UIN Jakarta Darurat Kekerasan Seksual, Adakah Ruang Aman di Kampus?

 

Mahasiswa menyampaikan aspirasi saat aksi menyambut Hari Perempuan Internasional 2023 di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten Selasa (7/3/2023). Foto: Journoliberta/Raniah

JOURNOLIBERTA.COM - Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, melakukan seruan Aksi Hari Perempuan Internasional di depan Gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), pada Selasa (7/2/2023) kemarin. Dengan mengangkat tema “UIN Jakarta Darurat Kekerasan Seksual”, aksi ini berfokus pada pencegahan kekerasan seksual dan meminta adanya kesetaraan gender di kampus. 

Sehubungan dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang menjadi perhatian penting beberapa instansi untuk mengeluarkan regulasi hukum. Regulasi tersebut ditunjukkan sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, termasuk di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sehingga, para mahasiswa menyuarakan bahwa belum adanya penanganan konkret dari kampus selama 10 bulan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 573/2022 tentang pedoman pencegahan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, tidak ada sosialisasi lebih lanjut terkait SK yang telah dibuat oleh pihak rektorat.

Menanggapi hal tersebut, Anisa, mahasiswi Sejarah Peradaban Islam, Wakil Presiden Dema Fakultas Adab dan Humaniora menyatakan bahwa kesetaraan dan keadilan harus diperjuangkan. Di mana seperti saat ini perempuan selalu mendapat akses yang sangat terbatas.

“Kesetaraan dan keadilan harus diperjuangkan, di mana lagi-lagi, utamanya kaum perempuan selalu mendapatkan akses-akses yang terbatas, kesempatan yang terbatas, bahkan hak-haknya seringkali dirampas. Hal tersebut menjadi penyebab hingga saat ini gerakan perjuangan, gerakan feminisme dan gerakan kesetaraan itu selalu digaungkan,” ujarnya.

Anisa juga menambahkan adanya kekerasan seksual dilatarbelakangi oleh kesadaran edukasi setiap individu terkait kekerasan seksual yang masih kurang, ditambah dengan kurangnya ruang aman bagi perempuan di UIN Jakarta.

“Kekerasan seksual disebabkan karena kurangnya kesadaran edukasi setiap individu terkait kekerasan seksual ataupun yang berbau tentang gender, adanya relasi kuasa yang timpang, mungkin antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa lain. Selain itu, di UIN sendiri masih kurang ruang aman bagi perempuan, seperti unit layanan terpadu yang dibentuk oleh Unit Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA),” tambahnya.

Senada dengan Anisa, mahasiswi Sejarah Peradaban Islam, Feby juga mengatakan kekerasan seksual dapat disebabkan dari ketimpangan terhadap gender. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan perempuan dalam berbagai hal.

“Kekerasan seksual bisa juga disebabkan dari ketimpangan gender, jadi untuk itu perlu lebih banyak melibatkan perempuan, contohnya seperti dalam bersuara, dalam pemilihan keputusan dan lainnya,” katanya. 

Melihat bahwa kesetaraan gender harus diperjuangkan terlebih dalam instansi pendidikan, serta masih kurangnya sosialisasi mengenai kekerasan seksual, sehingga kurangnya akses bergerak bagi perempuan. Untuk itu Feby berharap pihak kampus dapat segera merespon keluhan mahasiswa dengan menciptakan ruang yang aman dan setara bagi perempuan.

“Harapan saya di kampus kita ini ada ruang yang setara untuk perempuan dan juga dibuat Unit Layanan Terpadu (ULT) sebagai tempat melapor jika mengalami hal-hal yang tidak diinginkan,” pungkasnya. 


Penulis: Norma Desvia Rahman dan Haidar Ali Faqih 

Editor: Nurma Nafisa

Posting Komentar

0 Komentar