Memutus Pembungkaman Pers Melalui Gerak Aktif Mahasiswa

 
Foto: Medcom.id

JOURNOLIBERTA.COM - Pembungkaman terhadap pers yang tengah menyuarakan kebenaran masih kerap kali terjadi. Pembungkaman tersebut berupa ancaman atau penyerangan secara digital, kekerasan fisik oleh aparat hukum, dan bahkan dapat menghilangkan nyawa pekerja pers.

Padahal, menurut ahli hukum konstitusi sekaligus dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa pers dan jurnalis merupakan bagian dari demokrasi. Menurutnya, bentuk kritik yang dilakukan oleh pers merupakan salah satu aspek penting dalam membangun demokari dan negara hukum.

“Kita mesti bergeser dari cara pandang pers yang bertanggung jawab sebagai bentuk kepatuhan pada penguasa tanpa kritik. Hanya dengan cara inilah demokrasi dan negara hukum bisa dibangun,” ujar Bivitri, pada acara Kuliah Umum Jurnalis Melek Hukum: Menyuarakan Kebenaran dan Tanggung Jawab oleh Program Studi Jurnalistik UIN Jakarta, Selasa (20/06/2023).

Lebih lanjut, Bivitri menyatakan bahwa sebenarnya perangkat hukum mengenai pers di Indonesia sudah mumpuni.

"Kita punya undang-undang pers yang sangat mendasar dan menurut saya itu sudah bagus karena semangatnya (untuk) keterbukaan," tuturnya.

Sayangnya, masih terdapat kecacatan yang mencederai kebebasan pers itu sendiri. Pertama, adanya dominasi politis dalam kepemilikan media. Kedua, adanya pembungkaman oleh penguasa juga pengusaha demi kepentingan pribadi.

"Yang jadi masalah menurut saya ada dua. Pertama, kepemilikan media. Media bagaimanapun adalah perusahaan yang pemilik modalnya merupakan politisi yang cara mereka untuk berkuasa itu punya media. Mereka dengan aktif membeli media sebagai saluran aktif mereka. Kedua, pembungkaman oleh penguasa dan pengusaha yang punya duit tidak ingin bisnis kotor benturan kepentingan dibongkar oleh media,” jelasnya.

Senada dengan itu, Kepala Prodi Jurnalistik, Bintan Humeira juga menyatakan kebebasan pers di Indonesia belum terlaksanakan secara efektif. Menurutnya, saat ini masih banyak sekali kasus kriminalisasi terhadap pers yang membuat para jurnalis menjadi ragu dalam mengungkapkan kebenaran.

"Tidak semudah itu kita melakukan pemberitaan kebenaran di era yang sekarang karena kita tau betul banyak sekali kriminalisasi terhadap pers jadi mau tidak mau yang akhirnya membuat jurnalis jadi khawatir atau menjadi penuh keraguan untuk mengungkapkan kebenaran ketika apa yg mereka lakukan sebagai bagian dari praktek kebenaran itu kemudian bisa dikriminalisasi melalui undang-undang atau aturan," tuturnya, Selasa (20/6/2023).

Melihat masih banyak kebebasan pers yang dibungkam, Bivitri mengajak para mahasiswa untuk lebih aktif mengikuti forum-forum diskusi dan juga aktif dalam gerakan-gerakan melawan pasal-pasal yang membungkam kebebasan pers.

"Diskusi seperti ini harus digiatkan supaya orang tahu bahwa jurnalis itu ada konteks Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan pers yang harus dilindungi jadi nggak boleh jurnalis mendapatkan kekerasan dari siapa pun," katanya.

Lebih lanjut, Bintan berpesan kepada mahasiswa apabila ingin mengkritik maka kritiklah dengan cara yang baik karena melalui cara kita mengkritik bisa menggambarkan bagaimana diri kita.

"Ketika ingin di kritik, kritiklah dengan cara yang elegan karena cara kita mengkritik itu kan menunjukan kita (menunjukan kepribadian, sikap atau sifat kita). Jangan sampai niat kita ingin mengkritik, tapi malah membuka bahwa kita sebagai orang yang tidak punya manner (tata krama) atau tidak punya cara yang etis gitu," pungkasnya. 

Penulis: Oktaviani Rizki Handayani dan Siti Nurhaliza Safitri

Editor: Nurma Nafisa

Posting Komentar

0 Komentar