Kasus korupsi di indonesia setiap
harinya semakin berkembang, sulit rasanya membebaskan negera demokrasi ini dari
para koruptor. Korupsi dan pertumbuhan lembaga demokrasi kini berbanding lurus,
keduanya saling topang-menopang. Demokrasi seharusnya dapat memberantas potensi
korupsi. Pada praktiknya, pemilihan kepala daerah dan kampanye partai politik
nasional maupun partai politik agama yang membutuhkan biaya besar menumbuhkembangkan
korupsi di Indonesia.
Saat demokrasi dibajak oleh
praktik kejahatan korupsi yang dilakukan oleh oknum tertentu, posisi pers
justru dalam bahaya. Oleh karena itu, pers di Indonesia bertaggung jawab untuk
ikut terlibat dalam memberantas korupsi, karena korupsi bukanlah kriminalitas
biasa. Pemberitaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di media melahirkan kejenuhan publik, sehingga
terancamnya kepercayaan pada demokrasi. Peliputan secara gamblang indikasi tentang
korupsi masih jarang dimunculkan media. Hal ini karena tuntutan media tempat
bekerja insan pers dalam mengelola berita,
yang menjadi kendala munculnya laporan-laporan panjang tentang kasus
korupsi.
Melalui buku ini, insan pers di
Indonesia berbagi pengalamannya saat mereka bertugas meliput peristiwa yang
terjadi di KPK. Masing-masing dari mereka mempunyai cerita yang penting untuk diketahui
masyarakat. Mulai dari kasus yang yang telah diketahui publik sampai kasus yang
akhirnya tidak terpublikasi. Pejabat KPK yang berhati-hati dalam berbicara saat
diwawancarai oleh wartawan karena berbagai pertimbangan menimbulkan masalah
besar, sehingga minimnya informasi yang wartawan terima. Hal-hal yang
seharusnya diketahui oleh publik, menjadi tidak diketahui publik.
Hampir setiap hari kasus korupsi
menghiasi berita di televisi, media cetak, serta media daring. KPK yang
meruapakan lembaga antirasuah adalah partner
bagi media yang saling bekerjasama dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pemberitaan di era digital ini yang semakin cepat diketahui oleh publik,
membuat pekerjaan KPK cepat disiarkan melalui media, dalam upaya pencegahan
maupun penindakan. Oleh karena itu, posisi wartawan bagi KPK sangat krusial untuk
membantu KPK dalam menyebarkan informasi tindak pidana korupsi yang terjadi di
negeri ini.
Di dalam buku ini lebih dominan
jurnalis media cetak yang pemaparkan pengalamannya. Namun ada juga beberapa jurnalis televisi. Peliputan
berita menggunakan audio-visual di lembaga anti-rasuah ini merupakan pekerjaan
susah-susah gampang. Lebih banyak susahnya daripada gampangnya. Saksi atau
tahanan yang keluar dari gedung KPK biasanya terburu-buru dan enggan untuk
memberikan informasi. Hal ini yang menyulitkan jurnalis televisi dalam
mengambil gambar.
Ada cerita yang menarik di dalam
buku ini, cerita dari seorang wartawan yang disogok oleh seorang perempuan
bernama Della. Awalnya Della ini mengaku sebagai pekerja di instansi lembaga
perpajakan, sebenarnya ia merupakan orang suruhan salah satu petinggi instansi
perpajakan. Demi untuk mengamankan nama baik dirinya dari pemberitaan media
yang menyinggung soal nama-nama pejabat pajak
yang mempunyai rekening gendut, berbagai macam cara ditempuh oleh pihak
tertentu agar dapat menyetir kerja seorang jurnalis. Jadi bukan hanya para
penyidik dan petinggi saja yang harus berjuang dalam menegakkan integritas
serta independensi, wartawan pun turut berjuang. Aspek yang paling mendasar
dari jurnalisme yaitu independensi, tanpa independensi pekerjaan seorang
jurnalis bisa diinterupsi oleh oknum yang kontra terhadap semangat
anti-korupsi.
Menariknya di sini masing-masing
penulis menceritakan secara gamblang pengalaman yang mereka dapatkan saat
mereka bertugas melakukan liputan di KPK. Buku ini memaparkan bagaimana praktik
di lapangan sebagai seorang jurnalis media. Karena buku ini melibatkan banyak
penulis di dalamnya, maka ada beberapa pewarta yang menceritakan pengalamannya
dengan cerita yang sama, hal ini sangat diwajarkan.
Sayangnya buku ini masih membahas
berita yang memang sudah menjadi berita. Padahal, di dalam judul buku ini
berisi tulisan-tulisan hasil liputan yang tak jadi berita. Buku ini mengulas
kembali kisah Novel Baswaedan yang mengalami teror oleh dua orang tak dikenal
yang melakukan penyiraman air keras di wajahnya. Selain itu, masih terdapat
beberapa kata yang sulit dimengerti karena kata-kata tersebut kurang familiar
bagi orang awam seperti “didiseminasikan” dan politik elektoral. Di dalam buku
ini juga terdapat penulisan yang tidak menggunakan spasi, mungkin dikarenakan penyuntingan yang kurang teliti.
Identitas buku
Judul Buku :
Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera
Penulis : Muhammad Taufiqurohman dkk
Penerbit : Tempo Publishing
ISBN : 978-602-6773-21-0
Tahun Terbit :
2018
Tebal : 251 halaman
(Mega Bintang)
0 Komentar