
Lihat juga: Tolak Pengesahan UU Cipta Kerja,
Mahasiswa Gelar Teatrikal
Beberapa poin tersebut di antaranya
adalah kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan maupun pengujian UU
Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal dalam teori Civil Law yang
dianut oleh Indonesia, pembuatan UU harus berdasarkan keinginan masyarakat
sehingga partisipasi publik utamanya pihak-pihak yang terdampak oleh UU tersebut
dijamin keterlibatannya dalam penyusunan dan pengujian draft dengan
mendengarkan pendapat publik.
Selain itu, kemudahan perizinan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga dinilai dapat memicu adanya eksploitasi
lingkungan hidup yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 H. Ditambah adanya
pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan yang
dianggap tidak transparan, serta mengedepankan represifitas dengan
meminta Polisi Republik
Indonesia dan Badan Intelijen Negara untuk menghentikan masyarakat sipil dalam upaya
mengkritisi UU ini dalam berbagai bentuk.
UU Cipta Kerja juga dinilai dapat
merugikan hak buruh serta berpotensi melahirkan eksploitasi terhadap
pekerja, disusul perusakan tatanan hukum
dengan memperkuat posisi pemerintah pusat dalam intervensi kebijakan daerah
yang bertentangan dengan reformasi yang mengacu desentralisasi dan distribusi
kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah dinilai telah melanggar berbagai
prinsip Role of Law dan hak asasi manusia sehingga DEMA UIN
Jakarta dengan tegas menolak dan menuntut DPR RI meninjau kembali UU tersebut
serta meminta presiden mengeluarkan Perppu terkait UU Cipta Kerja.
Penulis: Gina Nurulfadilah
Editor: Siti Hasanah Gustiyani
0 Comments