Oleh: Muhammad Ghufron*
Sebuah literatur klasik nan memukau dari filsuf terpenting abad 20, Bertrand Russell, hadir menyibak hal paling elementer dalam dunia filsafat bertajuk “Persoalan-persoalan Filsafat”. Pertama kali diterbitkan tahun 1912, buku sukses memantik kecintaan penggandrung filsafat. Tidak pernah tergantikan sebagai pengantar terori investigasi filosofis, karena mudah dijumpai.
Buku pun masuk dalam daftar periode filosofis paling produktif Russel sepanjang hayatnya. Filsuf yang minat utamanya pada dasar-dasar matematika itu memulai buku dengan mendedah sebuah persoalan paling esensial dalam filsafat. Sebuah analisis persepsi. Bahwa “persepsi” dianalisis dengan menggunakan sebuah postulat yang ia keluarkan bernama “data-indra” di kemudian hari.
Apa yang dipersepsikan kita mengenai suatu objek, bagi Russel, mungkin memiliki distingsi fundamental yang tidak kita kira. Suatu meja terlihat berbeda dari sudut yang berbeda dan cahaya yang berbeda. Tetapi, kita tidak pernah mengira bahwa meja itu berubah. Di sinilah “Data-indra” itu berguna untuk mengetahui “hal-hal yang segera diketahui dalam sensasi”.
Dengan kata lain, Russel hendak menyimpulkan bahwa ketika kita melihat meja yang sama dari sudut yang berbeda maupun dari cahaya yang berbeda, objek kesadaran kita adalah sama, meskipun pengalaman yang kita miliki, yang merupakan kesadaran kita perihal meja itu, berbeda. Begitu Russel mencontohkannya.
Di lain sisi, yang elementer dari persoalan sebuah filsafat perihal praduga nalar skeptis yang berusaha mendudukkan filsafat di bawah pengaruh urusan praktis. Praduga nalar skeptis yang lumrah didendangkan merujuk pada nilai filsafat. Bahwa belajar filsafat dianggap laku sia-sia, tidak memuat kebermanfaatan, dan hal lain yang destruktif.
Anggapan semacam itu ditampik Russel. Baginya, filsafat dengan segala tetek-bengeknya merupakan salah satu instrumen tak terpisahkan dari proses pencarian laku kebijaksanaan. Manusia sebagai entitas yang berpikir, membutuhkan makanan yang baik bagi pikirannya. Kebijaksanaan dalam hidup hanya bersua dengan pikiran yang baik. Secara eksklusif, di antara yang berkelindan dengan pikiran itulah nilai filsafat dapat ditemukan.
Dengan demikian Russel meyakinkan bahwa studi filsafat bukanlah buang-buang waktu. Ia, sama seperti sebuah studi lainnya, bertujuan untuk pengetahuan. Pengetahuan yang menurut Russel dapat memberi kesatuan dan sistem pada tubuh ilmu, serta produk pemikiran kritis lainnya. Meski begitu, nilai filsafat menurutnya sebagian besar dicari dalam ketidakpastiannya.
Di sini Russel memberi perbandingan, antara orang yang tidak memiliki rasa filsafat dengan yang mulai berfilsafat. Orang yang belum memiliki rasa filsafat akan terkurung oleh prasangka yang berasal dari akal sehat, kepercayaan kebiasaan (the habitual beliefs) dari usia atau bangsanya, serta keyakinan yang telah tumbuh dari pikirannya. Sehingga, pandangannya terhadap dunia terbatas, cenderung pasti, dan jelas.
Sebaliknya, orang yang mulai berfilsafat pelan-pelan mulai mengembara terhadap tafsir filosofis atas segala yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Ia tidak serta-merta menampik realitas yang menimbulkan tanya, tetapi mengafirmasinya terlebih dahulu, kemudian dikristalisasi dalam pikiran yang memberi pandangan lebih bermakna terhadap segala yang terjadi, termasuk yang menimbulkan tanya.
Terlepas dari studi filsafat yang bertujuan untuk pengetahuan, namun pengetahuan yang filosofis tetap memiliki batas. Terlebih ketika kita membicarakan kritik filsafat terhadap pengetahuan. Perlu menerapkan batasan tertentu, kata Russel. Batasan kritik yang konstruktif. Tidak boleh kritik dari jenis yang merusak, lanjut Russel (Hal-187).
Kritik merupakan ciri esensial dari filsafat, yang membuatnya menjadi studi yang berbeda dari sains. Prinsip-prinsip yang digunakan sains dan kehidupan sehari-hari dikaji secara kritis oleh filsafat. Melalui kritik, ia mencari ketidakkonsistenan yang mungkin ada dalam prinsip-prinsip sains. Karena itu, kritik filsafat terhadap sains pun berdasar pada sebuah “keraguan”.
Apa yang disebut “Keraguan Metodis” (methodical doubt) dalam terminologi Descartes jelas menggambarkan sebuah kritik filosofis terhadap sains. “Keraguan Metodis”, jelas meragukan apa pun yang tampak meragukan. Suatu contoh, ketika seseorang mengetahui apa yang tampak sebagai pengetahuan, ia terlebih dahulu meragukan pengetahuannya. Bertanya pada diri sendiri apakah dia benar-benar mengetahuinya.
Beragam persoalan pengetahuan diulik Russel. Pengetahuan-pengetahuan yang tentu saja bertaut dengan filsafat menjadi kajian yang cukup menarik baginya. Mulai dari pengetahuan intuitif, pengetahuan melalui perkenalan dan deskripsi, pengetahuan tentang prinsip umum, hingga pengetahuan kita terhadap hal-hal yang universal.
Meski demikian, literatur filsafat klasik semacam ini tetap sulit dipahami bagi seorang pemula yang tertarik pada kajian filsafat dari dasar. Hasil terjemahan dari teks asli ke bahasa Indonesia menjadi kendalanya. Penerjemah sebisa mungkin mesti memahami secara utuh kesahihan teks asli, dan dapat membahasa indonesiakannya sesuai dengan selera pembaca masyarakat kita. Mengingat teks filsafat yang memuat kerumitan itu, laku penerjemahan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Begitu.
Judul: Persoalan-persoalan Filsafat
Penulis: Bertrand Russell
Penerjemah: Mirza Syauqi Futaqi
Penerbit: IRCiSoD
Cetak: Pertama, April 2021
Tebal: 206 halaman
ISBN:
978-623-6699-57-7
*Muhammad Ghufron adalah Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Garawiksa Institute.
0 Komentar