Barangkali, kita semua telah mengetahui bahwa kasus
pelecehan seksual di perguruan tinggi bukan lagi hal baru di Indonesia. Jika
kita sedikit memutar ingatan ke belakang, maka kita akan mengingat kasus
pelecehan seksual yang dialami oleh Agni, seorang mahasiswi UGM yang sempat
ramai menjadi perbincangan di media sosial beberapa tahun silam. Dapat
dikatakan, kasus pelecehan yang diderita Agni hanyalah salah satu contoh dari
sekian banyak kasus pelecehan yang terjadi dalam lingkup perguruan tinggi di
Indonesia. Dilansir dari laman Tirto.id, tahun 2019, survei yang telah
dilakukan Tirto bersama The Jakarta Post dan VICE Indonesia yang mencatat
terdapat 174 kasus pelecehan seksual yang berhubungan dengan perguruan tinggi.
Hasil catatan tersebut melibatkan 79 kampus dan 29 kota. Selain itu, Tirto.id juga mencantumkan salah satu studi
dari ValueChampion yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling
berbahaya kedua bagi perempuan di antara negara lain di kawasan Asia Pasifik.
Tak perlu kaget jika kita mendengar Indonesia
mendapat peringkat kedua sebagai negara paling berbahaya bagi perempuan, karena
selain disebabkan oleh pelaku kejahatan seksual yang masih merajalela,
banyaknya kasus pelecehan seksual bisa jadi juga disebabkan oleh gagal atau
bobroknya penyelesaian kasus pelecehan seksual di Indonesia. Dengan arti lain,
dapat dikatakan bahwa pelecehan seksual di Indonesia belum dianggap sebagai
tindak pidana yang serius oleh sebagian masyarakat dan pihak berwenang.
Padahal, sudah terdapat aturan dalam KUHP mengenai perilaku kejahatan,
kekerasan, maupun pencabulan. Sehingga, sudah sangat jelas bahwa pelecehan
seksual merupakan kejahatan yang dapat dipidanakan. Kendati demikian, jangankan
menganggap serius kasus pelecehan. Sering kali, anggota kepolisian sebagai
perangkat hukum negara justru cenderung “bermain-main” ketika mendapat
pengaduan dari korban mengenai kasus pelecehan
seksual yang dialaminya. Seperti yang dialami oleh salah satu pegawai
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beberapa bulan lalu. Berdasarkan pengaduan
yang diunggah oleh korban, dapat kita lihat bagaimana ia (korban) tidak
menemukan tempat perlindungan walaupun telah melaporkan apa yang dideritanya ke
kantor polisi Gambir, Jakarta Pusat. Bahkan anggota kepolisian yang seharusnya
menerima pengaduannya dengan baik justru meminta agar kasus yang dialaminya
diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Ditambah, alih-alih mendapat
perlindungan, kini korban justru mendapat intimidasi dan dipaksa mencabut
laporannya.
Bukan hanya harus
dihadapkan dengan kegagalan atau ketidakseriusan penanganan kasus, korban pelecehan seksual terkadang juga harus
menanggung victim blaming dari orang-orang di sekelilingnya. Perlu diketahui,
victim blaming merupakan fenomena yang terjadi ketika seorang korban
kejahatan atau tragedi tertentu, justru diminta pertanggungjawaban terhadap apa
yang terjadi pada mereka. Sering kali korban pelecehan seksual di Indonesia
justru mendapat perlakuan semacam itu, seperti contohnya di mana korban
kekerasan seksual diminta untuk mencari bukti-bukti terkait kasusnya, yang
padahal itu justru merupakan tugas dan wewenang kepolisian, belum lagi korban
diminta pertanggungjawaban atas apa yang ia laporkan dengan diminta mencabut
laporan, persis seperti yang dialami korban pelecehan seksual di KPI. Selain
itu. bentuk victim blaming lain adalah ketika korban justru disalahkan
karena dianggap memancing rangsangan pelaku dengan ulah atau kesalahan korban
itu sendiri, misalnya, dikarenakan pakaian korban yang ketat atau minim, korban
yang sering pulang malam, korban yang kurang tegas dalam menolak ketika
dilecehkan, dan tak jarang korban dianggap membesar-besarkan hal yang
dideritanya, dan lain sebagainya. Stigma seperti itulah yang membuat para
korban merasa tidak memiliki tempat untuk berlindung sehingga merasa takut
untuk menceritakan apa yang dialaminya, dan pada akhirnya korban memilih untuk
bungkam atas luka mendalam yang dideritanya., sementara pelaku, mendapatkan
kepuasan dan bisa terbebas dari jerat hukuman.
