Wajah Perempuan dari Masa ke Masa


Seratus enam puluh tahun telah berlalu. Saat itu, kota New York sedang menyimpan kemarahan para perempuan yang berjibaku dengan pekerjaan kasar namun tidak menerima gaji yang setimpal. Perempuan-perempuan itu merupakan buruh garmen yang berusaha untuk mengikuti arus industrialisasi dan memiliki alasan tersirat tentang bekerja untuk hidup. Hal ini merupakan salah satu memicu keluarnya gagasan terkait perayaan tentang hari perempuan.

Perempuan selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Perjalanan perempuan memiliki kisah yang begitu melimpah ditengah era digitalisasi seperti saat ini. Jika ditarik sejak zaman Rasulullah, budak-budak perempuan dibebaskan dan Allah SWT mengangkat derajat perempuan dengan diturunkannya Surah An-Nisa. Sedangkan tahun 1960-an menjadi pertanda tersendiri tentang keberanian perempuan dalam penyuaraan eksistensi dengan munculnya paham feminisme.

Kepercayaan tentang kemunculan Maria Magdalena dalam lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci sebagai satu-satunya perempuan pun menjadi sesuatu yang menarik untuk diperdebatkan. Selain itu, Facebook yang merupakan media sosial dengan pengguna terbanyak menobatkan Kalki Subramaniam, Carol Rossetti, Gottini Gioaia dan beberapa yang lain sebagai ‘Perempuan Pilihan Facebook’ karena prestasinya yang patut untuk dicontoh.

Terlepas dari pembicaraan tersebut, Indonesia memiliki kisah sendiri terhadap para perempuannya. Stigma dapur, sumur, kasur telah berlalu lebih dari satu abad silam. Perkenalan R.A. Kartini dengan E.H. Zeehandelaar sejak 1899 seolah memberi tanda bahwa kaum perempuan Indonesia memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan membuktikan kekuatannya dengan tajuk emansipasi. Patriarki sedikit terbungkam. 


Kebebasan perempuan dalam mengenal pendidikan menjadi surga dunia bagi para kaum hawa. Kungkungan yang termaktub selama ratusan tahun tentang perempuan sebagai makhluk yang tidak diutamakan untuk mengenal dunia luar perlahan luntur. Persoalannya sekarang adalah bagaimana para perempuan memanfaatkan kebebasan tersebut, juga bagaimana bentuk realisasi dari emansipasi yang digadang-gadang oleh R.A. Kartini dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

Sabtu 4 Maret 2017 lalu, ratusan perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi dan para aktivis perempuan menggelar Women’s March di depan Istana Negara. Mereka menuntut ketidakadilan yang masih menjadi polemik dalam kehidupan perempuan ditengah-tengah masyarakat. Aksi ini membuktikan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih berjalan hingga sekarang. Padahal seharusnya perempuan telah mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki.

Bentuk protes tersebut terkait 400 lebih perda di seluruh Indonesia yang mengekang perempuan. Siti Musdah Mulia selaku ketua Indonesian Conference on Religion and Peace mewakili suara perempuan Indonesia kepada pemerintah untuk mencabut perda-perda tersebut. Perempuan-perempuan ini merasa dirugikan. Setidaknya, mereka masih diberikan kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang membuat mereka merasa dibedakan sebagai warga negara.

Ketakutan akan penindasan menjadi perhatian tersendiri. Perempuan Indonesia ingin bebas dan diakui kebebasannya. Meskipun jika ditinjau dari sisi lain, kebebasan tersebut sudah terpampang jelas dengan kemandirian para perempuan Indonesia dalam menangani persoalan individu maupun kelompok.

Sekiranya, dalam setiap keputusan memang selalu ada pihak yang kontra dan tidak diuntungkan. Inilah yang kemudian memantik tindakan protes dan tuntutan-tuntutan terkait ketidakpuasan tersebut. Pemerintah bisa saja mengambil tindakan demi memuaskan satu pihak. Sedangkan pihak lain yang mengatasnamakan kehormatan dan menjunjung tinggi kodrat perempuan akan merasa dinistakan. Secara tidak langsung lingkaran setan terbentuk. Proses emansipasi ini bisa saja menjadi bumerang bagi perempuan itu sendiri di kemudian hari.

Pencabutan Perda masih menjadi angan para peserta Women’s March beberapa hari lalu. Namun kehidupan tetap berjalan. Peningkatan kualitas masing-masing individu khususnya perempuan tetap harus ditingkatkan. Bukti-bukti prestasi yang ditorehkan para perempuan secara otomatis akan menjawab kegelisahan dalam hal pengakuan di berbagai bidang. Perayaan Hari Perempuan Internasional seakan menggenapi jawaban tentang kerja keras perempuan dalam konteks penyetaraan kedudukan.


Baca Juga : Cat Calling Musuh Bersama Kaum Perempuan
Baca Juga : Duta UIN sebagai Bentuk Pengabdian
Baca Juga : Jalan Panjang Sang Pencari Keadilan
Baca Juga : Kartini Rembang Terus Melawan
Baca Juga : Hari Perempuan Internasional (Foto)

*Laras Sekar Seruni
(Penulis adalah mahasiswi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Posting Komentar

0 Komentar