JOURNOLIBERTA.COM – Beberapa waktu lalu, aliansi mahasiswa di Indonesia melakukan Aksi Demonstrasi menuntut penolakan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) Kamis (6/6/2023). Begitu juga dengan mahasiswa UIN Jakarta yang turut andil dalam aksi tersebut. Namun, dalam pelaksanaanya terdapat perbedaan komando dan kubu dalam aksi demo mahasiswa UIN Jakarta.
Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) UIN Jakarta Muhammad Fadhil Bilad mengatakan, perbedaan tersebut sangat memungkinkan terjadi sebagai bentuk dari adanya gelombang demonstrasi mahasiswa.
“Ketika ada perbedaan waktu, hal itu merupakan bentuk dari adanya gelombang demonstrasi dari mahasiswa. Yang terpenting adalah tidak ada yang mengklaim bahwa gerakan aksi yang dilakukan oleh satu aktor itu benar sedangkan gerakan aksi yang dilakukan oleh aktor lainnya salah, karena pada prinsipnya, selagi yang disuarakan adalah tentang kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa maka semua gerakan aksi adalah benar,” ucapnya, Senin (10//4/2023).
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta, Abid Al-Akbar menjelaskan bahwa terbaginya massa aksi dikarenakan belum tercapainya kesepakatan konsolidasi yang telah terlaksana. Menurutnya hal itu wajar karena di luar kendali Dema-U.
“Dalam pelaksanaan aksi kenapa bisa terbagi dua sebenarnya ketika konsolidasi bersama Sema-U, teman-teman Dema-U sudah mengajak agar bergerak bersama di tanggal 6 dengan teman-teman BEM UI kemudian Trisakti sehingga gerakan ini menjadi besar. Tapi hasil dari konsolidasi itu belum bisa ikut bergabung, kita mewajari dan memaklumi itu karena itu di luar kontrol kita,” ujarnya saat diwawancarai, Jumat (7/4/2023).
Abid juga menjelaskan bagaimana adanya perbedaan gerak aksi yang disebabkan konsolidasi yang dilakukan oleh Dema-U dan Sema-U berbeda, Jika ada gerakan masing-masing bukanlah sebuah masalah tetapi lebih baik jika bersama.
"Perbedaan itu ketika konsolidasi hasil aksi yang kemarin tanggal 5 dan 6 April itu kan sebelumnya tanggal 20 Maret. Hasil kesepakatan setelah aksi kita mengadakan konsolidasi akbar yang lebih besar, kita sepakati di Trisakti tanggal 29 Maret. Kemudian teman-teman dari Sema UIN Jakarta belum hadir. Kampus-kampus yang hadir bersama Sema UIN Jakarta justru mengadakan konsolidasi tanggal 30 dan kita tidak memaksakan hal itu dan mempersilakan karena kalau mau membuat gerakan masing masing tidak apa tetapi sebenarnya alangkah baiknya gerakan itu menjadi satu," jelasnya.
Sementara itu, aktivis mahasiswa Tiara De Silvianita menyatakan, tepat waktu atau tidak hingga terbagi menjadi dua lokasi berbeda itu tergantung konteks. Menurutnya, perbedaan tersebut kehadiran hanya masalah teknis komunal.
“Aku percaya bahwasannya localized action adalah proses mekanisme yang menjembatani isu lebih luas, di mana muncul gerakan-gerakan secara terpisah sesuai dengan konteks lokal. Lagi-lagi tergantung konteks, apakah ‘terbagi dua’ merupakan strategi yang sengaja dilakukan sebagai upaya desentralisasi isu atau karena ego sektoral?” ungkapnya, Rabu (11/4/2023).
Lebih lanjut, Tiara mengungkapkan, proses persaingan dalam hal ‘politik mahasiswa’ bisa menjelma melalui frame disputes.
“Pembuatan bingkai (framing) dalam gerakan meliputi proses diskursif, strategis, dan persaingan. Proses persaingan dalam hal ‘politik mahasiswa’ bisa menjelma melalui frame disputes, yakni terjadi perselisihan antar pendukung gerakan mengenai kesesuaian identifikasi isu persoalan dan gambaran yang seharusnya dilakukan untuk mencapai kondisi ideal,” ujarnya.
Kendati demikian, Ketua Sema dan Dema UIN Jakarta mengharapkan kesadaran bahwa kebersamaan dalam aksi merupakan sebuah kekuatan jika disatukan. Jika ada hambatan sebaiknya diselesaikan bersama. Bagaimanapun yang mengatasnamakan UIN tetaplah UIN, tidak ada yang mengatur tentang leading dalam dunia gerakan karena semua dikembalikan kepada keinginan massa aksi, semua bebas menyampaikan ekspresinya di muka umum.
Penulis: Irvan Alfianto, Nabilah
Editor: Shinta Fitrotun Nihayah
0 Komentar