GKI Yasmin: Perjuangan 10 Tahun Pertahankan Rumah Ibadah

Ilustrasi: Nuzulia Nur Rahma


JOURNOLIBERTA.COM - Di depan Istana Negara hujan mulai turun. Awalnya kecil dan tidak mengganggu, tetapi beberapa menit kemudian berubah menjadi deras disertai angin kencang. Meski cuaca tidak mendukung, para jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor tetap di posisi untuk menjalankan ibadah dengan mengandalkan payung.

Itu 2012 lalu, ketika Bona Sigalingging bersama jemaat yang terdiri dari anak-anak sampai dewasa, perempuan dan lanjut usia memulai perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Sejak itu setiap dua minggu sekali GKI Yasmin beserta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi terpaksa beribadah persis di seberang Istana Negara, Jakarta, karena gereja mereka sama-sama disegel.

"Ini merupakan ketidakmampuan negara dalam menegakkan aturan hukum dan konstitusi," ujar Bona saat diwawancarai melalui telepon WhatsApp pada (24/11/20).

Kini 8 tahun telah terlewati, gereja tempat ibadah para jemaat Kristen di Taman Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia masih disegel dan tidak boleh digunakan. Hingga pandemi Covid-19 menghentikan sementara ibadah di seberang istana tempat presiden Republik Indonesia bekerja, tuntutan mereka masih tidak ditanggapi negara. Sudah 214 kali GKI Yasmin menggelar ibadah depan pintu masuk Monumen Nasional (Monas) sejak Februari 2012.

Bagi Bona, ini pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali".

 

Diskriminasi dan Krisis Toleransi

Penyegelan rumah ibadah di Bogor yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah daerah, menurut Bona Sigalingging selaku juru bicara GKI Yasmin, adalah pembangkangan konstitusi dan artinya UUD 1945 Pasal 28E belum bisa dinyatakan 100% berfungsi dan diterapkan secara penuh oleh negara.

Menanggapi tuntutan GKI Yasmin Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag) RI Nisfari mengatakan bahwa dalam kasus pendirian gereja yang melibatkan GKI Yasmin terdapat pemalsuan dokumen ketika membangun gereja. Kenyataan di lapangan waktu itu langsung membangun (gereja) dengan mendatangkan polisi, satpol PP dan tidak ada omongan dengan warga setempat.

Nisfari menganggap apa yang dilakukan GKI Yasmin dalam mencari persyaratan untuk memenuhi dokumen izin mendirikan bangunan serta tanda tangan tidak sesuai prosedur.

"Tahu-tahu di antara 60 (tanda tangan dan KTP) itu banyak yang dipalsukan. Kan ada itu yang masuk penjara. Berarti persyaratan yang mereka lengkapi itu diambil melalui jalan pintas. Seharusnya tidak boleh begitu," ujar Nisfari (11/11).

Berbeda pendapat dengan Nisfari, Bona mengatakan bahwa seluruh dokumen didapatkan dengan cara yang adil dan sesuai aturan negara.

"Yang dikatakan oleh Ombudsman Republik Indonesia tidak ada pemalsuan apapun. Jadi Kemenag itu berpegang saja pada keputusan lembaga negara. Ombudsman bilang dalam keputusannya jelas  bahwa tuduhan ada pemalsuan tanda tangan di dalam proses permohonan itu tidak benar. Jadi yang membantah adanya pemalsuan tanda tangan itu bukan siapa-siapa, tapi Ombudsman," bantah Bona yang sudah 10 tahun bersama para jemaat terus berjuang menghadapi intoleransi dari kelompok penentang dan diskriminasi dari negara.

Masih tentang penyegelan GKI Yasmin, Nisfari juga mengatakan bahwa konflik antara masyarakat setempat dengan penganut Kristen di Bogor dimulai karena ada yang memercikkan api. Urgensi membangun gereja, sambung Nisfari, tidak dibutuhkan karena di tempat tersebut sudah ada 4 gereja lainnya.

"Mereka itu cuma memancing, padahal gereja sudah ada 4 di sini," ujarnya.

Membantah perkataan Nisfari, Bona mengatakan justru terjadi penyimpangan pandangan dari Ketua PKUB Kemenag RI terkait pembangunan gereja.

"Misleading, dia (Kemenag) mengaburkan persoalan. Ini bukan soal sudah banyak gereja maka tidak perlu membangun tempat ibadah. Ini kan soal izin membangun yang sudah sah, sudah ada IMB rumah ibadah yang sah. Sudah ada keputusan pengadilan yang sah dan keputusan Ombudsman yang sah. Tapi, semua itu tidak dipedulikan, baik Pemerintah Kota Bogor maupun pemerintah Republik Indonesia," ungkap Bona.

Melihat berbagai kasus Intoleransi Agama di Indonesia Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan bahwa Indonesia sedang krisis toleransi.

"Kampanye toleransi kini sangat dibutuhkan karena permasalahan intoleransi sudah meluas dan mengerikan. Upaya seperti ini (kampanye) tidak akan berhenti dan selesai. Ini harus dilakukan bersama-sama," ucap Muhammad Isnur (13/11) melalui telpon Whatsapp.

Meningkatnya sikap intoleran dan pandangan yang radikal, maraknya berbagai paham keagamaan yang tidak bisa menghormati perbedaan, serta kepentingan-kepentingan yang berbalut dengan persekongkolan antara agama dan politik seringkali berakhir pada pelanggaran kebebasan beropini dan beragama. Hal itu yang mendorong Isnur mengajak semua elemen agar secara serius dan nyata bersama- sama menghidupkan toleransi. Ia berharap agar diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas sebagaimana dialami GKI Yasmin tidak terus meluas.


Cek fakta toleransi di Indonesia

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang digaungkan dengan bangga atas fakta Indonesia dengan berbagai macam suku atau etnis, budaya, dan agamaagar hidup bersama secara damai dan saling bergotong royong. Namun realitas sehari-hari masih banyak intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terhadap masyarakat minoritas di Indonesia. Itu semua jauh dari cermin semboyan bangsa yang artinya berbeda-beda tetapi satu jua.

Pada 1965 negara mengeluarkan UU PNPS No. 1 yang berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah. Namun undang-undang ini justru mengalami penyalahgunaan. Banyak sekali kasus yang mana takaran atas "penistaan" tidak sesuai dan penggunaannya menuai tindakan represif dari pihak- pihak tertentu.

Misalnya saja, di daerah Bekasi penganut agama Hindu mendapat kesulitan (administrasi serta tekanan masyarakat) untuk membangun rumah ibadah, dengan alasan penganut agama Hindu di Bekasi hanya sedikit. Kasus Meiliana dari Tanjung Balai yang dipenjara 18 bulan dengan tuduhan penodaan agama lantaran mengeluhkan suara azan yang terlalu keras.

Tidak berhenti sampai di situ, kasus pelanggaran KBB yang merupakan sikap intoleransi juga merebak semasa pandemi Covid-19. Berdasarkan catatan Setara Institute (29/09/20): 1 September 2020 terjadi pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil. 13 September 2020 terjadi gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi. 20 September 2020 penolakan ibadah kembali dilakukan oleh sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Sementara pada 21 September 2020 ibadah umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, dilarang aparat setempat.


Negara gagal menjamin kebebasan beragama

Masih mengutip Setara Institute, kejadian pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sejak tahun 2019 hingga kini tercatat lebih dari 200 kasus. Sebanyak 157 tindakan justru pemerintah daerah yang menjadi pelaku dari pelanggaran KBB.

"Masing-masing agama harus konsisten dengan ajaran agamanya. Semua umat beragama harus toleran. Kalaupun ada agama intoleran itu mungkin pemahaman agamanya belum secara komprehensif. Dan, negara melindungi hak setiap warga negara melalui UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang artinya setiap warga negara Indonesia bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya," ujar Nisfari.

Berangkat dari fakta dan terus bertambahnya kasus diskriminasi dan intoleransi atas nama agama, Muhammad Isnur menyanggah pendapat Nisfari. Isnur mengatakan bahwa negara gagal melanggengkan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Tidak, kita tidak melihat negara melakukan kewajibannya dalam menjamin kebebasan beragama berkeyakinan. Contohnya hingga sekarang tidak ada instrumen undang-undang yang menerjemahkan secara benar pasal 28E dan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Tidak ada jaminan apalagi jika melihat sikap aparat dan pemerintah daerah terhadap masyarakat," ujar Isnur.

Ia juga menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban menghormati, melindungi, memajukan, dan memenuhi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara harus menjaga agar tidak mengintervensi terhadap hak-hak setiap warga dalam beragama dan berkeyakinan. 

Kolom agama di KTP mungkin tidak banyak pihak yang memberi perhatian. Namun, bagi sebagian penganut penghayat, sambung Isnur, kolom itu merangkum kisah jati diri dan diskriminasi.

Dalam urusan administrasi penduduk Isnur kembali menegaskan negara tidak boleh melakukan praktek diskriminasi.

"Seharusnya agama ini tidak perlu dicantumkan di KTP karena itu potensial menjadi bahaya praktik diskriminasi. Ya harusnya seperti paspor saja, di sana kan tidak ada kolom agama," terangnya.

Lain halnya dengan Isnur, Nisfari mengatakan bahwa urusan Administrasi Kependudukan (Adminduk) sudah diatur dalam Pasal 61 UU No. 23 tahun 2006 dan Pasal 64 UU No. 24 tahun 2013 melalui putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017.

Dalam praktik lapangan, para penghayat dan penganut agama lain masih kesulitan dan mendapat diskriminasi saat proses pengajuan Adminduk. Hal tersebut dialami pemeluk di luar 6 agama yang diakui negara, termasuk juga agama-agama asli Indonesia atau para penghayat aliran kepercayaan.

”Ada yang cuek kalau soal isi kolom agama. Ada yang isi Islam, Kristen, Hindu, Buddha, ada juga yang kosong dibiarkan saja. Soalnya tidak mau ribet dan berurusan panjang dengan peraturan negara,” ujar Ponirin salah satu penganut agama Bahai di Banyuwangi.

Sebagaimana disampaikan Isnur, dengan bertambahnya kasus diskriminasi, sikap intoleransi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berbeda penting menjadi perhatian, sikap, dan aksi nyata bagi setiap elemen untuk mendukung kampanye toleransi. Terutama lagi, di tengah makin menguatnya sentimen kecurigaan dan kebencian antarumat beragama seperti yang banyak terjadi belakangan ini menimpa kelompok-kelompok rentan yang berbeda agama dan keyakinan.

“Kami akan tetap mendukung sepenuhnya kampanye toleransi di Indonesia, dan itu tidak akan berhenti,” pungkas Isnur.

 

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

 

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 

Posting Komentar

1 Komentar