Tingginya Kasus Dispensasi Pernikahan di Indonesia Timbulkan Dampak Buruk Psikologis


Ilustrasi: Journoliberta/Haris Rizki Saputra

JOURNOLIBERTA.COM- Pada tahun 2020 lalu kasus dispensasi pernikahan di Indonesia melonjak seiring dengan mewabahnya Covid-19. Data dari Badan Peradilan Agama mengungkapkan pada tahun 2020 tercatat ada lebih dari 60.000 kasus dispensasi pernikahan di Indonesia. 


Dispensasi pernikahan sendiri merupakan pemberian hak pada seseorang untuk menikah walaupun usia mereka belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Pada pasal UU Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, batasan usia minimal menikah di Indonesia bagi pria maupun wanita adalah 19 tahun. 


Adanya lonjakan kasus dispensasi pernikahan di Indonesia pada 2020 lalu disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) tingginya jumlah kasus dispensasi pernikahan disebabkan oleh banyaknya keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19. Akibatnya, beberapa dari mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya di usia muda.    


Dilansir dari dataindonesia.id, faktor lain penyebab lonjakan dispensasi pernikahan ialah karena adanya anak perempuan yang sudah terlanjur hamil di luar nikah. Selain itu juga karena adanya anggapan beberapa orang tua bahwa menikah lebih cepat (di usia remaja) akan melindungi anak mereka dari perbuatan zina.


Di samping itu, dilihat dari sisi psikologis, Dosen Psikologi UIN Jakarta Yufi Andriani menjelaskan penyebab adanya lonjakan kasus tersebut disebabkan oleh perasaan nyaman ketika memiliki pasangan, serta karena adanya tuntutan sosial, seperti dijodohkan. 


Kalau dari sisi psikologi, adanya rasa nyaman dan aman yang didapat ketika memiliki pasangan hidup, baik itu suami atau istri. Pernikahan dini bisa juga terjadi karena tuntutan sosial atau lingkungan, misal dijodohkan atau dalam keluarga yang bersangkutan memang banyak yang menikah di usia muda,” jelas Yufi dalam wawancara via Whatsapp, Rabu (8/3/2023).


Kendati demikian, adanya lonjakan kasus dispensasi pernikahan artinya menambah jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia. Pernikahan dini jelas membawa sejumlah dampak buruk yang salah satunya adalah dampak buruk dari sisi psikologis.


Dikutip dari halodoc.com sebuah studi yang diterbitkan oleh Journal of American Academy of Pediatrics, menemukan adanya dampak gangguan jiwa seumur hidup terkait pernikahan dini salah satunya adalah depresi. 


Yufi pun membenarkan adanya risiko atau dampak tersebut. Dimana menurutnya hal ini disebabkan karena usia anak atau remaja yang belum cukup dewasa serta pengalamannya belum cukup banyak dalam menghadapi berbagai masalah terutama masalah pernikahan.  


“Terkait dengan tugas perkembangan remaja dari sisi psikologis, remaja adalah waktunya mencari identitas diri, mempersiapkan masa depan dan banyak bersosialisasi. Ketika di usia yang belum matang dan belum punya banyak pengalaman dalam mengatasi masalah, maka ketika menghadapi masalah berat dalam pernikahan terutama, dan tidak menemukan solusi akan rentan terhadap depresi,” ujar Yufi.


Lebih lanjut, Yufi juga menyebutkan dampak atau risiko psikologis lainnya dari pernikahan dini. Misalnya, hilangnya rasa percaya diri.


“Hilangnya rasa percaya diri, mudah mengalami post partum depression,” timpalnya.


Memasuki kehidupan rumah tangga diusia remaja bukanlah hal yang mudah. Pernikahan diusia remaja lebih rentan menghadapi berbagai macam persoalan rumah tangga. Oleh sebab itu, beban psikologis tersebut tidak seharusnya dipikul anak usia remaja. 


Menanggapi hal itu, Dosen Psikologi Anak UIN Jakarta, Rachmat Mulyono mengungkapkan perlunya perbaikan pola pengasuhan oleh orang tua serta dari pendidikan oleh guru. Hal itu penting dilakukan agar anak usia remaja dapat memahami benar-salah, baik-buruk dan juga tangung jawab. 


“Inilah menurut saya yang sangat penting untuk diperbaiki dalam pendidikannya yaitu pengasuhan di rumah para orang tua dan Pendidikan di sekolah oleh para guru agar seimbang pertumbuhan dan perkembangan anak antara akil dan balignya. Dengan demikian, anak akan memahami dengan baik mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus didahulukan dan mana yang harus ditunda. Juga paham tanggung jawab,” usul Rachmat pada wawancara via Whatsapp, Kamis (9/3/2023) 


Penulis : Oktaviani Rizki Handayani

Editor: Putri Nadhila


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Kerja dulu baru menikah, atau menikah dulu baru kerja...? Yang mana yang bener ya...?

    BalasHapus