Berdasarkan banyaknya kasus pelecehan seksual di
Indonesia, negara beserta perangkat hukumnya seharusnya lebih serius dalam
menangani kasus pelecehan seksual. Sebab kasus pelecehan seksual dapat terjadi kapan
pun dan di mana pun. Sehingga, seakan tiada lagi tempat aman bagi perempuan
(tidak menutup kemungkinan bagi laki-laki)
agar terhindar dari pelecehan seksual. Kita telah mengetahui bahwa
pelecehan seksual bukan hanya dapat terjadi di tempat-tempat sepi dan minim
penerangan, melainkan juga dapat terjadi di tempat-tempat ramai dan
terang-benderang seperti sarana pendidikan atau sekolah dan perguruan tinggi.
Dilansir dari Kumparan.com, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjajaran pada tahun 2020 terdapat 223
dari 616 mahasiswa pernah menjadi penyintas kekerasan seksual. Artinya, kampus
merupakan salah satu kawasan yang rawan pelecehan seksual. Maka, diperlukan
adanya kehadiran negara melalui perangkat dan wewenangnya dalam menangani kasus
pelecehan seksual terutama kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam
menangani kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi ialah dengan mengeluarkan
Permendikbud Ristek No.30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan Menteri tersebut
memuat 9 bab dan 58 pasal. Komnas HAM
menilai bahwa substansi dalam Permendikbud ini sejalan dengan penghormatan hak
asasi manusia serta memiliki perspektif keadilan gender yang kuat.
Namun, alih-alih mendapat jalan yang mulus,
Permendikbud justru menuai polemik di media sosial. Sebagian orang menganggap
bahwa peraturan tersebut benar-benar diperlukan agar kasus pelecehan seksual di
ranah perguruan tinggi lebih diperhatikan sebagai isu yang serius dan
penyelesaian kasus secara kekeluargaan tidak kembali terulang. Di mana kasus
penyelesaian kasus secara kekeluargaan acap kali dilakukan hanya untuk menjaga
citra dan nama baik kampus. Barangkali, mereka melupakan satu hal bahwa citra
dan nama baik tidak akan pernah terlepas dari hubungan kausalitas
(sebab-akibat). Di mana, citra yang baik akan didapat bila kita melakukan
perilaku yang baik, begitu pun sebaliknya, bukan malah menutup-nutupi dan tidak
membela korban dan hanya sekadar menghasilkan kekecewaan.
Kendati,
sebagian orang yang lain merasa bahwa Permendikbud tersebut justru melegalkan praktik
seks bebas di perguruan tinggi. Hal itu karena terdapat beberapa poin pada
beberapa pasal yang memiliki “tanpa persetujuan korban”. Sebagian orang
tersebut memandang kalimat “tanpa persetujuan korban” dengan perluasan makna.
Mereka menganggap bahwa dengan adanya kalimat tersebut maka Kemendikbud sama
halnya melegalkan praktik seks bebas atau perzinahan di perguruan tinggi. Sehingga
dengan argumen dan perluasan makna itu, dapat dikatakan bahwa mereka telah
melenyapkan tujuan utama dari adanya Permendikbud, yaitu untuk mencegah dan
menangani kejahatan seksual di perguruan tinggi.
Sebelum membahas perbedaan pendapat yang terjadi di
media sosial, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan pada orang-orang yang
tidak menyetujui adanya peraturan tersebut. Pertama, apakah mereka
pernah berinteraksi dengan salah satu korban pelecehan seksual? Kedua,
sejauh mana mereka mengetahui bagaimana trauma yang dialami korban? Ketiga,
bagaimana perasaan ketika penyelesaian kasusnya berujung kebuntuan atau bahkan
diselesaikan dengan cara kekeluargaan? Jika pernah, maka mereka akan berpikir
dua kali untuk menuntut dicabutnya Permendikbud tersebut. Dan jika tidak, maka
mereka akan bersikeras dengan argumentasi kolot yang diciptakannya.
Di sisi lain, sangat disayangkan penolakan tersebut
bukan hanya dilakukan oleh individu, melainkan juga partai yang identik dengan religiositas
atau kerap disebut sebagai partai yang agamis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
PKS menganggap bahwa Permendikbud tersebut bertentangan dengan agama dan
norma-norma yang sesuai dengan budaya Indonesia. Sama halnya dengan sebagian
orang di atas, PKS menilai peraturan tersebut seakan melegalkan praktik
perzinahan di lingkup perguruan tinggi.
