Menurut penelitian yang dipimpin oleh Hedvig Skirgård, seorang mahasiswa
program doktoral di London School of Science and Technology, Bahasa Indonesia
menempati peringkat ke-10 bahasa yang paling sulit dikenali di dunia. Konon, Bahasa Indonesia disebut memiliki logat lurus, yakni logat yang hampir tidak
berirama saat diucapkan, sehingga membuat banyak orang kebingungan menentukan
dari mana bahasa terkait berasal.
Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa eksistensi Bahasa
Indonesia masih kecil di kancah internasional. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Selain tingkat kesulitan yang cukup tinggi, peran masyarakat Indonesia dalam
mempolulerkan Bahasa Indonesia juga masih rendah.
Di samping itu, Bahasa Indonesia masih minim dalam perbendaharaan
kata, banyak pula kasus homonimi dalam berbahasa Indonesia. Di era
globalisasi saat ini banyak masyarakat Indonesia yang cenderung xenoglofilia.
Xenoglofilia adalah suatu kecenderungan menggunakan kata-kata yang aneh atau
asing dengan cara yang tidak wajar.
Contoh kecil dari kasus xenoglofilia yaitu kata ‘miting’. Miting atau meeting
merupakan istilah yang sering kali diucapkan. Padahal kita memiliki kata
‘pertemuan’ atau ‘rapat’ dalam Bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata asing inilah
yang sudah mulai menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia kiwari.
Contoh lain yang sering kita dengar saat ini adalah ‘bahasa anak Jaksel’. Dalam salah satu cuitan twitter, seorang anak muda
membagikan kiriman Wikipedia Bahasa Indonesia dengan status yang menggelitik:
“Wikipedia have artikel about Jakarta Selatan, lho. Isinya literally
tentang Jakarta Selatan which is di dalamnya have daftar
kecamatan dan informasi unique lainnya. Must read banget, guys.”
Tidak hanya kalangan anak muda, masyarakat acap kali menggunakan Bahasa Inggris yang sudah dianggap sebagai
bahasa sehari-hari. Misalnya, masyarakat tidak awam dengan kata blogger,
email, online, atau bill dalam percakapan keseharian mereka.
Padahal, kata-kata tersebut memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia yaitu
narablog, surel, terhubung dan bon. Lalu, mengapa masyarakat Indonesia lebih
sering nginggris?
Hal tersebut menjadi tanda tanya bagi Ivan Lanin, seorang wikipediawan Bahasa
Indonesia. Kumpulan pemaparan mengenai kosa kata Bahasa Indonesia sering kali
diurainya dalam blog pribadinya. Dalam tulisan di blognya, Ivan juga mengurai masalah praktis
sehari-hari dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Tulisan-tulisan inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris.
Buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris mencoba menjawab
ketidaktahuan atau kekurangpedulian masyarakat dalam penggunaan Bahasa Indonesia.
Uniknya, Ivan bukanlah lulusan linguistik atau jurusan yang berkaitan dengan Bahasa
Indonesia, melainkan lulusan S-1 Teknik Kimia ITB dan S-2 Teknologi Informasi
UI. Melalui tulisannya, wikipediawan ternama ini membandingkan Bahasa nginggris
yang sering dipakai sehari-hari dengan Bahasa Indonesia yang ringkas. Bahkan,
Ivan juga memberikan solusi untuk beberapa kosakata yang belum memiliki
padanan Bahasa Indonesia.
Misalnya, kata chace dalam bahasa Inggris untuk memaknai ‘simpanan
salinan data sementara’ diusulkan menjadi kata ‘singgahan’. Contoh lainnya
adalah kata ‘swakirya’. Ivan mengusulkan kata tersebut sebagai padanan kata Do
It Yourself (DIY) di mana kata tersebut seringkali disebut dalam bahasa
percakapn sehari-hari. Usulan tersebut pun berlandaskan alasan yang kuat,
seperti memiliki makna yang sama dalam bahasa Sansekerta, dan kata ‘kriya’ juga
sudah ada dalam KBBI.
Selain itu, Ivan juga memaparkan perbedaan makna dari kata yang hampir
mirip bentuknya dan sering mengalami kesalahan makna. Seperti kata konsultan,
konsultasi, dan konsultansi memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Namun,
dalam praktik penggunaannya seringkali keliru. Banyak yang menganggap kata-kata
tersebut memiliki makna yang sama.
Tulisan Ivan Lanin sangat ringan untuk dibaca. Gaya penulisan yang
menyelipkan humor membuat para pembaca dapat lebih mudah memahami isi
tulisannya, pun pembaca tersebut bukan dari kalangan linguistik. Di samping
itu, halaman yang berwarna serta tulisan yang berukuran besar membuat materi
yang dibawakan tidak monoton.
Yang lebih menarik lagi, hampir dalam setiap akhir tulisan, Ivan melakukan
persuasi kepada para pembaca untuk membiasakan diri berbahasa Indonesia. Bentuk
persuasi yang komunikatif membuat pembaca seakan-akan sedang berdiskusi
langsung dengan penulis sehingga materi yang disampaikan tidak terasa berat
untuk diterima.
Namun, dalam akhir bab atau paragraf, Ivan Lanin terkadang membuat
pernyataan yang menggantung, sehingga agak sulit untuk dipahami. Contohnya, dalam pembahasan mengenai kata ‘kepo’ dalam Bahasa
Indonesia. Ivan menyebutkan bahwa istilah ‘kepo’ dapat diganti menjadi ‘gapil’.
Namun ia sendiri membingungkan bahwa kata asli ‘gapil’ dalam Bahasa Arab
memiliki makna yang berbeda dengan kata ‘kepo’. Hal seperti ini
dapat membuat pembaca bingung mengenai kebenaran makna.
Identitas buku
Judul Buku : Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris
Penulis : Ivan Lanin
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
ISBN : 978-602-412-412-0 (Soft Cover), 978-602-412-413-7 (e-Book)
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : 232 hlm.
Baca juga : Bahasa Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
(Nadia)
0 Komentar