Darurat Kekerasan Seksual, PERAK 2022 Ajak Mahasiswa Tinjau UU TPKS

   Foto: Hildha/JournoLiberta

JOURNOLIBERTAHimpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesejahteraan Sosial mengadakan Seminar Nasional sebagai penutup rangkaian kegiatan Pekan Raya Kesejahteraan Sosial (PERAK) 2022 di Aula Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (19/10/22).

Acara ini mengangkat tema "Meninjau Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai Tonggak Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Berbagai Perspektif". Dengan menghadirkan dua narasumber dari lembaga penanganan bantuan hukum dan sosial, yaitu Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), UU TPKS dibahas secara mendalam dari segi fungsionalnya.

Ketua Pelaksana PERAK 2022, Muhammad Adam Farros menuturkan alasan dipilihnya tema tersebut, yakni untuk melihat fungsional dari UU TPKS dengan didasari tinjauan dari pihak terkait.

"Guna melihat apakah UU (TPKS) ini bisa dan cukup baik untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia, dan hal ini juga didasarkan dari hasil peninjauan pihak-pihak yang ahli dibidangnya," tuturnya, Rabu (19/10/22).

Perlu diketahui, terciptanya UU TPKS ini karena situasi darurat Indonesia terhadap Kekerasan Seksual (KS) nasional. Dengan melewati proses panjang, akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Rapat Paripurna tanggal 12 April 2022.

Bidang Kemitraan dan Kerjasama IPSPI, Robert B.Trianadari menjelaskan isi dari UU TPKS terkait penegakan sanksi bagi pelaku serta keadilan bagi para korban tindak kekerasan seksual.

"Pelaku KS akan dikenakan hukum pidana yang diatur dalam UU TPKS dan begitupun dengan perlindungan dan pendampingan korban KS," ujarnya dalam sesi materi seminar, Rabu (19/10/22).

Hal senada disampaikan Koordinator Reformasi Hukum LBH APIK, Ratna Batara Munti, bahwa UU TPKS ini bukan hanya berisi sanksi jera, tetapi juga bagaimana mengubah perilaku pelaku KS, diantaranya dengan rehabilitasi dan pembinaan.

Ratna menambahkan dalam pelaporan kasus KS, sebuah saksi korban dan satu alat bukti sudah cukup membuktikan tindak KS yang terjadi. Hal ini pun dijelaskan dalam UU TPKS Pasal 25 ayat 1 yang berbunyi "Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya."

Lebih lanjut, Adam pun berharap dengan digelarnya seminar ini dapat memberikan informasi dan memperkenalkan UU TPKS ke khalayak, sehingga masyarakat bisa merasa terlindungi dan lebih berhati-hati dengan diri maupun lingkungan sekitarnya.

 


Reporter: Hildha Nur Aini

Editor    : Shinta Fitrotun Nihayah


Posting Komentar

0 Komentar