Foto: Journo Liberta/Ahmad Dwiantoro |
Lakon “Dhemit” diciptakan oleh seorang seniman, naskah ini
menceritakan Bangsa Dhemit yang terancam karena kerusakan lingkungan yang
dilakukan oleh manusia.
“Dhemit merupakan karya dari Heru Kesawa Murti seorang seniman dari
Yogyakarta. Naskah ini bercerita tentang para Dhemit yang merasa terancam
karena tempat tinggalnya dirusak oleh bangsa manusia,” ungkap Sutradara, Hana
Nur Annisa kepada Wartawan Journo Liberta, Jumat (18/03/2022)
Mementaskan lakon “Dhemit”, Teater Syahid mengangkat masalah
lingkungan yang terjadi di sekitar kita, seperti penebangan hutan dan
perampasan lahan yang digunakan untuk kepentingan proyek pembangunan.
“Isu atau gagasan yang diangkat dalam naskah ini masih terjadi di
sekitar kita sampai saat ini yaitu mengenai Penebangan Hutan juga perampasan
lahan yang digunakan untuk kebutuhan proyek pembangunan. Jadi, isu tersebut
masih hangat mengingat juga belakangan ini ada berita mengenai perampasan lahan
di desa Wadas,” ungkap Hana.
Ia melanjutkan, alur cerita ini dimulai oleh seorang kontraktor
yang bernama Rajegwesi dan konsultannya yang bernama Suli. Mereka berdua sedang
merencanakan pembangunan proyek perumahan dan bendungan di suatu wilayah hutan.
Permasalahan bermula ketika hutan itu tidak boleh ditebang oleh warga desa.
Melihat tempat tinggal mereka terancam, para Dhemit memutuskan untuk menculik
Suli dan berjanji akan mengembalikannya dengan syarat hutan mereka tidak
ditebang. Dengan menggunakan penduduk desa sebagai perantara, Rajegwesi
menyetujui perjanjian tersebut. Namun Rajegwesi melanggar janjinya, setelah
Suli dikembalikan oleh Dhemit, ia justru meledakkan wilayah hutan tersebut
dengan dinamit. Bagaikan senjata makan tuan, ledakan dinamit itu membuat tanah
di wilayah hutan tersebut longsor sehingga Rajegwesi tenggelam di dalam longsor
hutan tersebut.
Sebagai informasi tambahan, lakon “Dhemit” tadinya hanya diperankan
oleh sepuluh pemain, namun mereka memutuskan untuk menambah jumlah pemain.
“Pemeran dalam naskah ini tadinya hanya 10 orang, tetapi kami
memutuskan untuk menambah peran untuk menyesuaikan anggota yang akan terlibat
menjadi 14 orang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Abdul Sahri Wiji Asmoko yang berperan sebagai
Rajegwesi, mengaku sangat senang sekali dapat berperan sebagai tokoh utama.
“Sangat senang sekali. Tokoh Rajeg ini bisa dikatakan tokoh utama
karena point permasalahan ada pada dirinya,” ujarnya.
Dalam memerankan tokoh sebagai Rajegwesi, Abdul Sahri mengatakan
berbagai kendala ia alami selama latihan, namun itu semua menjadi tantangan
bagi dirinya dan ia berharap bisa lebih baik lagi ke depannya.
“Tentunya kendala itu pasti ada, baik secara personal ataupun
teknis. Misalnya tentang warna dialog serta tempo yang tepat, ini menjadi
tantangan besar bagi saya. Dari pementasan ini saya berharap bisa lebih baik
lagi untuk ke depannya ya,” imbuhnya.
Untuk dapat memerankan tokoh sebagai Rajegwesi, Sahri mengatakan
butuh waktu selama 3 bulan untuk dapat mendalami peran tersebut.
“Untuk mendalami peran biasanya dilakukan pencarian baik secara
individu maupun bersama sutradara kemudian pendalaman karakter. Hal ini dilakukan
selama kurang lebih 3 bulan,” Pungkas Abdul.
Penulis: Ahmad Dwiantoro
Editor: Gina Nurulfadhillah
0 Komentar