Penulis: Siti Masyithoh
“Aku adalah seorang istri, ibu dari anak
perempuanku. Aku mengurus rumah dan keluargaku dengan baik. Kadang aku merasa
bahagia, tetapi disaat matahari mulai terbenam, aku mengingat masa lalu dan
merasa kehilangan semangat”—
salah satu dialog yang diutarakan Ji-Young kepada psikiater di ruang
konsultasi.
Kim Ji-Young (Jung Yu-mi), seorang wanita biasa yang
menikah dengan Jung Dae-Hyun (Gong Yoo) dan dikaruniai seorang putri. Kisahnya
dimulai saat ia memutuskan untuk menikah dan meninggalkan pekerjaannya di
agensi kehumasan. Awal mula film ini diputar, terlihat bagaimana lihainya
Ji-Young mengerjakan berbagai tugas rumah tangga dan mengurus putri semata
wayangnya.
Film yang diangkat dari novel bertajuk “82nyeonsaeng
Kimjiyoung” karya Cho Nam-Joo (terbit sejak Oktober 2016) ini mengangkat berbagai
problema perempuan dari berbagai tekanan sosial, mulai dari keluarga, ibu
mertua, lingkungan pertemanan, pekerjaan, sampai stereotip masyarakat dalam memandang status dan peran
‘perempuan’.
Penampilan Ji-Young nampak sederhana, dengan rambut
diikat, baju lengan panjang, celana panjang polos dan tanpa riasan wajah,
ditambah pandangan mata yang sendu. Sejak anaknya berusia sekitar dua tahun, ia merasa ada perubahan dalam
dirinya. Dae-Hyun, acap kali memperhatikan
keanehan yang dialami istrinya tersebut. Dia akan tiba-tiba berubah menjadi
sosok lain, bertingkah menirukan nenek atau ibu kandungnya.
Saat ia merasa sangat kesal, ia akan marah, saat ia
merasa bersalah, Ji-Young akan memuji dan menasihati orang di sekelilingnya.
Esok harinya, ibu satu anak ini akan lupa dan kembali normal. Keanehan ini
mendorong Dae-Hyun untuk mencari tahu dan mendaftarkan istrinya ke psikiatri.
Semasa kecil, keluarganya menjunjung tinggi kedudukan
anak lak-laki. Memiliki seorang anak laki-laki dianggap lebih menguntungkan
karena dapat membantu kehidupan di masa mendatang. Saat SMA, Ji-Young muda
pernah dilecehkan pria sebayanya sepulang les di bus yang bertujuan ke
rumahnya. Tangisannya tumpah saat seorang ibu yang berpura-pura ingin
mengembalikan barangnya yang tertinggal berhasil menyelamatkannya dari pria
tersebut. Kemudian sang ayah menyuruhnya berhenti untuk les dan mengatakan
semua itu karena kesalahannya yang berpakaian terlalu pendek dan pulang terlalu
larut.
Ditambah, kehidupan karirnya sangat timpang. Laki-laki
selalu memiliki kesempatan berkarir dibanding
perempuan karena tidak perlu mengambil cuti melahirkan. Hal-hal ini menjadi trauma bagi Ji-Young sehingga
memicu gangguan mental yg dideritanya.
Alur film yang maju mundur, membuat penonton tak bisa
memalingkan wajah. Perubahan antara adegan satu dan lainnya sangat cepat seperti ingin menghajar psikologis
penonton. Jung Yu-mi piawai berperan seperti ibu rumah tangga yang
“terperangkap” pada rutinitas sehari-hari.
Bangun pagi, kemudian mengurus anak dan suami, berbelanja dan kembali
membereskan rumah.
Kim Do-Young, sebagai sutradara sekaligus penulis naskah
mengatakan dalam konferensi pers yang ditulis Koreaherald.com, “sebagai ibu
dari dua anak, seorang putri dan perempuan yang tinggal di masyarakat, banyak
sekali bagian (dalam novel) yang bisa
saya rasakan.”
Isu-isu penting terkait permasalahan perempuan seperti
pentingnya kesehatan mental ibu rumah tangga, pelecehan seksual pada perempuan
di tempat umum, di tempat kerja serta kecilnya kesempatan untuk bisa berpendidikan
tinggi dan bekerja, digambarkan begitu gamblang dan dekat dengan realitas saat
ini, khususnya di Korea sendiri.
Masyarakat Korea memiliki budaya patriarkal sebagai
mayoritas sistem sosial di sana. Secara tradisional anak laki-laki yang mewarisi
garis keturunan, kehidupan sehari-hari
didominasi oleh pria dalam masyarakat, namun baru-baru ini mulai
disetarakan oleh hukum.
Kesetaraan jenis kelamin
adalah konstitusional, ketaatan patriarki, kesalehan
kekeluargaan ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Peran spesifik gender didorong
dalam sistem keluarga dan pendidikan. Anak lelaki umumnya menerima pendidikan
terbaik dan tetap lebih bergantung pada keluarga mereka, bahkan hingga menikah.
