16 Tahun Aksi Kamisan, Usut Tuntas Kasus Pelanggaran HAM Berat

 

Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang meninggal dalam tragedi Semanggi I tahun 1998 melakukan Aksi Kamisan ke-766 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/3/2023). (Journo Liberta/Mohamad Alfarizi)(Journo Liberta/Alfarizi)

JOURNOLIBERTA.COM - Aksi Kamisan yang ke 766 digelar di depan Istana Merdeka, pada Kamis (2/3/2023). Dengan mengusung tema “Memperingati Hari Tanpa Diskriminasi Sedunia”, para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) melaksanakan aksi tersebut dengan tujuan untuk melawan impunitas hukum, baik yang berkaitan maupun tidak. Aksi kali ini masih dengan tuntutan yang sama seperti tanggal 9 Februari 2023, sebagaimana tercantum dalam surat terbuka. 

Tuntutan yang pertama, mengakui dan menyesalkan secara publik Peristiwa Tanjung 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000, serta Panial 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat dan menindaklanjuti pengakuan dengan membuka kembali penyidikan. Kedua, segera memerintahkan jaksa agung membentuk tim penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat 3 UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Ketiga, memastikan pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat secara efektif komprehensif dan menyeluruh, yaitu hak atas kebenaran keadilan pemulihan dan jaminan ketidak berulangan peristiwa. Keempat, menghentikan segala upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non yudisial karena akan melanggengkan impunitas.

Seperti yang dikatakan oleh seorang demonstran, Sumarsih yang merupakan orang tua korban saat tragedi Semanggi 1 bahwa selalu ada tuntutan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang dibuat kepada presiden. 

“Setiap surat kepada presiden selalu menyebut tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat, di samping tema surat yang dibuat kepada presiden,” ujar Sumarsih.

Selain itu, di luar memperjuangkan hak-nya Sumarsih juga mengaku tetap melakukan komunikasi dengan para pemangku jabatan yang berkaitan dengan HAM. 

“Kami juga tetap terus berkomunikasi dengan penguasa, misalnya Menkopolhukam ketika surat kami kepada presiden didisposisikan ke Menkopolhukam, kejaksaan agung. Saya selalu berkomunikasi dengan beberapa lembaga negara terkait pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sumarsih juga menolak adanya penyelesaian kasus HAM berat yang diselesaikan dengan Keppres No. 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.

“Kami juga menolak Keppres No. 17/2022, kami membuat spanduk tulisannya tolak Keppres pembentukan tim penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tuntutan kami, Indonesia adalah negara hukum, ya kasusnya harus diselesaikan secara hukum sesuai undang-undang yang berlaku, yaitu undang-undang pengadilan HAM,” pungkasnya. 


Penulis: Irvan Alvianto dan Haidhar Ali Faqih 


Editor: Nurma Nafisa



Posting Komentar

0 Komentar