Selain itu, disadur dari laman Lembaga Pers
Mahasiswa, Journo Liberta dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta, A. Tholabi Kharlie meminta agar Permendikbud No.30
dievaluasi dikarenakan ada beberapa poin pada pasal 5 yang dinilai bermasalah
sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ia mengungkapkan
bahwa Kemendikbud hanya seperti memutar kaset lama, dengan maksud polemik ini
pernah terjadi pada saat dikeluarkannya RUU-PKS. Ia menganggap bahwa secara
gamblang ayat (2) pada pasal 5 mengartikan kekerasan seksual dengan konsep consent
atau voluntary agreement yakni, persetujuan aktivitas seks yang tidak
dipaksakan, dalam arti lain sebuah larangan melakukan perbuatan seks tanpa
persetujuan korban. Ia juga mempertegas bahwa dengan mengakomodasi konsep consent
dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama,
kesusilaan, dan kaidah hukum yang dituangkan antara lain melalui UU Perkawinan.
Logika yang digunakan oleh dekan fakultas Syariah
dan Hukum tersebut sama halnya dengan logika yang dipakai oleh PKS dan sebagian
orang yang lain, dan logika tersebut merupakan pemikiran yang keliru, pemikiran
tersebut tergambarkan dalam rumus logika berpikir “Denying the Antecedent
Fallacy” yang merupakan konsep dasar logika dan dianggap sebagai logika yang
sesat pada zaman klasik. Di mana, untuk mendapat kesimpulan, konsep berpikir
tersebut mengaitkan dua premis. Yaitu premis satu: P Ã Q Premis dua: ~P Kesimpulan: ~Q
Sebagai contoh :
Premis satu : Seekor kucing keracunan, maka kucing
mati.
Premis dua : Seekor kucing tidak keracunan
Kesimpulan :
Kucing tidak mati
Padahal
seekor kucing bukan hanya bisa mati lantaran keracunan, bisa jadi lantaran
sakit, tertabrak, dan lain sebagainya. Maka, dengan alasan tersebut, logika ini
dianggap sesat secara pemikiran. Dengan demikian, apabila masih ada yang
menganggap bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” pada beberapa poin dalam
Permendikbud sama halnya melegalkan atau memperbolehkan praktik hubungan
seksual atau perzinahan yang dilakukan dengan persetujuan atau kesepakatan,
dapat dikatakan bahwa orang-orang tersebut memiliki pemikiran yang sesat, kuno,
sekaligus cacat. Selain itu, untuk
menentukan kasus pelecehan seksual justru diperlukan adanya konsep consent
tersebut. Dengan demikian, perbedaan antara pelecehan seksual dan seks bebas
dapat dilihat dengan jelas.
Permendikbud
justru secara spesifik mempertegas tujuannya untuk menangani dan mencegah
pelecehan seksual di lingkup perguruan tinggi. Peraturan tersebut berfokus pada
kasus pelecehan seksual, dan pelecehan seksual baru akan dianggap sebagai
pelecehan karena terdapat ketidaksetujuan dari korban atau adanya pemaksaan.
Itulah yang menjadi dasar perbedaan antara seks bebas dan pelecehan seksual.
Seharusnya untuk hal sekecil itu, sebuah partai dan seorang dekan Fakultas
Syariah dan Hukum mampu memahami perbedaan secara mendasar tersebut.
Beberapa
orang mencoba menepis anggapan keliru tersebut. Sebagaimana Khalis Mardiasih,
salah seorang perempuan aktivis Nahdatul Ulama (NU) melalui akun Instagram
pribadinya, ia mencoba menentang anggapan-anggapan bahwa frasa “tanpa persetujuan
korban” dalam Permendikbud tersebut sama saja melegalkan aktivitas seks bebas
terjadi di perguruan tinggi. Ia pun menyampaikan beberapa poin, salah satu
poinnya ialah “frasa tanpa persetujuan korban menunjukkan bahwa setiap manusia
memiliki hak untuk merasa aman dan menolak semua intervensi yang mengancam
dirinya” frasa tersebut menurutnya juga muncul dari pengalaman korban di mana,
hanya korban yang berhak menjelaskan situasi seperti apa yang membuat dirinya
merasa terancam dan dalam bahaya, satu prinsip penting untuk percaya pada suara
dan pengalaman korban.
