![]() |
Ilustrasi: Journo Liberta/Johan |
Bagi saya pribadi, narasi tentang toleransi dan
moderatisme beragama sudah tidak asing lagi. Tidak salah jika saya mengatakan
bahwa hari ini nyaris setiap hari kita akan mendengar narasi-narasi tersebut.
Ada beragam medium yang biasa digunakan untuk menyampaikan, mulai dari ruang
seminar sampai media sosial. Sehingga, narasi dan wacana tentang toleransi
sudah menjamur di masyarakat kita, lebih-lebih di dunia maya. Kita bisa paham
mengapa hal demikian bisa menjadi mainstream
di tengah-tengah masyarakat. Tidak lain, adalah narasi radikalisme yang
seringkali muncul bersamaan dengan itu.
Konsep
tentang radikalisme sendiri sejatinya cukup mudah dipahami. Hari ini
radikalisme justru semakin kental kaitannya dengan agama. Radikalisme
seringkali dilekatkan kepada orang yang beragama secara fundamental. Kemudian dua
lema antara “radikalisme” dan “fundamentalisme” sering menjadi bahasan
orang-orang yang mengusung ide moderatisme cum
toleransi. Hal itu dapat diterima dengan sangat lapang dada—bagi
siapapun—jika ide moderatisme dan toleransi dijadikan usaha preventif terhadap kekerasan atas nama agama. Namun,
persoalan yang muncul justru tidak sesederhana itu. Ada hal problematik yang
membuntuti ide moderasi, utamanya di negara yang demokratis ini.
Secara
gampang saya akan meletakkan orang-orang yang tertuduh radikal sebagai oknum
yang melawan negara, atau paling tidak berhadapan dengan negara. Sebab, negara
memang selalu berkonfrontasi dengan orang-orang yang dituduh radikal tersebut. Persoalannya
adalah ketika tuduhan dan klaim radikal tersebut justru sewenang-wenang sembari
menggaungkan ide toleransi dan moderasi. Di sini, persoalan yang paling pokok
dan sejatinya yang harus kita sorot bersama-sama. Secara lebih eksplisit, saya
bisa menyebut jika orang-orang yang berada di pihak oposisi seringkali
mendapati hal-hal keji semacam itu. Dari sini, kemudian narasi toleransi dan
moderat tersebut bisa saya anggap mulai tidak beres.
Kasus
terbaru semisal apa yang telah menimpa 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes
Wawasan Kebangsaan (TWK). Di balik itu, ada narasi terselubung dan
meggaung-gaungkan tentang radikalisme dan upaya pembersihan KPK dari kadrun. Mari kita sorot bersama-sama. Benarkah
hal demikian memang diperuntukkan sebagai lawan dari radikalisme itu sendiri
atau justru sebagai alat untuk membenarkan negara. Di tengah kasus korupsi yang
besar-besar justru orang-orang penting dalam KPK yang kena getah. Sekali lagi,
berkedok narasi moderatisme dan pembersihan kadrun
yang dicap radikal. Ini adalah sebagai contoh narasi tentang toleransi dan
moderasi yang tidak pada tempatnya.
Selain
itu, narasi tentang moderasi ini yang sering diarahkan kepada orang-orang yang
mengkritik pemerintah. Padahal—kita paham secara aksiomatis—di negara yang
menganut sistem demokrasi, kritik merupakan nutrisi. Jika sudah anti terhadap
kritik, atau secara khusus menyerang para pengkritik dengan label radikal,
senyatanya ruh dari demokrasi pelan-pelan terancam. Hal ini juga yang hendak
saya sorot dan masukkan dalam label “hiper-moderat”, yaitu orang-orang yang
dengan tanpa rasa bersalah menggunakan nama moderasi dan toleransi untuk
membenarkan status quo yang sedang
bermasalah.
Selain
itu, narasi tentang toleransi ini seolah-olah membuat kita harus selalu toleran
dalam hal apapun. Di sini yang hendak saya bongkar, bahwa narasi tentang
toleransi harusnya tidak tumpul ketika menghadapi kebijakan-kebijakan dari
pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Atau dengan kata lain, tidak boleh
mentoleransi kebijakan itu. Sebab, narasi toleransi ini sering mengisi banyak
ruang di lapisan masyarakat akibat dari selalu digaungkan. Memang, tidak salah
menggaungkan ide dari toleransi itu sendiri, tetapi beberapa penyimpangan
sebagaimana saya sebut di atas juga harus mendapat perhatian lebih.
Saya
mengutip Prof. Mujamil Qomar dalam Moderasi
Islam Indonesia (IRCiSoD:2020), bahwa di negara kita perihal kekerasan atas
nama agama memang nyata adanya, tetapi tidak dominan. Ia meninjau dari beragam aspek, dari teologis sampai politis, bahkan kita secara alamiah sudah dituntun
untuk moderat. Maka, menyikapi hal-hal kekerasan atas nama agama seharusnya
secara proporsional saja, tidak usah berlebihan. Bagaimana pun moderatisme
masih di atas radikalisme itu sendiri. Dalam arti, wacana tentang toleransi dan
moderasi masih sangat mendominasi. Hal ini juga sebagai upaya menghindari
penyimpangan dari konsep moderasi dan toleransi.
Kita
tidak mau terjebak dalam narasi toleransi yang berlebihan dan kadang
dipaksakan. Menyikapi hal tersebut memang harus searif mungkin dan terus
berusaha menghindari pelabelan radikal yang salah tembak. Sebab, ketika sudah
berlebihan, tidak lagi bisa dinamai moderasi dan toleransi. Kedua hal tersebut bisa
melebihi namanya sendiri, saya menyebutnya dengan “hiper-moderatisme” dan “toleransi
yang salah sasaran”.
*Moh.
Rofqil Bazikh merupakan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta.
0 Komentar