Melestarikan Kesenian Ondel-Ondel dari Jalan ke Jalan

Foto: Irfan Farhani
"Nyok kita ngarak ondel-ondel, nyok. Ondel-ondel ada anaknye, nye..." Siapa yang tidak tahu dengan nyanyian khas Betawi ini? Lagu ini begitu melekat dengan boneka berukuran besar yang terbuat dari bambu. Boneka yang digerakkan oleh seseorang di dalamnya, menjadikan boneka tersebut seolah menari mengikuti alunan lagu yang dimainkan, itulah ondel-ondel.

Ondel-ondel dikenal pertama kali pada tahun 1605, dalam buku Geschiedenis Van Java II karya W. Fruin Mees. Dalam buku tersebut mengisahkan pangeran Jayakarta Wijayakrama mengarak boneka setinggi 2,5 meter. Boneka raksasa  terbuat dari anyaman bambu yang disiapkan sedemikian rupa sehingga mudah dipikul dari dalam. Boneka raksasa pada saat itu dipakai untuk merayakan khitan pangeran Abdul Mafakir, anak dari pangeran Jayakarta Wijayakrama. Boneka raksasa itu bernama barongan, artinya kesenian yang dipentaskan secara rombongan yang sekarang kita kenal sebagai ondel-ondel.

Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan zaman di kota Jakarta yang semakin modern, bentuk dan fungsi ondel-ondel pada zaman dahulu dan sekarang telah mengalami perubahan. Dahulu, ondel-ondel merupakan kesenian daerah yang ada di acara-acara penting seperti hajatan, khitanan dan menyambut tamu khusus. Namun kini, ondel-ondel telah beralih fungsi menjadi alat untuk mencari nafkah (mengamen) oleh sebagian orang.

Salah satu pengamen ondel-ondel, Wiwi mengungkapkan tak salah jika menggunakan ondel-ondel sebagai media untuk mengamen. “Boleh, tapi nanti aturannya untuk bulan Januari harus menggunakan alat musik khas Betawi, tidak boleh menggunakan rekaman,” tuturnya. Menurutnya, dengan mengamen menggunakan ondel-ondel dapat melestarikan budaya kesenian khas Betawi.

Terkait lokasi yang sering didatangi oleh pengamen ondel-ondel, Wiwi menjelaskan ia memilih lokasi yang berbeda tiap harinya agar para penonton tidak jenuh ketika melihat ondel-ondel sedang menari di jalanan. “Kelilingnya mulai dari Bintaro, terus ke Pondok Ranji, dan sekarang saya lagi di Ciputat. Besok saya kelilingnya di pasar Ciputat,” kata Wiwi pada saat mengamen di sekitar jalan Pesanggrahan, Ciputat.

Dalam sehari, rombongan pengarak ondel-ondel yang terdiri dari tiga hingga empat orang ini dapat berkeliling selama enam jam, mulai dari pukul tiga sore sampai pukul sembilan malam. Mereka bertugas sesuai bagiannya masing-masing, dari yang memakai ondel-ondel, meminta uang, dan mendorong alat musik.

Keberadaan ondel-ondel sebagai simbol dan budaya Jakarta juga terus dipertahankan oleh para seniman jalanan ibu kota yang memainkan ondel-ondel. “Istilahnya ngamen. Namun, bila ondel-ondel dalam sejarahnya berkelilng sebagai bagian dari ritual magis, kini para seniman jalan mengarak ondel-ondel tujuan mencari nafkah hidup,” ujar wakil ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra. 


Keberadaan para seniman ondel-ondel harus diakui turut menjaga eksistensi ondel-ondel. Kendati begitu, Yahya berharap pemerintah lebih memberikan perhatiannya kepada sanggar kesenian ondel-ondel atau lembaga kebudayaan Betawi.

(Nubzah Tsaniyah)

Posting Komentar

0 Komentar