Bahasa Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri

Journoliberta/Nauroh


Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berasal dan berkembang dari Bahasa Melayu. Pada 28 Oktober 1928 Indonesia mengikrarkan “Sumpah Pemuda”, dan pada kalimat ketiga, tersurat, “Kami, Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”. Kemudian dilegalformalkan sebagai bahasa negara, seperti tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.

Diakuinya Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional seharusnya membuat semua masyarakat mengerti penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebanggaan dalam berbahasa Indonesia harus menjadi yang pertama dibanding dengan bahasa lain. Meski begitu, Bahasa Indonesia masih kalah dengan Bahasa Inggris yang notabene menjadi bahasa internasional. Bahkan, banyak bahasa asing yang sekarang menjadi primadona di masyarakat.

Penggunaan bahasa asing dalam keseharian, tentu tidak bisa dihindarkan oleh masyarakat Indonesia. Tidak sedikit tulisan-tulisan yang terpampang di ruang publik membuat masyarakat Indonesia harus mengerti akan bahasa asing. Era globalisasi pun memaksakan hal itu. Adanya kerjasama internasional mengharuskan setiap negara saling bisa memahami, dan salah satu cara untuk saling mengerti ialah dengan berbicara menggunakan bahasa yang dipahami oleh keduanya, yaitu bahasa internasional.

Neneng Nurjanah, dosen linguistik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan, memasuki era globalisasi dan era industri digital 4.0 membuat masyarakat Indonesia dituntut harus menguasai bahasa asing. “Karena mau tidak mau suka tidak suka kemanapun kita pergi kita akan selalu dihadapi dengan bahasa asing. Kita pergi ke mal istilahnya kita akan dihadapi dengan tulisan-tulisan asing,” tuturnya.

Dewasa ini, penggunaan Bahasa Indonesia dalam berbicara perlu dipertanyakan. Dosen fakultas Tarbiyah ini juga mengatakan, munculnya fenomena “bahasa anak Jaksel” di kalangan remaja saat ini disebabkan oleh beberapa faktor. Bahasa anak Jaksel sendiri merupakan bahasa yang dicampur aduk antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Beberapa faktornya adalah, pertama, mereka beranggapan penguasaan Bahasa Inggris jauh lebih membanggakan ketimbang Bahasa Indonesia. Kedua, budaya populer, seperti lagu, film, bahkan banyak judul film Indonesia menggunakan Bahasa Inggris.

“Menguasai bahasa asing terutama Bahasa Inggris mempunyai kebanggaan tersendiri. Sehingga di zaman sekarang banyak upaya masyarakat Indonesia untuk bisa menggunakan Bahasa Inggris. Sebenarnya itu akan menimbulkan hal positif bagi masyarakat, seperti menambah kemampuan dalam berbahasa. Namun, bagaimana jika malah Bahasa Indonesia yang semakin tergerus?” tanyanya.

Penguasaan Bahasa Inggris merupakan hal yang penting bagi proses modernisasi. Meski begitu, sebagai warga Indonesia yang mempunyai bahasa nasionalnya sendiri, harus lebih mengutamakan bahasanya tersebut. Kita pun harus bisa membedakan Bahasa Indonesia baku dan tidak baku.

“Sebetulnya di satu sisi penguasaan Bahasa Inggris menjadi lebih penting, di sisi lain macam prestise bahasa sendiri. Namun masalahnya adalah ketika satu kelompok masyarakat terlalu sering mencampurkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris lalu kemudian sulit membedakan bagaimana menggunakan Bahasa Indonesia yang formal. Jangankan itu, mahasiswa di kelas sekarang terlalu terbiasa berbicara Bahasa Indonesia yang tidak baku dibandingkan baku,” jelas dosen lulusan Universitas Pendidikan Indonesia ini.

Kejadian seperti ini menjadi fenomena bagi Bahasa Indonesia. Banyak yang mengerti bahasa asing, sedangkan bahasa tanah air malah terasing. Neneng menambahkan, sebetulnya kita adalah masyarakat multibahasa, sehingga akan seperti ini efeknya. Namun yang paling penting bagaimana bisa menempatkannya.

Menurut dosen Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) ini, dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik harus melakukan upaya yang berpengaruh terhadap perluasan bahasa. Beberapa upayanya adalah pertama, literasi. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin banyak pula kosakata baru yang kita dapatkan. Kedua, para pejabat, akademisi dan figur publik yang menggunakan Bahasa Indonesia yang baik sehingga bisa dijadikan sebagai contoh.

“Sebagai seorang dosen, saya berharap, pertama, menggunakan Bahasa Indonesia yang baik. Kedua, melestarikan bahasa daerah, dan ketiga, menguasai bahasa asing. Jadi bahasa asing itu harus dikuasai tapi bukan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang digunakan sehari-hari yaitu Bahasa Indonesia,” pesannya.

Ia juga mengatakan, sebagai orang Indonesia kita harus menggunakan Bahasa Indonesia, karena bahasa itu menunjukkan siapa diri kita. Bertutur dengan bahasa yang baik menunjukkan pola pikir yang runut, dan berkepribadian baik.

Senada dengan Neneng, Siti Sholiha, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Jakarta, menganggap Bahasa Indonesia adalah cerminan rasa nasionalisme kita kepada negara. Menggunakannya dalam percakapan sehari-hari juga upaya untuk melestarikan Bahasa Indonesia itu sendiri.

“Sebenarnya kalau kita mencampurkan Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, secara tidak langsung menunjukkan kalau orang yang berbicara sedang tidak percaya diri. Orang-orang pintar dan cerdas itu bahasanya tidak mungkin buruk,” tutur Siti.


Baca juga : Xenoglosofilia: Membiasakan Diri Berbahasa Indonesia


(Nauroh)

Posting Komentar

0 Komentar