Taliban dan Dependensi Perempuan Afghanistan

Sumber Gambar: amazon.com

Oleh: Rika Salsabila Raya*

JOURNOLIBERTA.COM - Ketika pemberitaan mengenai jatuhnya rezim Ashraf Ghani sebagai presiden Afghanistan oleh Taliban bermunculan belakangan ini, saya teringat dengan sebuah film. 

Taliban yang dikenal sangat membatasi gerak kaum perempuan membuat dunia kembali khawatir, khususnya bagi para perempuan di seluruh dunia. Sebagai bentuk kritik dan respons terhadap kekuasaan Taliban, saya rasa film At Five in the Afternoon sangat mewakili. 

Sinopsis

Seorang wanita 20 tahun (Rezaie) menentang ayahnya (Yousefrazi) dan menghadiri sekolah sekuler di Kabul, di mana dia mengumumkan ambisinya untuk menjadi Presiden Afghanistan. Berlatar di era Taliban berkuasa (1996-2001), tokoh Rezaie dan para perempuan hidup dalam keterbatasan.

Seperti yang diketahui, rezim Taliban menerapkan hukum syariat Islam secara mutlak yang turut serta membatasi hak-hak perempuan. Seperti aturan penggunaan burqa (pakaian muslimah yang menutup seluruh tubuh dan wajah), melarang penggunaan sepatu hak tinggi, dan sederet aturan tak masuk akal  lainnya. Hal itu tersaji lewat sebuah film berjudul, At Five in the Afternoon.

Memang sejak pergantian milenium dan peristiwa terorisme 11 September 2001 di Amerika Serikat, membuat dunia berfokus pada negeri dan masyarakat Afghanistan. Beberapa pembuat film dari negara kawasan, seperti Iran, menggarap beberapa karya yang mengangkat peran perempuan dalam masyarakat Islam, khususnya saat dan pasca Taliban berkuasa di Afghanistan.

Samira Makhmalbaf, sutradara film ini, kembali ke Afghanistan untuk mengeksplorasi penderitaan perempuan yang sebagian besar masih mengalami kontrol represif, meskipun ketika itu Taliban mulai kehilangan kendali. 

Hal itu diperlihatkan di dalam film, misalnya, seorang pria usia tua berkali-kali memohon ampun dan memaki karena melihat Rezaie, padahal ia sudah mengenakan burqa (pakaian muslimah yang menutup seluruh tubuh dan wajah) biru. Beberapa adegan juga bermakna sindirian, seperti ketika Rezaie membaca Al-Qur’an yang seakan-akan menyuruh kaum pria mengendalikan nafsu.

Kelebihan Film

Selama film berlangsung, dialog antara tokoh utama dan peran pendukung menunjukkan dengan baik pesan yang ingin disampaikan sang sutradara, Samira Makhmalbaf. Film ini juga didukung dengan lokasi yang memperlihatkan keadaan Afghanistan seutuhnya akibat perang. Seperti lingkungan yang berdebu, kering, dan bangunan-bangun hancur turut membawa penonton masuk ke dalamnya.

Film ini dengan apik ingin menunjukkan kepada dunia bahwa perang dapat berakibat ke banyak hal. Rezaie (tokoh utama) dengan kemampuan aktingnya berhasil menampilkan jati dirinya sebagai perempuan Afghan yang kuat dan ambisus. Keterbatasan tidak membuat Rezaie takut untuk memiliki cita-cita, dibuktikan dalam adegan film yang menampilkan perbuatan Rezaie yang dengan berani melanggar aturan yang berlaku.

Berkat sentuhan sinematografi ala Ebrahim Ghafori dan Makhmalbaf bersaudara, film ini seakan menyusun kesunyian secara lanskap, diisi oleh beragam pembuktian akibat perang dan korelasinya terhadap perempuan. Selanjutnya, komposisi warna yang ditampilkan begitu dipoles sederhana tanpa meninggalkan ciri khas film negeri berselimut debu itu, yang suram dan apa adanya.

Saya sebagai penonton merasa Samira tidak hanya peduli dengan agama, prasangka, dan pembatasan yang dialami oleh mayoritas muslimah Afghanistan yang mengenakan burqa biru, tetapi ia juga ingin mengungkap ketidaktahuan orang-orang mengenai situasi yang diakibatkan faktor politik dan budaya patriarki yang kuat. 

Seakan-akan Samira ingin menunjukkan bahwa cita-cita si pemeran utama (menjadi presiden) hanya akan terkabul karena kehendak tuhan, bukan karena usaha-usaha yang dijalankan si pemeran utama sedari awal.

Lebih lanjut, sebagai anak yang lahir dari ayah yang juga pembuat film, Samira layak disebut mewariskan bakat sang ayah, Mohsen. Tak ketinggalan, dalam film tersebut kita akan melihat akting dari para pemeran asli warga negara Afghanistan, sehingga terkesan realistis. Misalnya, peran tokoh Abdolgani Yousefrazi yang berusaha membuat Agheleh Rezaie (pemeran utama) dan adik iparnya Marzieh Amiri terus dalam lingkaran yang telah ditetapkan oleh kekuasaan Taliban.

Semua pemeran berhasil mencurahkan apa yang dialami secara nyata dan membuat penonton ikut terbawa baik dari penyampaian mimik, gestur, dan penyajian naskah dialog diselingi ayat Al-Qur’an dan pepatah Afghan.

Kelemahan Film

Layaknya dua film karya Samira sebelumnya, The Apple atau Blackboards, tidak ada konklusi jelas sebagai penutup yang membuat kenyang penonton. Ibaratnya sudah pergi dibawa jauh tapi ditinggal tanpa kejelasan.

Bagi saya, film At Five in The Afternoon adalah karya luar biasa yang berisi banyak metafora pepatah Afghan diselingi ayat-ayat Al-Quran yang menunjukan eksistensi perempuan yang disalahartikan oleh kekuasaan Taliban.

Secara bergantian, antara tampilan close-up yang intim, latar yang mendukung, dan akting para perempuan, secara langsung menunjukkan kepada penonton imbas kekuasaan Taliban—termasuk  perang di dalamnya—yang bertindak tanpa kompromi terhadap perempuan.

Film ini turut membawa isu dan kritik feminisme yang menjadi nilai besar. Sayangnya, Samira masih kurang matang dalam menyajikan kritik tersebut, ditambah konklusi yang tak jelas. Bagi penonton film yang terbiasa menonton film khas Hollywood yang membawa isu feminisme, mungkin akan kesal dibuatnya.

Terlepas dari itu, film adalah karya Samira yang memang berciri, berani, dan patut diapresiasi, dibuktikan dengan penghargaan yang berhasil didapat seperti Jury prize (Cannes Film Festival).

Seiring dengan kembalinya kekuasaan Taliban yang saat ini cukup membuat khawatir dunia. Khususnya bagi kaum perempuan, alangkah baiknya film ini ditonton untuk mengingatkan sejarah kelam tersebut dan membungkam sebagian kalangan yang mendukung kembali kekuasaan Taliban.

Identitas Film

Tanggal Rilis: 16 Apr 2004

Durasi: 106 Menit

Bahasa: Dari

Sutradara: Samira Makhmalbaf

Sinematografi: Samira Makhmalbaf, Hana Makhmalbaf, Ibrahim Ghafori

Pemain: Razi Mohebi, Samira Makhmalbaf

 

*Rika Salsabila Raya adalah seorang mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah menjadi asisten muda ketua Komnas PA dan mantan staf komunikasi di Ngertihukum.id

 

Posting Komentar

0 Komentar