Donald Trump dan Bahasa yang Bahaya

Ilustrasi: Siti Hasanah Gustiyani


Oleh: Abdal A. Choirozzad*


Tahun 2020 diawali dengan tidak seronok. Virus mematikan, yang penyakitnya kemudian dikenal sebagai COVID-19, semakin mengglobal dan tidak tertebak. Tenaga kesehatan merasa keteteran. Sebagian pasien memang sembuh tapi juga banyak yang meregang nyawa. Virus terus melakukan replikasi dan dampak buruk yang muncul setelahnya juga berlipat ganda.

Secara serempak kendati dengan tingkatan yang berbeda, negara-negara di dunia memutar otak untuk sungguh-sungguh mengembalikan kehidupan seperti sediakala. Siapa pun merindukan hari-hari ketika jauh dari rasa khawatir yang lewah dan duka yang berlebih. Tidak terkecuali dengan warga Amerika Serikat.

Kini pandemi virus korona telah berusia lebih dari satu tahun. Per 22 Juli 2021, tercatat 35.139.258 kasus COVID-19 di Amerika Serikat, dengan 625.790 di antaranya meninggal dunia. Begitu banyak faktor yang memperparah keadaan. Salah satunya penggunaan bahasa oleh pemerintah Amerika Serikat.

Dalam satu bagian dari rangkaian rutinitasnya sewaktu masih jadi presiden AS, Donald Trump melibatkan diri untuk konferensi pers. Itu aktivitas yang lumrah dilakukan untuk mengumumkan tentang kebijakan pemerintah, menjelaskan keadaan mutakhir, menjawab pertanyaan dan kebingungan dari publik, dan lain sebagainya.

Di hadapan media itulah Trump dengan penuh percaya diri, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah, menggunakan istilah Chinese virus secara berulang-ulang. Seorang fotografer untuk The Washington Post, Jabin Botsford, hadir di tempat dan sempat memotret naskah milik Trump. Dari hasil  foto tersebut, tampak bahwa Trump telah mencoret kata Corona virus dan menggantinya dengan Chinese virus.

Berdasarkan situs Factbase seperti dikutip The Conversation, terhitung Donald Trump telah menggunakan istilah Chinese virus sebanyak lebih daripada 20 kali antara 16-30 Maret 2020. Temuan ini menandakan bahwa penamaan Chinese virus merupakan keputusan politik yang sudah direncanakan masak-masak dan bukan spontan saja.

Beberapa orang, terutama pendukung Trump, barangkali membiarkan karena toh virus korona memang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Bagaimanapun, hal demikian problematik dan sudah menjadi kebiasaan (buruk) pemerintah Amerika Serikat.

Dalam artikel Trump’s ‘Chinese’ Virus Is Part of a Long History of Blaming OtherCountries for Disease untuk TIME, Becky Little menjelaskan betapa pemerintah AS tidak belajar dari kesalahan pada masa lampau hingga membiarkan roda peradaban berputar dengan sifatnya yang culas.

Pada 1957, pemerintah AS memberi nama Asian flu karena penyakit tersebut ditemukan di China. Satu dekade berselang wabah lain muncul di Hongkong dan disebut sebagai Hongkong fluNamun, penyakit yang ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 2009 disebut Swine flu, bukan American flu.

Dalam situasi yang demikian genting seperti pandemi, perang, atau bencana alam, penguasaan dan penggunaan bahasa merupakan dua unsur yang impaknya besar. Untuk mengatasi pandemi, keduanya harus bertujuan menyehatkan sirkulasi informasi dari hoaks dan misinformasi serta menggambarkan realitas secara terang-benderang dan bukan mengaburkannya.

Ingat, Spanish flu yang pernah terjadi pada 1918 merupakan salah satu contoh bagaimana penamaan virus (atau penggunaan bahasa) yang keliru dapat melahirkan miskonsepsi yang bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.

Itulah kenapa World Health Organization (WHO) pernah merilis panduan tentang penamaan penyakit. Supaya tidak melahirkan kebencian terhadap pihak tertentu, suatu penyakit tidak boleh diberi nama yang berkaitan dengan negara, nama orang, atau spesies binatang. (Lihat panduan lengkap WHO di sini).

Satu hari setelah WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi, Yale School of Medicine langsung merilis satu artikel penting tentang apa-apa yang harus dilakukan dan dihindari ketika bicara soal wabah mematikan. Lewat artikel tersebut, Dr. Marietta Vazquez selaku Professor of Pediatric menulis, “Kita bisa mencegah penyebaran COVID-19 secara lebih baik dan melindungi mereka yang terinfeksi ketika membicarakannya dengan akurasi, empati, dan kepedulian–hal-hal yang harus kita beri komitmen.”

Alih-alih menamakan penyakit sesuai dengan panduan WHO, Donald Trump cenderung menyalahkan China atas munculnya wabah mematikan. Ketimbang bahu-membahu dalam mengurusi pandemi virus korona, Trump seakan-akan mengajak negara-negara lain untuk sibuk menunjuk dan mengambinghitamkan China sebagai biang kerok.

Dampaknya mengerikan. Terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap warga keturunan Asia di Amerika Serikat (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56249817). Mereka mengalami persekusi, hinaan, sampai ancaman pembunuhan. Menanggapi kejadian ini, warganet dari berbagai negara menggalang aksi solidaritas dengan menyebarluaskan pesan-pesan dukungan untuk warga keturunan Asia dengan disertai tagar #StopAsianHate.

Wajar saja seandainya suatu masalah besar seperti pandemi menelurkan masalah-masalah turunan yang mukil dielakkan. Namun, menjadi sangat tidak elok apabila pemimpin seperti Trump dengan intensional melahirkan permasalahan lain seperti xenofobia dan rasisme.

Semua itu berkaitan dengan bagaimana pemimpin seyogianya berbahasa. Seorang pemimpin yang bijaksana akan menguasai bahasa seluas-luasnya dan menggunakan bahasa seadil-adilnya. Pemilihan diksi yang tepat akan sia-sia belaka jika tidak dibarengi dengan rasa simpati yang proporsional.

Bagaikan sebuah senjata yang digunakan dengan tepat, bahasa dapat menumpas permasalahan yang sangat-sangat merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila digunakan untuk tujuan buruk, maka bahasa akan menjadi pisau bermata dua yang siap menghunus lawan maupun kawan.

Hal lain yang menentukan ialah orang di balik senjata itu. Bukankah percuma apabila mempunyai senjata, tetapi orang yang berada di baliknya malah keliru dalam membidik sasaran?

* Abdal A. Choirozzad adalah mahasiswa yang senang membaca buku dan membagi pikirannya lewat blog pribadi abdal07.wordpress.com 

Posting Komentar

0 Komentar