Pendapat
lain datang dari seorang mahasiswi psikologi Universitas Pembangunan Jaya,
Sabrina Cahya. Sabrina berpendapat bahwa
dengan adanya konsep consent mengenai persetujuan korban itu justru
memprioritaskan hak kemanusiaan, ia menilai sebelum melihat dari segi moral dan
agama, aspek kebebasan menentukan pilihan juga harus diperhatikan sehingga
dapat menemukan keberimbangan dalam menentukan sesuatu, termasuk aturan soal
kasus pelecehan seksual. Sama halnya dengan pendapat Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, dikutip dari Kompas.com,
Mike berpendapat bahwa consent dalam Permendikbud No.30 harus dimaknai
dalam ranah kekerasan seksual. Mike juga menambahkan bahwa mengatur perzinahan
bukan wewenang yang Permendikbud, melainkan diatur dan tertera pada aturan
lainnya seperti KUHP.
Di
satu sisi, Kemendikbud melalui pengesahan Permendikbud No. 30 tahun 2021 perlu
diapresiasi karena telah berupaya menjalankan tugasnya agar perguruan tinggi
menjadi tempat yang aman dengan harapan agar kasus pelecehan seksual tidak
terus berulang dan dapat ditangani dengan serius, bukan lagi dengan cara
kekeluargaan. Bertentangan atau tidak dengan aspek moral dan keagamaan bukanlah
persoalan apalagi tanggung jawab Kemendikbud. Karena jelas, peraturan tersebut
sudah selayaknya seperti peraturan lain, peraturan yang sepenuhnya berpihak
dengan korban dan tidak menjatuhkan nilai-nilai agama mana pun. Kemendikbud
telah mencoba menjalankan tugas dan wewenangnya menjadikan kampus sebagai
tempat yang aman dan nyaman bagi mahasiswa, urusan moral dan agama biar jadi tanggung
jawab kementerian yang lain, kementerian Agama. Perlu ditegaskan, peraturan ini
bukan soal idealisme, adat istiadat, agama, dan identitas suatu bangsa,
melainkan soal korban. Jika masih terus berpikiran bahwa peraturan tersebut
tidak sesuai dengan identitas negara yang agamis, pernahkah kita berpikir,
bagaimana jika esok atau lusa anak-anak, saudari, sahabat, atau bahkan diri
kita sendiri adalah korban pelecehan seksual selanjutnya? Dan kita kembali mengalami hal yang dialami Agni dan
korban pelecehan sebelumnya, victim blaming dan ketidaktuntasan
penyelesaian kasus. Sehingga pelaku terbebas dari jerat hukum pidana, sedangkan
kita harus berkutat seumur hidup dengan rasa trauma. Lalu, pada saat itu, saat
mengalami kasus pelecehan serupa, yakinkah kita masih akan berkukuh pada
pendirian dan pemikiran yang keliru? Sebab pemelintiran makna yang terjadi pada
akhirnya hanya akan menimbulkan perdebatan panjang yang sama sekali tidak ada
pengaruhnya terhadap korban pelecehan seksual.
Namun,
jika sebagian orang tetap teguh dengan pendirian dan pemikiran yang keliru
semacam PKS, maka sebagian yang lain (yang mendukung Permendikbud No. 30) juga
berhak mengatakan bahwa orang-orang yang tidak sepakat dengan Permendikbud
tersebut adalah orang-orang yang acuh tak acuh pada kasus pelecehan seksual di
perguruan tinggi. Bukankah ironi, melihat sikap sebuah partai dan dosen yang
identik dengan religiositas justru menolak aturan yang mencegah kasus pelecehan
seksual terjadi di ranah kampus dengan alasan yang mengatasnamakan moral dan
agama. Lantas, haruskah kita selamanya terpaku dengan idealisme dan identitas
sampai harus mengesampingkan tujuan utama dari Permendikbud tersebut? Jika
begitu, lalu siapa lagi yang akan peduli korban?
Perlu
ditegaskan, peraturan ini bukan soal norma, adat istiadat, agama, dan identitas
suatu bangsa, melainkan soal korban dan penanganan pelecehan seksual.
Pemelintiran makna yang terjadi pada akhirnya hanya akan menimbulkan perdebatan
panjang yang sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap korban pelecehan
seksual.
Identitas,
moral, dan budaya suatu bangsa seharusnya tidak menjadi tembok penghalang bagi
keseriusan pemerintah dalam menangani kasus pelecehan seksual. Karena,
Permendikbud ini pun justru mencantumkan aspek keagamaan dari agama mana pun,
di mana praktik pelecehan seksual merupakan praktik yang menjijikkan dan
ditentang oleh agama apa pun. Maka, agama dan moral tidak tepat dijadikan
alasan penolakan. Karena jika dilihat, agama dan moral hanya dijadikan penguat
argumentasi atas kesalahpahaman dan pemelintiran makna yang terjadi.
Penulis : owlsilhoutte/irfansyah nasution
Editor : Gina Nurulfadillah
0 Komentar