Dalam euforia pembelajaran tatap muka pasca meredanya pandemi Covid-19,
reporter Journo Liberta berhasil mengulik kisah Mahasiswa asal Kota Padang,
Sumatera Barat yakni Mubariq Alfaridzi. Pengalaman kali pertama Alfaridzi
merasakan culture shock di Jakarta ialah ketika mencoba hidangan di Warteg. Menurutnya, penyediaan air minum
secara gratis di Warteg sangat ekonomis sebab banyak rumah makan yang pelit dalam hal memberi minuman gratis
kepada pelanggannya.
Dalam berkomunikasi, Faridz mengaku sedikit kesulitan untuk menyesuaikan
logat, sebab di daerah asalnya ia masih sering menggunakan bahasa daerah. Tak
jarang pula ia merasa dipandang sebelah mata oleh teman-temannya.
“Soalnya anak sini menganggap gue tuh enggak berbahasa Indonesia di
Padang, padahal ada (yang berbahasa Indonesia), tapi kami lebih menjunjung
tinggi bahasa daerah kami,” ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp pada Selasa
(8/3/2023).
Selain itu, kepadatan lalu lintas ibu kota juga turut menjadi culture
shock bagi Faridz karena hal itu kerap kali membuatnya harus bersabar saat
di tengah kepadatan lalu lintas tersebut. Meski begitu, ia tetap merasa bersyukur
karena sebagai anak rantau ia dapat hidup lebih mandiri. Dalam perantauannya,
Faridz mengaku jarang merasa kesepian sebab Faridz memiliki perkumpulan
primordial KMM (Keluarga Mahasiswa Minang) sehingga ia dapat terhindar dari
istilah homesick.
Tenggelamkan! Mungkin kata tersebut sangat
identik dengan peristiwa penenggelaman kapal asing pencuri ikan di Natuna, Kepulauan
Riau. Itulah asal daerah perantau berikutnya, Karin dari jurusan Bimbingan
Penyuluhan Islam. Karin sudah memulai kisah perantauannya sejak tahun 2020
sebelum ia berkuliah di UIN Jakarta.
Karena memiliki jam terbang yang sudah cukup lama, Karin mengaku tidak
merasa kesulitan dalam beradaptasi. Namun, Karin juga sempat mengalami culture shock dengan masyarakat Jakarta.
“Lebih ke bahasa sih, kayak sebutan uang (goceng, gopek, pekgo, dsb)
sama sebutan keluarga kayak encing, encang, dll. Terus kaget juga kalo orang
betawi tuh suka liburan bareng keluarga naek bis ke puncak,” ucapnya melalui direct message Instagram pada Selasa (8/3/2023).
Semenjak merantau, Karin merasa menjadi pribadi yang lebih mandiri dan
pintar dalam menyelesaikan masalah. Ketika sedang rindu dengan masakan rumah,
ia akan mencari tempat makan yang memiliki cita rasa yang sama dengan masakan
rumahnya.
Kisah rantau menarik juga dirasakan oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vita Latifa Aryani yang berasal dari Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat. Memutuskan berkuliah di UIN Jakarta mengantarkan
Vita pada pengalaman perdananya menaiki pesawat dan menginjakkan kaki di ibu
kota. Ia pun sempat berkeliling kota dan mengunjungi beberapa tempat wisata
seperti Monas dan Monumen Pancasila.
Segala hal yang berada di Jakarta merupakan pengalaman baru bagi Vita. Ia
harus beradaptasi dengan banyak hal, mulai dari makanan, bahasa, hingga moda
transportasi.
“Awal-awal kuliah masih belum pede
buat ngomong karena banyak yang masya
Allah di kelas. Tapi aku coba buat berani nanya dan aktif di kelas. Selain
itu di awal juga aku belum enak makannya karena lidah aku belum terbiasa sama
rasa masakan di sini. Soalnya makanan di Lombok itu pedas-pedas, sedangkan di
sini kebanyakan rasanya manis gitu. Oh iya, satu lagi yang aku rasa menarik itu
soal KRL dan TransJakarta soalnya di Lombok enggak ada kereta api,” curhat Vita
melalui WhatsApp pada Selasa (8/3/2023).
Vita mengaku sedikit kesulitan dalam berkomunikasi menggunakan kata ganti lo-gue sehingga ia harus menyesuaikan
diri dengan gaya bahasa warga Jakarta. Selain itu, perbedaan harga makanan dan
barang di ibu kota dengan tempat asalnya membuat Vita harus pintar dalam
mengatur keuangannya secara mandiri.
Penulis: Siti Nurhaliza Safitri
Editor: Putri Nadhila
0 Komentar