Pekerjaan peneliti itu
cari-cari masalah, tetapi juga sesekali harus berani menyadari bahwa sebenarnya
tidak ada masalah dengan yang ditelitinya. Itu adalah kalimat keyakinan yang
dipegang Sarwono, seorang pria yang berprofesi sebagai Dosen Antropologi yang
tidak jarang melakukan penelitian.
Sejak lulus SMA, Sarwono
memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di
Jakarta dari kota asalnya, Solo. Di Ibu Kota, ia menghidupi kebutuhannya
sendiri, tidak ingin membuat repot keluarganya di kampung halaman. Penghasilan
dapat dia raih dari upahnya sebagai penulis artikel dan puisi yang ia setor ke
media-media cetak.
Kehidupan dosen muda ini
tidak hanya bertahan untuk terus hidup dengan asupan jasmani tetapi juga soal
rohani, yaitu asmara. Ia menjalin cinta dengan seorang gadis yang sama-sama
berprofesi sebagai pengajar di tingkat perguruan tinggi, Pinkan namanya. Pinkan
merupakan adik dari teman semasa SMA-nya
dulu, Toar Palenkahu. Perempuan yang memang sudah ditaksirnya sejak ia berseram
putih abu-abu.
Menjalin rajutan kasih
dengan Putri Palenkahu bukan tanpa halangan. Apalagi terdapat perbedaan suku
dan agama dalam diri mereka. Sarwono pria yang berasal dari Solo, merupakan pria
muslim taat. Sedangkan Pinkan, gadis perawakan blasteran, Ibu Jawa dan Bapak Menado, seorang kristiani teguh. Hal ini menjadi
warna sendiri dalam percintaan kedua dosen ini.
Perbedaan itu
dikhawatirkan mereka berdua menjadi tembok tebal yang tak bisa dirobohkan. Kecemasan
muncul ketika meminta persetujuan orang tua mereka. Namun, pada kenyataanya ke
dua orang tua mereka tak mempermaslahkan hal itu, malah menyerahkan semua ke
diri mereka masing-masing.
Masalah justru datang dari
kerabat Pinkan, mereka kerap kali menyudutkan Pinkan dengan berbagai pertanyaan
tentang hubungannya dengan Sarwono, Barry salah satu kerabatnya pernah
bertanya, apa Pinkan rela berkerudung? Tidak hanya itu, mereka mengharapkan
Pinkan dipinang laki-laki yang mengajar di perguruan tinggi di Menado,
laki-laki yang pernah kuliah di Jepang. Tetapi dengan guncangan dan harapan
saudaranya itu, Pinkan tetap teguh tak tergoyahkan, tetap Sarwono sang
Matindas. Matindas yang menururt legenda Menado adalah sosok pria pujaan kaum
hawa. Ya, cinta tak mengenal a, b, dan c.
Tantangan hubungan tak
hanya sampai di situ. Pinkan yang ditugaskan Kaprodinya ke Jepang untuk
melanjutkan studi sekaligus mengajar di sana membuat hubungan ini semakin
rumit. Bagaimana tidak, di Jepang sana ada si sontoloyo, Katsuo. Katsuo pria nihon
tulen yang dulu kuliah di Ibu Pertiwi, sekarang menjadi dosen di Jepang. Pria
yang membuat Sarwono cemas, karena ketika di Indonesia ia sengat dekat dengan
Pinkan.
Selama di tinggal sementara
oleh Pinkan ke negeri Matahari Terbit, Sarwono mengalami konflik batin hebat.
Kata-kata Pinkan seolah-olah selalu terdengar di telinganya. Ia berusaha meyakinkan dirinya kalau Pinkan
tetap setia padanya. Berusaha percaya si Katsuo tak macam-macam dengan gadis Menadonya.
Pikiran macam-macamnya itu
memperburuk kesehatannya yang memang sudah mengidap penyakit paru-paru basah,
dirawatah Sarwono di rumah sakit. Pinkan yang mendengar hal itu tanpa pikir
panjang langsung kembali ke Indonesia menuju rumah sakit yang merawat Sarwono.
Ketika sampai Pinkan tak dibolehkan masuk ke ruang perawatan. Ia hanya menunggu
dan membaca puisi dari Sarwono yang dititipkan Sarwono ke ibunya.
Cerita ini mengisahkan dua
orang muda-mudi cerdas, pintar, juga berprestasi. Cerita yang memberikan
gambaran bahwa prestasi dan keahlian mentereng juga tidak mudah dalam merajut
asmara. Si pria Sarwono yang pandai menulis artikel dan puisi, yang karyanya dapat
menghasilkan uang, dosen muda Antropogi Universitas Indonesia (UI) yang kerap
kali melakukan penelitian. Sedangkan Pinkan, perempuan muda yang sedari ia
menjadi mahasiswa berprestasi karena sering dipilih menjadi mahasiswi
kehormatan yang diberi mandat tertentu. Gadis yang sekarang berprofesi jua di
UI sebagai dosen sasta Jepang yang saat ini mendapat mandat sementara ke Jepang
dari kampus untuk melanjutkan studi dan mengajar di sana.
Sayangnya di novel ini terkadang
dibeberapa kalimatnya tidak menerapkan faedah tanda baca. Jika diperhatikan,
hal ini sengaja dilakukan Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya. Kalimat yang
sangat panjang tanpa tanda baca. Hal ini akan menjadi asik untuk sesorang yang
biasa membaca novel khususnya yang nyentrik seperti ini. Tetapi bagi yang belum
terbiasa akan sedikit membingungkan membaca kalimat-kalimat tertentu.
Perlu diketahui, buku
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono sebelum menjadi novel mempunyai
perjalanan yang panjang. Awalnya dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan
nanti film, kini beralih menjadi novel.
Judul
: Hujan Bulan Juni
Penulis
: Sapardi Djoko Damomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : Juni 2015
ISBN
:
978-602-03-1843-1
Tebal : 135 Halaman
(Aldiansyah Nurrahman)
0 Komentar