JOURNOLIBERTA.COM – Menentukan pilihan untuk memiliki buah hati bukanlah keputusan yang mudah bagi setiap pasangan. Terlebih, banyak hal yang harus dipersiapkan bahkan sedari saat perencanaan kehamilan. Lantas tidak jarang kehamilan terjadi dengan tidak adanya kesiapan dan berujung pada tindakan pengguguran kandungan atau aborsi.
Mengutip dari alodokter.com, terdapat beberapa
alasan bagi seorang wanita dalam memutuskan untuk melakukan tindakan aborsi,
seperti hamil di luar nikah, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya dukungan
keluarga serta masalah dengan pasangan.
Padahal,
dilansir dari halodoc.com,
tindakan aborsi berisiko komplikasi kesehatan seperti infeksi rahim
(uterus), kegagalan mengeluarkan sebagian atau semua jaringan kehamilan dari
rahim, pendarahan, hingga kerusakan pada rahim atau leher rahim (serviks).
Selain itu, aborsi juga berpotensi menyebabkan melemahnya
serviks yang dapat memicu kelahiran sebelum waktunya atau prematur. Sebuah
penelitian di Kanada pada tahun 2013 menemukan bahwa wanita yang pernah
melakukan aborsi meningkatkan kemungkinan dua kali lebih besar untuk memiliki
anak prematur yang sangat dini, yaitu kehamilan selama 26 minggu. Bayi yang
lahir sebelum usia kandungan 37 minggu memiliki peluang hidup yang lebih
rendah. Jika bertahan hidup, bayi memiliki risiko cacat yang tinggi, seperti
cerebral palsy, gangguan intelektual, gangguan perkembangan psikologis dan
autisme.
Meski begitu, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
masih menyatakan tingginya angka aborsi di dunia, yakni sekitar 73 juta aborsi
yang diinduksi terjadi di seluruh dunia setiap tahun. Enam dari 10 atau sekitar
61 persennya merupakan tindakan aborsi atas kehamilan yang tidak diinginkan,
dan tiga dari 10 atau sekitar 29 persennya dari semua kehamilan.
Di Indonesia, tindakan aborsi telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana aborsi merupakan tindak pidana yang
dilarang dan dapat dikenakan sanksi bagi pelanggarnya. Namun, dalam UU
Kesehatan, aturan tindakan aborsi dapat dilakukan bagi mereka yang memiliki
indikasi darurat medis dan bagi korban pemerkosaan untuk mengaborsi
kandungannya.
Demikian juga dalam Islam, para ulama memiliki
pandangan yang berbeda atas tindakan aborsi. Merujuk
dari buku Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif
Islam karya Istibsjaroh, sebagian besar ulama Hanafiyyah mengemukakan bahwa
aborsi boleh dilakukan sebelum janin berusia 120 hari. Sebagian besar ulama
Syafi'iyah berpendapat aborsi boleh dilakukan sebelum usia janin mencapai 40-45
hari.
Sementara
sebagian besar ulama Malikiyyah, Imam al-Ghazali, Ibn al-Jawzi, dan Ibn Hazm
al-Zahiri sepakat bahwa aborsi hukumnya haram secara mutlak. Beragamnya
pendapat ulama terkait aborsi mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan Fatwa MUI 4/2005 demi mengatasi simpang siur dalam masyarakat.
Dengan
berbagai pertimbangan berdasar pada al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan
pendapat ulama klasik, MUI menetapkan bahwa aborsi haram apabila dilakukan
sejak terjadi implantasi blastosis pada dinding rahim. Aborsi juga diharamkan
bagi kehamilan akibat perzinaan.
Lebih lanjut,
MUI juga menetapkan aborsi diperbolehkan apabila terdapat uzur (pengecualian),
baik bersifat darurat maupun hajat. Keadaan darurat yang dimaksud ialah apabila
sang ibu memiliki penyakit fisik akut atau apabila kehamilan dapat mengancam
nyawa sang ibu.
Sedangkan keadaan hajat
adalah ketika janin terdeteksi memiliki cacat genetik yang sulit disembuhkan.
Selain itu, kehamilan akibat pemerkosaan juga termasuk dalam kategori hajat dan
sah untuk diaborsi. Dalam hal ini, aborsi boleh dilakukan sebelum janin berusia
40 hari dengan fasilitas kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah.
Penulis: Siti Nurhaliza
Editor: Shinta Fitrotun
0 Komentar