Kultur
serupa juga mewarnai masyarakat Indonesia. Tak sedikit suku dan budaya yang
melanggengkan sistem patriarkat. Namun jika ditilik lebih jauh, ada beragam
dampak yang ditimbulkan sistem ini. Misalnya, kasus kesehatan mental ibu rumah
tangga. Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
menunjukkan ada 31,5% dari total proporsi anggota rumah tangga (ART) yang
mengalami gangguan jiwa sejak 2013-2018.
Kemudian dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019 Komnas Perempuan,
terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466).
Kasus paling tinggi terjadi di ranah personal. Data yang masuk dari lembaga
mitra pengada layanan berjumlah 13.568 kasus yang terjadi. Dari ranah personal tercatat 71% atau 9.637
kasus, ranah publik/komunitas 3.915 kasus (28%), dan ranah negara 16 kasus
(0,1%).
Catahu
selalu mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam tiga ranah yakni: (1) Ranah
personal: artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah,
kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim
(pacaran) dengan korban, (2) Ranah
publik/ komunitas jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan,
darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru,
teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal, (3) Ranah
negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Derita perempuan
yang digambarkan dalam film ini sering
dianggap lumrah bagi perempuan pada umumnya. Menikah, memiliki anak, mengurus rumah tangga,
menyiapkan kebutuhan suami dan anak sehari-hari, menuruti perkataan mertua dan
menikmati gaji suami adalah serangkaian peran yang seharusnya melekat pada
perempuan.
Stigma masyarakat terhadap superioritas laki-laki dan
mementingkan garis keturunan bapak telah membuahkan sistem sosial yang disebut
patriarkat. Sistem yang akhirnya mendiskreditkan bahwa perempuan tidak berdaya,
tidak perlu bekerja, berkarya atau bersusah payah mengejar karir.
Namun, dalam berbagai adegan, Kim Do-Young berhasil
mengemas posisi laki-laki yang juga mengalami kebingungan saat dihadapkan pada
persoalan ini. Dae-Hyun sebagai suami Ji-Young jelas menyadari ketidakbahagiaan
istrinya hingga
mengalami gangguan mental. Sulit baginya untuk memahami situasi dan kondisi
seperti itu. Ia bersikeras ingin mendukung keinginan sang istri meski harus
melawan ibu dan keluarganya. Pada bagian akhir, dia mengutarakan kepiluannya
melihat kondisi Ji-Young, meminta maaf, dan menerima kondisi ibu dari anaknya
yang harus menjalani pengobatan.
Film ini diakhiri dengan adegan yang membuat penonton
merekahkan senyuman. Perlahan Ji-Young mulai membenahi dirinya, dimulai dengan
memberanikan diri kembali ke psikiatri.
“Ada banyak
orang di luar sana yang merasa jatuh saat mengetahui mereka mengalami gangguan
jiwa. Tapi sedikit dari mereka yang menyadari bahwa, kondisi paling menakutkan
bukan pada saat kamu mengetahui kamu sakit, tapi saat kamu harus duduk di
hadapan orang seperti saya. Percayalah, pengobatanmu akan berhasil! ”—Ucap
psikiater yang diperankan oleh Kim Jung-Young.
Ia menjalani berbagai terapi, seperti mulai mengutarakan
ketidaksetujuannya saat ia mendapatkan tudingan, menuliskan kisah hidupnya dan menyebarkannya ke sebuah majalah. Ji-Young pun kembali bekerja dan sang suami bertugas menjaga putri
mereka.
“Lalu apa yang kamu rasakan saat ini? apakah
kamu merasa lebih lega?” Tanya Psikiater. “itu tidak membuatku merasa lebih
lega, tapi, lumayan!” tutup Ji-Young seraya tersenyum.
Dari film ini, melanggengkan
sistem sosial tertentu memiliki dampak buruk untuk sebagian pihak. Persoalan
kesetaraan bukan tugas perempuan saja, tapi tugas seluruh manusia untuk bisa
mendapatkan hak mereka. Semua manusia itu multiperan, bisa menjadi anak, murid,
saudara, tetangga, guru atau pejabat, karena kita semua memiliki kedudukan yang
sama. Film ini direkomendasikan bagi wanita dan laki-laki usia 18 tahun keatas.
Film ini patut ditonton bagi laki-laki yang aktif menyuarakan isu kesetaraan.
Pelajaran kehidupan dalam film ini juga bisa dijadikan referensi bagi pasangan
yang hendak menikah.
Data Film :
Judul : Kim Ji-Young Born 1982
(International), 82년생 김지영 (Korean)
Tanggal Rilis : 23 Oktober 2019 (Korea), 20 November
2019 (Indonesia)
Genre : Drama
Sutradara : Kim Do-Young
Produser : Mo Il-Young, Kwak Hee-Jin, Park Ji-Young
Durasi : 120 Menit
Bahasa : Korean
Negara : Korea Selatan
0 Komentar