Membongkar Narasi Toleransi dan Wacana Hiper-Moderatisme

Ilustrasi: Journo Liberta/Johan

Oleh: Moh. Rofqil Bazikh*

Bagi saya pribadi, narasi tentang toleransi dan moderatisme beragama sudah tidak asing lagi. Tidak salah jika saya mengatakan bahwa hari ini nyaris setiap hari kita akan mendengar narasi-narasi tersebut. Ada beragam medium yang biasa digunakan untuk menyampaikan, mulai dari ruang seminar sampai media sosial. Sehingga, narasi dan wacana tentang toleransi sudah menjamur di masyarakat kita, lebih-lebih di dunia maya. Kita bisa paham mengapa hal demikian bisa menjadi mainstream di tengah-tengah masyarakat. Tidak lain, adalah narasi radikalisme yang seringkali muncul bersamaan dengan itu.

Konsep tentang radikalisme sendiri sejatinya cukup mudah dipahami. Hari ini radikalisme justru semakin kental kaitannya dengan agama. Radikalisme seringkali dilekatkan kepada orang yang beragama secara fundamental. Kemudian dua lema antara “radikalisme” dan “fundamentalisme” sering menjadi bahasan orang-orang yang mengusung ide moderatisme cum toleransi. Hal itu dapat diterima dengan sangat lapang dada—bagi siapapun—jika ide moderatisme dan toleransi dijadikan usaha preventif  terhadap kekerasan atas nama agama. Namun, persoalan yang muncul justru tidak sesederhana itu. Ada hal problematik yang membuntuti ide moderasi, utamanya di negara yang demokratis ini.

Secara gampang saya akan meletakkan orang-orang yang tertuduh radikal sebagai oknum yang melawan negara, atau paling tidak berhadapan dengan negara. Sebab, negara memang selalu berkonfrontasi dengan orang-orang yang dituduh radikal tersebut. Persoalannya adalah ketika tuduhan dan klaim radikal tersebut justru sewenang-wenang sembari menggaungkan ide toleransi dan moderasi. Di sini, persoalan yang paling pokok dan sejatinya yang harus kita sorot bersama-sama. Secara lebih eksplisit, saya bisa menyebut jika orang-orang yang berada di pihak oposisi seringkali mendapati hal-hal keji semacam itu. Dari sini, kemudian narasi toleransi dan moderat tersebut bisa saya anggap mulai tidak beres.

Kasus terbaru semisal apa yang telah menimpa 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Di balik itu, ada narasi terselubung dan meggaung-gaungkan tentang radikalisme dan upaya pembersihan KPK dari kadrun. Mari kita sorot bersama-sama. Benarkah hal demikian memang diperuntukkan sebagai lawan dari radikalisme itu sendiri atau justru sebagai alat untuk membenarkan negara. Di tengah kasus korupsi yang besar-besar justru orang-orang penting dalam KPK yang kena getah. Sekali lagi, berkedok narasi moderatisme dan pembersihan kadrun yang dicap radikal. Ini adalah sebagai contoh narasi tentang toleransi dan moderasi yang tidak pada tempatnya.

Selain itu, narasi tentang moderasi ini yang sering diarahkan kepada orang-orang yang mengkritik pemerintah. Padahal—kita paham secara aksiomatis—di negara yang menganut sistem demokrasi, kritik merupakan nutrisi. Jika sudah anti terhadap kritik, atau secara khusus menyerang para pengkritik dengan label radikal, senyatanya ruh dari demokrasi pelan-pelan terancam. Hal ini juga yang hendak saya sorot dan masukkan dalam label “hiper-moderat”, yaitu orang-orang yang dengan tanpa rasa bersalah menggunakan nama moderasi dan toleransi untuk membenarkan status quo yang sedang bermasalah.

Selain itu, narasi tentang toleransi ini seolah-olah membuat kita harus selalu toleran dalam hal apapun. Di sini yang hendak saya bongkar, bahwa narasi tentang toleransi harusnya tidak tumpul ketika menghadapi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Atau dengan kata lain, tidak boleh mentoleransi kebijakan itu. Sebab, narasi toleransi ini sering mengisi banyak ruang di lapisan masyarakat akibat dari selalu digaungkan. Memang, tidak salah menggaungkan ide dari toleransi itu sendiri, tetapi beberapa penyimpangan sebagaimana saya sebut di atas juga harus mendapat perhatian lebih.

Saya mengutip Prof. Mujamil Qomar dalam Moderasi Islam Indonesia (IRCiSoD:2020), bahwa di negara kita perihal kekerasan atas nama agama memang nyata adanya, tetapi tidak dominan. Ia meninjau dari beragam aspek, dari teologis sampai politis, bahkan kita secara alamiah sudah dituntun untuk moderat. Maka, menyikapi hal-hal kekerasan atas nama agama seharusnya secara proporsional saja, tidak usah berlebihan. Bagaimana pun moderatisme masih di atas radikalisme itu sendiri. Dalam arti, wacana tentang toleransi dan moderasi masih sangat mendominasi. Hal ini juga sebagai upaya menghindari penyimpangan dari konsep moderasi dan toleransi.

Kita tidak mau terjebak dalam narasi toleransi yang berlebihan dan kadang dipaksakan. Menyikapi hal tersebut memang harus searif mungkin dan terus berusaha menghindari pelabelan radikal yang salah tembak. Sebab, ketika sudah berlebihan, tidak lagi bisa dinamai moderasi dan toleransi. Kedua hal tersebut bisa melebihi namanya sendiri, saya menyebutnya dengan “hiper-moderatisme” dan “toleransi yang salah sasaran”.

 

*Moh. Rofqil Bazikh merupakan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar