 |
Ilustrasi : Ridho Hatmanto/Journo Liberta |
JOURNOLIBERTA.COM - Barangkali, cara yang paling sederhana untuk memahami bagaimana demokrasi yang sehat puan dan tuan tak perlu membaca buku. Cukup dengan mengamati bagaimana dialog terjadi dalam lingkup keluarga puan dan tuan sekalian. Kebebasan berpendapat dalam lingkup keluarga acap kali runtuh lantaran sosok ayah memimpin keluarganya dengan cara yang cukup otoriter atas dalih kedisiplinan maupun kepatuhan, bahkan atas nama agama atau adat ketimuran. Dalam novel berjudul Perempuan di Titik Nol, Nawal El Saadawi menggambarkan bagaimana sosok ayah diperlakukan sebagai raja oleh keluarga. Hal seperti itu Nawal gambarkan melalui sebuah realitas di mana jika hanya tersisa satu porsi makanan di atas meja, maka makanan tersebut sudah pasti diperuntukkan untuk sang ayah walaupun anak-anaknya juga menderita kelaparan. Hal tersebut tentunya membuktikan bahwa kebebasan berpendapat di ranah keluarga bisa hanya menjadi sebuah mitos belaka.
Tak jarang orang tua memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka tanpa memedulikan pendapat sang anak. Selama ini banyak anak hidup dalam ketidakbebasan menyuarakan isi hatinya kepada orang tua dan sikap itu diartikan sebagai pembangkangan. Orang tua yang seharusnya merupakan sosok paling dekat kadang justru malah menjadi sosok yang paling asing bagi sang anak. Hal ini terjadi lantaran sang anak sulit menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, apa yang dicita-citakannya karena sikap pemimpin keluarga yang otoriter dan antikritik. Tak jarang, para orang tua tak memberi kebebasan kepada anak dalam menentukan masa depan. Brangkali, itu adalah bentuk pembungkaman yang tidak disadari.
Begitupun dengan sebuah negara. Pemimpin negara ibarat sosok ayah dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai anak, dan rumah adalah sebuah negara itu sendiri. Sang pemimpin bebas menentukan bagaimana dialog dalam keluarga itu berjalan. Sedangkan anak terpaksa hanya mengikutinya. Ayah yang ideal ialah ayah yang mampu menuntun bukan menutut. Dengan sosok ayah yang mampu menuntun, tentunya anak akan mendapat dukungan untuk terus berkembang sebagai individu yang dia inginkan. Artinya, seorang anak membutuhkan kehadiran orang lain untuk bisa mewujudkan hal-hal yang ia harapkan.
Kendati, adalah mustahil dapat menentukan nasib sendiri bila kebebasan berpendapat masih menjadi sebatas mimpi. Mimpi buruk bagi sang ayah, barangkali. Dalam ranah kenegaraan, kebebasan berpendapat merupakan salah satu ciri maju-mundurnya demokrasi di suatu bangsa. Demokrasi bukan hanya sebatas voting belaka, seperti yang terjadi setiap lima tahun sekali. Di mana saat itu para elite poitik mengemis suara rakyat untuk memilihnya di balik bilik, lalu menutup telinga ketika rakyat berteriak hingga parau di depan pagar gedung-gedung mewahnya.
Kasus-kasus pembungkaman sudah bukan hal baru di beberapa negara yang nasib demokrasinya tidak (pernah) baik-baik saja. Dilansir dari Kompas.com, pada tahun 1958 Soekarno pernah menutup puluhan media hanya dengan menelepon pemimpin redaksi media tersebut karena kerap mengkritik kepemimpinannya. Sedangkan, di era kepemimpinan Soeharto pembungkaman pendapat dilakukan dengan cara membabi buta. Soeharto tidak hanya membredel media-media yang piawai mengkritisi pemerintah Orde Baru seperti Majalah Tempo. Namun, pembungkaman juga menyasar kepada organisasi buruh, organisasi mahasiswa, hingga kelompok-kelompok kecil bahkan individu. Cara yang dilakukan oleh Soeharto pun barangkali telah banyak tuan dan puan dengar. Selain melalui undang-undang, Soeharto juga mengontrol masyarakat lewat pembubaran diskusi politik, pelarangan buku, dan penghilangan paksa. Kedua zaman tersebut menunjukkan hal-hal yang terdengar miris. Soekarno baru saja memerdekakan Indonesia dari penjajah, tapi pada saat yang bersamaan justru terdapat unsur-unsur dalam negara Indonesia yang mulai menjajah. Ketika akhirnya dipimpin Soeharto, Indonesia bukan hanya terperosok akibat krisis ekonomi, melainkan juga terjatuh ke dalam krisis demokrasi.
Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, kasus-kasus pelanggaran HAM pun masih banyak ditemukan. Megawati yang mengampanyekan kebebasan-kebebasan sebagai upaya mengembalikan demokrasi yang ideal setelah begitu lama direnggut Orde Baru malah justru membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM terjadi begitu saja. Tirto.id merangkum beberapa kasus pelanggaran HAM di masa kepemimpinan Megawati, kasus-kasus tersebut di antaranya adalah Megawati memberlakukan operasi militer di Aceh, kasus penembakan istri dan anak aktivis Papua pada Desember 2002 yang tidak mendapat penyelidikakn dari pemerintah, dan pada akhir masa jabatannya, seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib tewas diracun di udara.
Selanjutnya, pada zaman kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) penuntasan kasus HAM berat di masa lalu tidak menemukan titik terang sebagaimana janjinya. KontraS menilai bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Seolah-olah kasus pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah terselesaikan dengan baik. Kendati, yang terjadi malah sebaliknya. Susilo Bambang Yudhoyono hanya membentuk tim pencari fakta (TPF) dan tidak pernah ada hasil yang memberikan titik terang untuk penyelesaian kasus.
Sebelum menuju pada masa kepemimpinan Joko Widodo, perlu diketahui bahwa kasus-kasus pembungkaman di Indonesia masih terjadi sekalipun pada era teknologi yang semakin canggih dan informasi yang kian terbuka. Pada kenyataannya, teknologi yang canggih tidak menjamin adanya kebebasan berpendapat. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kasus penangkapan, peretasan, pasal karet, tertutupnya akses media untuk meliput dan lain sebagainya. Salah satu kasus pembungkaman pendapat yang acap kali berulang ialah kasus pelanggaran HAM yang diderita oleh sebagian besar masyarakat Papua. Negara secara berulang selalu memilih jalan pendekatan militer dibandingkan dialog yang demokratis. Tanpa dialog yang demokratis mungkin dialog yang terjadi tidak lebih dari sebatas intimidasi. Coba bayangkan, sekumpulan orang dipaksa menentukan pilihan antara “refenrendum” atau “bertahan” namun ketika hendak menjawab mereka sembari ditodong laras panjang di saat yang bersamaan. Maka, yang terjadi bukanlah pilihan “referendum” atau “bertahan” melainkan pilihan “hidup” atau “mati”.
Beralih ke masa kepemimpinan Jokowi, kebebasan berpendapat di masa ini, ketika negara sedang disebut-sebut akan menuju revolusi industri “four point O” (4.04 not found) dapat dikatakan… (Sebagian teks hilang entah kemana).
Penulis : Owl Silhoutte
Editor : Gina Nurulfadillah
0 Komentar