Preman Parlente, Berbatak Ria Bersama Jawa



Di sebuah ruang kerja dengan meja dan kursi khas perkantoran, aksesoris-aksesoris di atas meja, serta logo “LL” yang menempel di sebagian dinding. Berbincanglah dua sahabat lama tak jumpa, Ucok Lontong (Cak Lontong) dan Akbar (Nur Akbar). Sebagian lainnya terlihat properti mobil sport dua pintu berwarna merah terparkir di samping dinding ruang kerja. Penggambaran latar yang unik. “Lontong, kamu ini aneh. Kok ada mobil di dalam kantor,” celetuk Akbar. ”Loh, bukan mobil di dalam kantor. Tapi memang ruang kerjaku yang di parkiran,” balas Lontong yang kemudian memancing tawa penonton. Itulah salah satu adegan di bagian awal lakon teater Preman Parlente.

Preman Parlente mengisahkan seorang preman yang jatuh cinta, ia menyebut dirinya sebagai Ucok Lontong. Sebagai preman, Ucok Lontong berprinsip untuk tidak berbohong pada ibu dan pacarnya. Hal itulah yang membuatnya cemas ketika sang kekasih (Louise Sitanggang) mengajaknya ke tanah Batak untuk bertemu Inang sang kekasih. Ia takut terbongkar bahwa ia seorang preman, dan itu akan mengecewakannya. Sementara itu, di kampung, orang-orang sedang menunggu kedatangan seorang pengusaha yang juga politikus.

Ketika Ucok Lontong datang, orang-orang menyangka dialah pengusaha besar yang ditunggu itu. Kesalah pahaman pun terjadi. Ucok Lontong pun dipuja dan dihormati. Namun jati diri asli Ucok Lontong sebagai preman pun terungkap, ketika pengusaha dan politikus sebenarnya muncul (Marwoto) dan mengetahui siapa Ucok Lontong. Politisi tersebut sering memakai ‘jasa preman’ Ucok Lontong untuk menyelesaikan banyak persoalan. Kekasih Ucok marah, bukan karena Ucok seorang preman, tetapi karena merasa dibohongi. Baginya kejujuran adalah yang terpenting.

Atas kekecewannya, membuat Louise ingin meninggalkan Ucok. Menyadari kesalahannya tersebut, Ucok berusaha mengembalikan keadaan seperti sediakala. Ia mencari tahu tujuan sang pengusaha datang ke Samosir dengan menggali informasi dari warga yang mengetahui hal tersebut. Setelah menngetahui tujuan sang pengusaha, Ucok membeberkan bahwa pengusaha tersebut ingin membangun resort di Samosir dan menjadikannya kota metropolitan. Ucok dan Louise pun kembali bersama, Inang sang kekasih merestui hubungan keduanya.

Itulah sinopsis dari pertunjukan teater Indonesia Kita ke-27, Preman Parlente di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Sabtu (03/03/2018). Pertunjukan teater yang berlatar belakang kehidupan masyarakat Tapanuli ini mengajak penonton untuk mengenali potensi budaya dari tanah Batak. Mulai dari kekayaan musikalitas, seni pertunjukan, hingga sifat manusianya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tari tradisional yang dipadukan tari modern, lagu-lagu batak yang dinyanyikan Louise Sitanggang dan Alsant Nababan, musik rap dan beatbox dari Siantar Rap Foundation, komedi khas Batak dari Orang Batak Melawak (Obama),  musikal dari Viky Sianipar Ethnic Ensemble, serta pesan moral yang disampaikan dari pertunjukan tersebut.

Pemilihan judul Preman Parlente bermakna sikap parlente, berani jujur. Makna ini menyinggung jelang tahun politik dan para anggota parlemen. “Preman Parlente ini harap diyakini bahwa ini soal preman parlente bukan preman parlemente. Jadi karena ini tahun politik, kita harus berpikir positif yang di parlemen adalah orang-orang baik, tidak doyan suap, mereka adalah orang-orang tulus, jujur, mengabdi pada masyarakat, tidak pernah mengutil anggaran,” jelas Butet Kartaredjasa yang didapuk menjadi tim kreatif sebagai sambutan pertunjukan. Tak hanya makna, begitu pula jalan cerita. Dialog para pemain yang acap kali ‘menyentil’ para pelaku politik dengan guyonan menggelitik.

Pertunjukan teater tahun ini bertema “Budaya Pop: Dari Lampau ke Zaman Now”. Agus Noor sebagai penulis naskah dan sutradara berpendapat, budaya pop yang kerap disepelekan sebenarnya memperlihatkan sebuah proses upaya pencarian dan penafsiran dari sesuatu yang diwariskan sebelumnya. “Dari budaya pop itu pula kita bisa belajar dari kemampuannya untuk membangun ekosistem produksi seni, agar ia diterima dan bisa dinikmati oleh masyarakatnya,” tambah Agus.

Pertunjukan yang melibatkan pekerja seni lintas disiplin bahkan lintas budaya ini, diharapkan Agus menjadi sebuah mata rantai ekosistem seni yang semakin luas dan memungkinkan tumbuhnya ekosistem kesenian yang semakin baik.  Produksi karya seni, tak hanya disikapi sebagai proyek. Mesti juga disikapi sebagai proses sekaligus laboratorium, yang secara terus-menerus diperjuangkan kelangsungannya,” pungkas Agus.

Garis Khatulistiwa

Posting Komentar

0 Komentar