Sejarah yang Bengkok

 

Ilustrasi: Journo Liberta/Siti Hasanah Gustiyani

Oleh: Abdal A. Choirozzad

Mahasiswa 

 

Aksioma yang cukup populer berbunyi “sejarah dituliskan oleh para pemenang”. Ketika dua pihak beradu jotos, maka akan ada pemenang dan pecundang. Secara bertahap tapi pasti, pihak yang menang akan mendirikan negara, merumuskan kebijakan, memutar roda perekonomian, dan akhirnya mencatat sejarah.

Saya percaya bahwa penulisan sejarah takkan pernah netral. Selama ditulis oleh tangan-tangan manusia, selama itulah sejarah yang tercatat akan memuat emosi, gagasan, dan maksud tertentu.

Sejarah menyangkut masa lalu hidup orang banyak. Oleh karena itu, sejarah harus bersifat dialogis dan metodologis. Historiografi harus melibatkan penelitian dan mencakup sudut pandang yang beragam. Bila tidak, maka sejarah yang tertulis hanya memuat kebenaran tunggal versi negara dan dengan demikian menjadi bias.

Ketidaknetralan historiografi tidak berarti membolehkan penulisan yang bias. Ketidaknetralan historiografi telah menuntun banyak ahli sejarah ke pusparagam spesialisasi. Harry Albert Poeze yang menapaktilasi sepak terjang Tan Malaka, Asvi Warman Adam yang menyoroti Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Onghokham yang menaruh perhatian terhadap Pulau Jawa, dan masih banyak yang lainnya.

Di samping itu, historiografi yang bias merupakan penulisan sejarah yang berat sebelah dan terdistorsi, tidak didasarkan pada bukti yang kokoh atau saksi yang otentik.

Sejarah yang selama ini disajikan oleh negara—yang biasa disebut sebagai sejarah resmi—masih terbilang bias untuk menceritakan kejadian secara objektif. Pertanyaan yang mendominasi masih seputar “Siapa yang pahlawan dan siapa yang penghianat?” dan bukan “Apa yang sesungguhnya terjadi?”.

Dalam artikel Rebel Reses from the Dead: Sulawesians Believe that Qahhar, Their Rebel Hero, Has Risen Again, Andi F. Bakti mengaksentuasikan kiprah Abdul Kahar Muzakkar yang penuh akan ambivalen. Kahar adalah salah satu pejuang yang mengangkat bedil untuk menumpas Belanda. Tapi, dia juga dianggap sebagai pemberontak yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Banyak orang Indonesia yang menganggap Kahar Muzakkar sebagai pemberontak dan emoh mengakuinya sebagai pejuang. Saya merasa ada peran negara terhadap anggapan itu, karena bagaimanapun juga penulisan sejarah resmi turut memengaruhi persepsi khalayak.

Apa yang dialami oleh Kahar Muzakkar terwakilkan lewat peribahasa, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Masih banyak korban-korban sejarah lainnya, seperti mereka yang terbunuh dalam Peristiwa G-30-S, warga Timor Timur yang dibantai secara membabi buta, dan rakyat Papua yang hingga kini masih memperjuangkan keadilan.

Ini ada kaitannya dengan malpraktik nasionalisme dan sauvinisme yang ditunjukkan oleh negara. Nasionalisme ditonjolkan sebagai gagasan yang menjustifikasi pembantaian, meminggirkan kaum marjinal, merampat papan, dan mencatat sejarah dengan penuh bias.

Lantas, bagaimana cara merombak dimensi-dimensi yang bias dalam penulisan sejarah resmi? 

Barangkali sikap yang paling dibutuhkan saat ini adalah kesadaran kolektif. Menyadari betapa tanah air Indonesia terbentuk oleh banyak sekali warna, tidak cuma hitam dan putih. Menyadari bahwa nasionalisme merupakan gagasan yang tidak begitu suci sebab ada luka yang perlu diobati dan juga salah yang mesti dikoreksi. Menyadari dengan sukarela bahwa kita perlu memeriksa sejarah yang telah dituliskan secara keliru, sejarah yang bengkok.

Ketika ada yang berkata bahwa sejarah hanya boleh ditulis oleh para pemenang, saya tak sepakat. Kita tahu, banyak kemenangan yang ditempuh lewat cara-cara yang picik, degil, dan penuh dusta. Untuk itulah saya menarik kesimpulan: orang yang menang belum tentu jujur, sedangkan orang yang jujur bisa jadi pemenang—walau tidak selalu begitu.

 

*Abdal A. Choirozzad adalah mahasiswa yang senang menulis, membaca, dan membagikan pikirannya di blog pribadi (abdal07.wordpress.com).

 


Posting Komentar

0 Komentar