Fenomena Childfree dan Ancaman Bonus Demografi

Ilustrasi: stefaniainfante.com 


JOURNOLIBERTA.COM – Belakangan ini, fenomena childfree atau keputusan memilih untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia terlebih kaum wanita. Ada yang beranggapan bahwa perempuan memiliki hak atas tubuhnya, tetapi ada juga yang berpandangan kondrat perempuan adalah memiliki anak.

Keputusan childfree memang sangat personal. Namun, jika banyak perempuan memutuskan tidak mau memiliki anak, sebagaimana yang terjadi di banyak negara maju, ada masalah lain yang akan muncul.

Jumlah populasi di dunia memengaruhi kelangsungan hidup alam ini, seperti daya dukung lingkungan hidup, problematika sosial-ekonomi, dan ketahanan negara. Fenomena childfree bisa menimbulkan kekhawatiran soal populasi penduduk di masa depan.

Sejalan dengan fenomena tersebut, jurnalis Journo Liberta menghubungi dosen Program Studi Hukum Tata Negara UIN Jakarta, Masyrofah, via WhatsApp, Senin (6/9/2021). Ia menuturkan bahwa walaupun pemerintah mempunyai program Keluarga Berencana (KB), fenomena childfree tentu saja tidak relevan.

Menurutnya, memilih memiliki ataupun tidak memiliki anak adalah hak seseorang. Akan tetapi untuk budaya Indonesia, lanjut Masyrofah, keputusan tersebut tentu sangatlah mengejutkan dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Program pemerintah tentang cukup memiliki 2 anak merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi laju pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia. Apabila program tersebut dikaitkan dengan fenomena childfree, menurutnya, tentu tidak relevan, karena substansinya berbeda.

"Program pemerintah yang menganjurkan untuk memiliki 2 anak cukup (KB), tentunya masih dalam koridor agar keluarga Indonesia masih tetap berkeinginan memiliki anak. Bukan justru seperti dalam konteks childfree yang tidak berkeinginan memiliki anak meskipun sudah berkeluarga," ujarnya.  

Ia melanjutkan, dalam tatanan negara, fenomena tersebut tentu saja berdampak, karena hal ini bisa saja menjadi tantangan sekaligus 'ancaman' bagi keluarga Indonesia, apabila fenomena tersebut meluas dan diikuti oleh masyarakat terlebih lagi kalangan keluarga muda.

"Memang memiliki anak merupakan hak individu namun apabila itu disuarakan oleh kelompok pengikutnya dan disebarluaskan tentu akan berdampak tidak baik bagi generasi milenial yang akan berubah mindset-nya bahwa tidak memiliki anak merupakan life style dan bebas melakukan segala aktivitas," tambah Masyrofah.

Di balik fenomena ini, tentu ada beragam alasan yang mendasari suatu keluarga untuk tidak memiliki anak. Namun, menurutnya, alasan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai argumen pembolehan. Misalnya apabila alasannya finansial, tentu saja seharusnya dapat dicari solusi agar keuangannya dapat meningkat sehingga cukup untuk menafkahi satu keluarga.

Musyrofah mengatakan, keharmonisan keluarga juga dapat tercipta dan terjalin dengan baik apabila adanya seorang anak di tengah-tengah keluarga. Dalam UU No. 35 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Di akhir wawancara, Masyrofah juga berpendapat bahwa fenomena childfree sendiri sama sekali tidak menguntungkan negara, justru dapat mengancam keberlangsungan negara. Ia menilai bahwa fenomena ini sangat bertentangan dengan nilai dan budaya Indonesia.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa syarat berdirinya suatu negara yaitu adanya warga negara atau penduduk, yang terlahir dari keluarga-keluarga yang memiliki anak. Negara dapat terus exist lantaran ada keluarga yang melahirkan anak sebagai generasi bangsa di masa depan," tuturnya.

Dalam tulisannya di laman nu.or.id, Achmad Mukafi Niam mengatakan populasi penduduk berada dalam kondisi stabil bila idealnya tingkat kelahiran per perempuan adalah 2,1. Hal ini berarti, setiap jumlah generasi yang dilahirkan sebanding dengan generasi yang meninggal, karena angka 0,1 sebagai antisipasi bagi anak yang meninggal sebelum dewasa. 

Beban keuangan di beberapa negara yang populasinya menurun semakin berat karena generasi muda yang jumlahnya sedikit harus membiayai para lansia yang umurnya semakin panjang dan jumlahnya semakin banyak. Untuk meningkatkan angka kelahiran, sejumlah negara menawarkan insentif khusus kepada para perempuan agar mau memiliki anak.

Jepang yang telah mengalami masa bonus demografi di era 1990-an, pada 2017 lalu penduduknya yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 27,7 persen sedangkan untuk penduduk yang berusia di bawah 14 tahun hanya berjumlah 12,3 persen. Artinya, jumlah penduduk lansia jauh lebih banyak dibandingkan anak-anak. Selain Jepang, banyak juga negara yang berpopulasi lansia lebih banyak.

Melansir cnbcindonesia.com, di Korea Selatan bahkan ada kelompok feminis radikal nasional yang disebut Four Nos (4B), sebuah kelompok yang menjunjung tinggi sejumlah norma, yakni 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing' atau tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak.

Hal tersebut dikhawatirkan dapat menggangu pertumbuhan ekonomi kedua negara ini di masa depan. Bahkan, Korea Selatan telah terancam oleh bencana demografis yang muncul akibat dari fenomena ini.

Untuk di negera kita sendiri, semenjak adanya program KB, pertumbuhan penduduk mengalami penurunan signifikan. Dilihat dari data Bank Dunia, pada tahun 1960-an rata-rata perempuan Indonesia melahirkan 5,67 anak. Dengan adanya program KB yang berjalan yang dimulai tahun 1970-an, maka pada 2018, tingkat kelahiran per perempuan menurun menjadi 2,31.

Pada 2030-2040 mendatang, sejumlah kalangan memprediksi Indonesia berada dalam posisi bonus demografi, yang berarti jumlah penduduk produktif (berusia 15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan penduduk yang tidak produktif.

Akan tetapi, pascabonus demografi tersebut, tren yang sama—seperti yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan ketika jumlah orang tua lebih banyak dari kelompok produktif —bisa saja terjadi apabila negara tidak mengantisipasi persoalan populasi penduduk sejak dini. 

 

Penulis: Safira Salsabilla dan Sarah Fauziyah

Editor: Siti Hasanah Gustiyani


Posting Komentar

0 Komentar