JOURNOLIBERTA.COM- Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim resmi menghapus syarat tes baca, tulis, dan hitung (Calistung) sebagai seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Kebijakan tersebut diputuskan Nadiem setelah meninjau banyaknya miskonsepsi tentang calistung pada (Pendidikan Anak Usia Dini) PAUD dan SD/MI/sederajat kelas awal (kelas 1 dan 2) yang masih sangat kuat di masyarakat.
Kebijakan penghapusan calistung ini disampaikan Mendikbud Ristek Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode 24 bertajuk “Transisi PAUD ke SD yang menyenangkan”, Selasa (28/3/2023). Dilansir dari Kompas.com, Nadiem menyatakan, miskonsepsi calistung di masyarakat membuat anak seolah-olah harus bisa calistung saat hendak masuk SD. Tak hanya itu, miskonsepsi tersebut dikhawatirkan menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan akses pendidikan yang merata lantaran tidak lolos tes calistung.
“Bukan berarti calistung itu hal yang tidak penting diajarkan di PAUD, tetapi guru-guru PAUD memang sudah selayaknya fokus pada observasi anak dan pendidikan karakter anak, bukan mengajarkan calistung,” ungkapnya, dikutip dari Kompas.com, Rabu (5/4/23).
Menanggapi hal itu, Guru SD Islam Manaratul Ulum Depi Nurdiyani menyatakan tidak setuju terhadap kebijakan tersebut, dikarenakan pihak sekolah tidak dapat mengetahui kemampuan anak sebelum memasuki jenjang SD.
“Guru minimal harus mengetahui kemampuan calon siswanya sampai pada tahap mana, karena ketika diadakan psikologi tes di tempat saya mengajar, banyak siswa yang lolos SD walaupun sebenarnya belum bisa baca dan tulis,” ujar Depi via WhatsApp, Rabu (5/4/23).
Depi menambahkan, cara mengevaluasi kemampuan siswa yang belum menguasai baca, tulis, dan hitung yaitu pihak sekolah mengadakan les tambahan setiap hari setelah jam pulang sekolah, dengan waktu minimal satu jam. Cara tersebut tergolong efektif mengingat pentingnya kemampuan baca dan tulis bagi siswa dalam pembelajaran terutama saat mengerjakan soal.
Lebih lanjut, Depi menjelaskan bahwa kemampuan siswa berbeda-beda. Menurutnya, guru harus mempunyai strategi untuk mengukur kemajuan siswa dalam hal keterampilan berbahasa dan membaca tanpa menggunakan tes calistung.
“Kalau saya pernah mengajar dengan memakai kartu-kartu huruf atau metode cerita. Siswa dapat menyimak cerita dari gurunya dan siswa dilatih untuk menjelaskannya kembali, karena sesuai pengamatan saya, banyak siswa yang cenderung suka dan tertarik dengan metode tersebut,” jelasnya.
Dalam hal ini, Depi selaku guru SD sedikit khawatir akan diberlakukannya kebijakan tersebut. Menurutnya, tes calistung termasuk hal penting yang dapat memengaruhi kemampuan siswa dan kualitas pendidikan sekolah dasar.
Berbanding terbalik dengan Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Ridholloh mengatakan bahwa tes calistung yang diterapkan saat daftar SD memang ada manfaatnya. Tetapi, kerugiannya juga tak sedikit, seperti misalnya motivasi belajar siswa bisa menurun lantaran terbebani dengan kewajiban harus menguasai baca dan hitung yang terlalu dini.
“Saya setuju dengan kebijakan baru ini, karena dengan adanya tes calistung belajar bukan lagi hal yang menyenangkan dan tak jarang sampai pada tahap merenggut keceriaan anak di usianya,” jelas Ridholloh lebih lanjut, via WhatsApp, Kamis (6/4/23).
Ridholloh menilai penghapusan tes calistung ini akan membuat siswa SD Indonesia merasa bahagia ketika pergi dan pulang sekolah. Kesehatan mentalnya akan meningkat, dengan demikian, prestasi gemilang akan mudah diraih.
“Lantaran tak terbebani, siswa bisa jadi lebih mudah mengeluarkan bakat dan minatnya,” tutur Ridholloh.
Kendati demikian, menurut Ridholloh, penghapusan tes calistung tidak akan menghambat kemajuan anak di jenjang perguruan tinggi. Kebijakan tersebut justru akan berdampak positif bila dilakukan serentak di sekolah dasar seluruh indonesia.
“Dampaknya pasti akan positif, karena belajar dan menghitung bisa dilakukan pada tahap SD, bukan jenjang Taman Kanak-kanak (TK) seperti yang selama ini marak terjadi di tanah air,” lanjut Ridholloh.
Sehubungan dengan itu, Ridholloh mengungkapkan, sekolah harus beradaptasi seoptimal mungkin. Terutama yang diubah pola pikirnya adalah civitas akademika, bahwa sekolah ini untuk kebaikan generasi Indonesia.
“Sektor pemerintah juga wajib menggelar seminar edukasi agar masyarakat mengetahui asas manfaat yang akan didapat dari penghapusan tes calistung ini,” pintanya.
Lebih lanjut, menurut Ridholloh, guru yang terbaik adalah guru yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Sebagaimana kalam sahabat Ali. ra: “Didiklah anak kalian sesuai dengan zaman mereka, bukan dengan zaman kamu dahulu ketika belajar.”
“Dengan demikian, guru harus ekstra sabar dalam menghadapi permasalahan membimbing anak yang baru belajar baca dan tulis dengan menghadirkan pembelajaran yang aktif, inovatif, menyenangkan, dan berbobot,” pungkasnya.
Penulis: Titania Isnaenin Azizah
Editor: Shinta Fitrotun Nihayah
0 Komentar