![]() |
Journoliberta/Alifia |
Siang itu, tepat pukul 12.00 saya berada di depan
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Lalu-lalang mahasiswa terlihat semakin ramai karena bertepatan dengan berakhirnya perkuliahan.
Terlihat fakultas ini berdiri megah, namun yang
sedikit berbeda dengan fakultas lainnya adalah gedung ini tidak memiliki lift
dan bidang miring. Rata-rata gedung UIN Jakarta yang lain sudah memilikinya. Memang gedung ini hanya berlantai empat, berbeda dengan
gedung fakultas di kampus 1 yang hampir semuanya memiliki tujuh lantai kecuali
Dirasat Islamiyah.
Memasuki lorong lobi fakultas saya bertemu dengan
Veronica Laksmita, mahasiswa semester 9 Program Studi Psikologi. Di sisi
kirinya tersandar dua buah tongkat bantu. Dengan ramah ia mengulurkan tangan
sebagai simbol perkenalan yang hangat. Di awal saya menjelaskan terkait liputan
yang akan dibuat. Dia cukup antusias dan menceritakan bahwa pada 2015 mengalami
patah kaki sehingga harus memakai alat bantu jalan.
"Menurut saya dari awal fakultas psikologi memang
tidak dibangun untuk ramah," ungkap Veronica.
Bukan tanpa sebab Veronica mengatakan hal tersebut,
sejak semester 5 ia merasakan kesulitan mobilitas untuk menaiki tangga.
Beberapa dosen terkadang memilih mengajar di lantai dasar untuk mempermudah
akses bagi Veronica .
“Berusaha mengikuti sejalan normalnya saja, sesuai
dengan ruangan yang terjadwal," tambahnya.
Beberapa hari berselang, saya bertemu dengan Rayhan
Naufaldi Hidayat mahasiswa Ilmu hukum 2018 yang juga penyandang tuna netra.
Rayhan bersemangat ketika saya menghubunginya via whatsapp. Pria ramah
ini bahkan sesekali melemparkan candanya ketika menjawab pertanyaan. "Bisa banget tapi kalau mau wawancara jangan sekarang ya, gua lapar
banget nih belum makan bang haha," guraunya.
Saya mencoba menawarkan untuk menemuinya di rumah, dan
ia pun mempersilakan. Kediamannya hanya berjarak empat kilometer dari kampus
satu. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan Rayhan. "Saya mengalami total blind
sejak kelas 6 SD," paparnya.
Rayhan mengaku masuk UIN Jakarta adalah pilihan yang
sulit, karena dalam rekomendasi universitas inklusif yang diberikan oleh
Yayasan Mitra Netra tidak terdapat nama UIN sebagai kampus yang inklusif.
“UIN itu tidak punya sejarah yang bagus terhadap disabilitas,
itu kan data dari yayasan. Tanya ke alumni UIN tidak terlalu diskriminatif.
Hanya harus kerja dua kali lipat karena bukan (kampus) inklusif,” ungkapnya.
Menurutnya hingga saat ini usaha UIN memberi
infrastruktur ramah difabel hanya untuk pengguna kursi roda. "Akses
mobilitas saya masih dibantu dengan teman, padahal keinginan tuna netra itu
hidup dengan mandiri," tambahnya.
Fasilitas yang dibutuhkan tuna netra untuk mobilitas
adalah guiding block. UIN sendiri belum memilikinya. “Misalnya ada tanda-tanda
khusus gitu atau timbul bisa diraba dengan tongkat. Pada mobilitas sih saya
masih berharap banyak untuk adanya hal tersebut,” harapnya.
Di sisi lain, Arief Subhan selaku Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang merangkap sebagai ketua Center for Student with
Special Needs (CSSN), ikut memberikan tanggapan. Menurutnya selama ini UIN
sudah cukup inklusif dengan tidak adanya aturan yang menolak mahasiswa
berkebutuhan khusus. Namun ia juga mengakui jika kampus belum bisa memberikan
fasilitas yang merata untuk penyandang disabilitas.
“Banyak gedung yang tidak dilengkapi dengan fasilitas
yang dibutuhkan orang difabel,” ujarnya.
Untuk pengajaran di dalam kelas, pada Juni lalu CSSN telah melakukan
Pelatihan Pendidikan Inklusif kepada tenaga pengajar UIN Jakarta. “Pada acara
tersebut kita mengingatkan bahwa inklusif education itu penting, bahwa
difabel itu punya potensi yang sama,” ungkap Arief.
Baca juga : Setengah Hati UIN Jakarta Wujudkan Kampus Ramah Disabilitas
Baca juga : Karut Marut Data Disabilitas UIN Jakarta
Baca juga : Unit Layanan Disabilitas UIN Jakarta: Antara Ada dan Tiada
(Reza)
0 Komentar