Far From Home, Lika-Liku Mahasiswa Rantau

 
Foto: JournoLiberta/Jesika Anjarwati Putri

JOURNOLIBERTA - Pembelajaran secara tatap muka kembali diberlakukan di UIN Jakarta pada tahun ajaran 2022/2023 seiring dengan meredanya penularan virus Covid-19. Area kampus mulai dipadati mahasiswa baik dari domestik maupun rantau yang bermuara di UIN Jakarta. Dibalik perjalanan mahasiswa rantau yang telah rela jauh dari orang tua dan keluarganya untuk menimba ilmu di UIN Jakarta, banyak kisah menarik mereka saat menjajaki dunia yang berbeda dari tempat asal mereka atau biasa disebut sebagai culture shock.

Dalam euforia pembelajaran tatap muka pasca meredanya pandemi Covid-19, reporter Journo Liberta berhasil mengulik kisah Mahasiswa asal Kota Padang, Sumatera Barat yakni Mubariq Alfaridzi. Pengalaman kali pertama Alfaridzi merasakan culture shock di Jakarta ialah ketika mencoba hidangan di Warteg. Menurutnya, penyediaan air minum secara gratis di Warteg sangat ekonomis sebab banyak rumah makan yang pelit dalam hal memberi minuman gratis kepada pelanggannya.

Dalam berkomunikasi, Faridz mengaku sedikit kesulitan untuk menyesuaikan logat, sebab di daerah asalnya ia masih sering menggunakan bahasa daerah. Tak jarang pula ia merasa dipandang sebelah mata oleh teman-temannya.

“Soalnya anak sini menganggap gue tuh enggak berbahasa Indonesia di Padang, padahal ada (yang berbahasa Indonesia), tapi kami lebih menjunjung tinggi bahasa daerah kami,” ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp pada Selasa (8/3/2023).

Selain itu, kepadatan lalu lintas ibu kota juga turut menjadi culture shock bagi Faridz karena hal itu kerap kali membuatnya harus bersabar saat di tengah kepadatan lalu lintas tersebut. Meski begitu, ia tetap merasa bersyukur karena sebagai anak rantau ia dapat hidup lebih mandiri. Dalam perantauannya, Faridz mengaku jarang merasa kesepian sebab Faridz memiliki perkumpulan primordial KMM (Keluarga Mahasiswa Minang) sehingga ia dapat terhindar dari istilah homesick.

Tenggelamkan! Mungkin kata tersebut sangat identik dengan peristiwa penenggelaman kapal asing pencuri ikan di Natuna, Kepulauan Riau. Itulah asal daerah perantau berikutnya, Karin dari jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam. Karin sudah memulai kisah perantauannya sejak tahun 2020 sebelum ia berkuliah di UIN Jakarta.

Karena memiliki jam terbang yang sudah cukup lama, Karin mengaku tidak merasa kesulitan dalam beradaptasi. Namun, Karin juga sempat mengalami culture shock dengan masyarakat Jakarta.

“Lebih ke bahasa sih, kayak sebutan uang (goceng, gopek, pekgo, dsb) sama sebutan keluarga kayak encing, encang, dll. Terus kaget juga kalo orang betawi tuh suka liburan bareng keluarga naek bis ke puncak,” ucapnya melalui direct message Instagram pada Selasa (8/3/2023).

Semenjak merantau, Karin merasa menjadi pribadi yang lebih mandiri dan pintar dalam menyelesaikan masalah. Ketika sedang rindu dengan masakan rumah, ia akan mencari tempat makan yang memiliki cita rasa yang sama dengan masakan rumahnya.

Kisah rantau menarik juga dirasakan oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vita Latifa Aryani yang berasal dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Memutuskan berkuliah di UIN Jakarta mengantarkan Vita pada pengalaman perdananya menaiki pesawat dan menginjakkan kaki di ibu kota. Ia pun sempat berkeliling kota dan mengunjungi beberapa tempat wisata seperti Monas dan Monumen Pancasila.

Segala hal yang berada di Jakarta merupakan pengalaman baru bagi Vita. Ia harus beradaptasi dengan banyak hal, mulai dari makanan, bahasa, hingga moda transportasi.

“Awal-awal kuliah masih belum pede buat ngomong karena banyak yang masya Allah di kelas. Tapi aku coba buat berani nanya dan aktif di kelas. Selain itu di awal juga aku belum enak makannya karena lidah aku belum terbiasa sama rasa masakan di sini. Soalnya makanan di Lombok itu pedas-pedas, sedangkan di sini kebanyakan rasanya manis gitu. Oh iya, satu lagi yang aku rasa menarik itu soal KRL dan TransJakarta soalnya di Lombok enggak ada kereta api,” curhat Vita melalui WhatsApp pada Selasa (8/3/2023).

Vita mengaku sedikit kesulitan dalam berkomunikasi menggunakan kata ganti lo-gue sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan gaya bahasa warga Jakarta. Selain itu, perbedaan harga makanan dan barang di ibu kota dengan tempat asalnya membuat Vita harus pintar dalam mengatur keuangannya secara mandiri.


Penulis: Siti Nurhaliza Safitri

Editor: Putri Nadhila


Posting Komentar

0 Komentar