![]() |
Ilustrasi: Journo Liberta/Garis Khatulistiwa |
Dalam memutus penyebaran virus Covid-19,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ),
terhitung sejak pertengahan Maret 2020. Kebijakan ini berlaku bagi
seluruh mahasiswa tanpa terkecuali
bagi mahasiswa penyandang disabilitas.
Rayhan Naufaldi Hidayat, seorang
mahasiswa penyandang
disabilitas tuna netra dari Program Studi Ilmu Hukum
angkatan 2018, mengatakan, setiap dosen memiliki caranya sendiri dalam
melakukan proses perkuliahan jarak jauh.
"Karena covid, jadi harus di rumah
saja sampai sekarang dan tidak tahu akan sampai kapan. Biasanya selama PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh)
dosen menggunakan beberapa platform,
seperti Zoom Meeting terus dari awal
sampai akhir perkuliahan. Ada
juga dosen yang sukanya kombinasi kadang nge-zoom, nanti untuk pengumpulan
tugas di Google Classroom,
ataupun AIS (Academic Information System)," katanya saat dihubungi via telepon WhatsApp, Minggu (21/3/2021).
Rayhan mengaku
ada keuntungan dalam sistem perkuliahan jarak jauh, misalnya waktu lebih
fleksibel. Selain itu, lanjutnya, dosen lebih memaklumi mahasiswa jika ada
kendala yang dihadapi selama perkuliahan, baik dari segi kuota maupun jarak.
Namun, ia mengeluhkan beberapa
kendala bagi mahasiswa penyandang disabilitas seperti dirinya. Rayhan memberi
contoh ihwal pengumpulan tugas. Ia menyebut, meresume secara tertulis setiap
pertemuan dalam waktu 10 menit bagi penyandang disabilitas seperti dirinya
adalah hal yang sulit.
"Untuk
kita mahasiswa disabilitas itu sesuatu yang tidak mungkin, karena kita kan harus minta tolong ke orang lain
dulu. Jadi kita sering merasa terbebani dengan hal-hal yang demikian, tapi ya namanya minoritas, mau gimana lagi kita
nikmatin saja,"
paparnya dengan ramah yang diiringi tawa.
Baca juga: Layanan Mahasiswa Disabilitas: Makin Sepi Sejak Pandemi
Rayhan mengaku ada dosen yang stereotipnya masih cenderung diskriminatif dalam pola pemahaman dan pemikiran. Apabila ada tugas yang dirasa membebani, ia memilih diam karena takut kesempatan untuk mendapat nilai maksimal dibatasi.
Saat ditanya mengenai ada atau tidaknya
kemudahan fasilitas yang diberikan dari kampus, Rayhan memilih untuk tidak
bersuara kepada pihak kampus.
Karena menurutnya jika memberitahu kepada pihak kampus, kemungkinan yang
pertama kebutuhan kami
benar-benar terpenuhi atas dasar paradigma kesetaraan.
Kemungkinan
kedua yang ia
takuti, kebutuhannya tidak diindahkan
tetapi justru menyuruh para dosen untuk memberikan dispensasi yang nantinya
dosen kembali membatasi kesempatan mereka.
Rayhan mengharapkan agar pihak kampus lebih
terbuka kepada mahasiswa penyandang
disabilitas. Ia juga menyarankan, jika
UIN Jakarta ingin menjadi kampus World
Class University, kampus harus memiliki komitmen yang kuat dalam membantu
mahasiswa disabilitas, tidak hanya mengejar akreditasi dan menganggap mahasiswa
disabilitas untuk formalitas saja.
Tambahnya, kampus
juga harus membangun paradigma seluruh tenaga pengajar khususnya unit
disabilitas, dengan paradigma kesetaraan bukan dari belas kasih.
“Niat
UIN Jakarta sebagai kampus World Class
University sudah sangat mulia, tetapi untuk menjadi itu, kampus juga harus
mengetahui penanganan yang seharusnya dilakukan terhadap mahasiswa disabilitas
dan tidak boleh dipandang sebelah mata atau dianggap remeh,” tutup Rayhan.
Penulis: Anisa Hafifah
Editor: Johan
0 Komentar