Tren Medsos Bahayakan Psikologis Anak, Orang Tua Perlu Awasi dan Kontrol Anak dalam Bermedsos

 

Foto: BlogInsanMedika

JOURNOLIBERTA - Pesatnya perkembangan teknologi yang membawa masyarakat pada transisi era digital mendorong munculnya beragam platform media sosial. Berbagai kemudahan dan beragam fiturnya yang menarik membuat media sosial kian diminati masyarakat global. Hal itu tampak dari adanya beberapa platform sosial media yang tengah populer di kalangan masyarakat, seperti Youtube, Instagram, TikTok, dan lainnya.

Menurut laporan data perusahaan media Inggris, We Are Social menyebutkan terdapat sebanyak 167 juta orang pengguna aktif media sosial di Indonesia pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri. Namun untuk pertama kalinya dalam satu dekade, jumlah pengguna tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.

Kemudahan akses media sosial memungkinkan penggunanya dari berbagai kalangan, tak terkecuali anak di bawah umur. Berbagai tren viral pun seringkali diikuti oleh kalangan anak-anak hingga remaja. Hal ini apabila tidak ada pengawasan orang tua, pengaruh media sosial tersebut akan berdampak secara langsung pada psikologis anak. 

Sebagaimana yang terjadi di SMP Bengkulu Utara pada 8 Maret lalu, sebanyak 52 siswi melukai tangan bersama-sama. Dilansir TribunBengkulu.com, pihak kepolisian memeriksa kasus ini yang
hasilnya adalah akibat dari mengikuti tren kekinian, sebagai tanda seolah-olah
ada gangster di sekolah.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Psikologi UIN Jakarta, Valendra mengatakan bahwa anak usia remaja cenderung memiliki keinginan untuk mencoba hal-hal baru dan mengambil risiko.

“Remaja itu merupakan risk taking and novelty seeking individuals. Jadi mereka memiliki keinginan untuk mengambil resiko dan kemungkinan berbahaya. Pengaruh dari complex feeling seperti takut akan penolakan, ingin terlihat hebat, sehingga mereka sulit mengerti konsekuensi ke depannya,” ujar Valendra, ketika diwawancarai via WhatsApp, Jum’at (24/3/2023).

Lebih lanjut, Valendra mengatakan bahwa seorang anak pada dasarnya adalah meniru dari apa yang dilihat. Terlebih perkembangan otak anak bagian Prefrontal Cortex yang berfungsi sebagai pusat pemikiran, perencanaan, pengambilan keputusan, emosi serta tanggung jawab belum matang secara usia sehingga belum dapat menginternalisasi dampak ke depannya.

“Menurut saya, karena kontrol diri atau regulasi diri anak belum sempurna. Maka orang tua harus bisa mengarahkan anak untuk belajar mengontrol atau memanage emosi anak. Kemudian, orang tua juga dapat membantu anak secara perlahan untuk mengolah stres atau menghadapi situasi sulitnya,” tambah Valendra.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menerapkan regulasi agar kasus seperti di SMP Bengkulu Utara tidak kembali terjadi. Pemerintah dapat melakukannya dengan mendukung program sekolah terkait pembinaan terhadap peserta didik atau program-program yang mengedukasi anak.

Valendra berharap untuk ke depannya, orang tua maupun orang dewasa di sekitar anak dapat menagwasi dan mengontrol apa yang dikonsumsi anak. Adapun pengawasannya dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan secara personal agar menjadi pertolongan pertama jika anak mengalami turbulensi dalam hatinya, emosi, pikiran, dan jiwanya. Orang tua juga dapat mengedukasi anak tentang hal baik atau buruk serta dampaknya, sehingga anak memilik simpati, empati, dan peka terhadap perasaannya.


Penulis: Tasya Nurhaliza Putri

Editor: Shinta Fitrotun Nihayah

Posting Komentar

0 Komentar