Setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam pemilihan umum, tak terkecuali ras negro yang tinggal di
selatan Amerika Serikat. Namun kenyataan berbanding terbalik. Pada tahun 1965,
terjadi diskriminasi rasial terhadap warga keturunan Afrika-Amerika yang
tinggal di kota Selma, Alabama. Ras negro dilarang untuk berpatisipasi dalam
pemilihan umum.
Ketidakadilan tersebut menyentuh hati Martin Luther King, seorang aktivis
hak asasi manusia keturunan negro. Sebagai penerima penghargaan nobel
perdamaian, King mempunyai akses untuk meminta langsung kepada presiden Amerika
Serikat pada saat itu, Lyndon B. Johnson guna menyelesaikan permasalahan
rasisme tersebut. Namun, jawaban Presiden Johnson tidak memuaskan King, akhirnya
ia memutuskan untuk datang langsung ke kota Selma.
King tiba di Selma bersama tim yang tergabung di Southern Christian Leadership
Conference (SCLC) dan seorang propagandis bernama Diane Nash. Namun, sesampainya
di hotel, King disambut dengan perlakuan tidak sopan seorang kulit putih yang
melayangkan pukulan tepat ke wajahnya.
King dan SCLC berupaya menjadikan kekerasan ras di kota Selma sebagai headline di koran nasional agar
diketahui masyarakat luas. Mereka memanfaatkan Jim Clark, Sheriff di kota
tersebut agar memberikan kekerasan kepada para negro.
Setelah menjadi headline koran
nasional, King dimasukan ke penjara oleh George Wallace, Gubernur Alabama
dengan tuduhan membuat keributan negara. King dikeluarkan dari penjara dan
kembali ke Washington untuk meminta bantuan Presiden Johnson untuk kedua
kalinya.
Di Selma, 525 warga negro meninggalkan gereja Capel Brown dan berjalan enam
blok menyebrangi Jembatan Edmund Pettus dan Sungai Alabama untuk melakukan unjuk
rasa di Montgomery, Ibukota Alabama. Namun, aksi mereka gagal karena di pukul
mundur oleh aparat keamanan di Jembatan Edmund Pettus.
Mereka mendapat kekerasan fisik , didorong hingga terjatuh, bahkan dipukuli
menggunakan tongkat oleh aparat. Akibatnya, banyak dari mereka yang menderita
patah tulang rusuk, kepala, lengan, dan kaki. Kerusuhan tersebut disiarkan
langsung melalui televisi secara langsung.
King mengadakan jumpa pers dan disiarkan secara nasional. Ia mengajak semua
orang baik yang percaya akan kesetaraan untuk bergabung dengannya melakukan
unjuk rasa kembali. Ratusan orang kulit putih dan ulama memutuskan untuk datang
ke Selma mendukung aksi King.
Pada unjuk rasa kedua, aparat keamanan di Jembatan Edmund Pettus memberi
jalan kepada King dan pengunjuk rasa lainnya untuk lewat. Namun, King memilih
mundur karena berpikir ini adalah jebakan yang berujung pertumpahan darah dan
kematian.
Kemudian, Pengadilan Federal memenangkan gugatan banding SCLC kepada
pemerintah Alabama terkait izin berdemonstrasi, King dan warga negro
mendapatkan izin lima hari untuk melakukan long
march sejauh 50 mil dari kota Selma menuju Ibu Kota Montgomery.
Akhirnya, King berpidato di depan gedung pemerintahan Alabama. Di hadapan
ratusan negro, ia menyerukan kesetaraan hak tiap warga negara tanpa terkecuali.
Berkat kegigihan King, lima bulan kemudian Presiden Johnson menandatangani
Undang-Undang Hak Memilih.
Perjuangan Martin Luther King dikisahkan dalam film berjudul Selma. Ava
DuVernay sebagai sutradara sukses mengemasnya dengan alur yang tidak
membosankan. Film ini dapat mengingatkan kembali tentang sejarah kelam ras
kulit hitam di Amerika Serikat.
David Oyelowo berhasil memerankan sosok Martin Luther King sebagai pribadi yang cerdas, pandai strategi, dan memiliki sisi humanis yang tinggi. Film berdurasi 128 menit ini juga masuk dalam nominasi Oscar 2015 kategori film terbaik dan soundtrack terbaik.
(Denny Aprianto)
0 Komentar