JOURNOLIBERTA.COM – Kekerasan seksual semakin mengkhawatirkan masyarakat usai banyak kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan, salah satunya adalah perguruan tinggi. Pada tahun 2023, jumlah kasus kekerasan di perguruan tinggi mengalami peningkatan yang signifikan yakni dari 12 menjadi 37 laporan kasus.
Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan selama 21 tahun sejak 2001 menunjukkan bahwa, jumlah kasus kekerasan berbasis gender meningkat setiap tahunnya dengan total mencapai 3,8 juta laporan. Meski begitu, sebagian besar korban cenderung memilih diam dan enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami. Hal ini biasanya disebabkan oleh rasa takut akan konsekuensi yang korban terima nantinya.
Salah satu pihak Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta, Wiwi Siti Sajaroh mengungkapkan beberapa faktor di balik peningkatan kasus kekerasan seksual.
“Kasus kekerasan terjadi karena ada pengaruh dari media sosial, akhlak yang kurang, pemahaman agama, hingga pandangan terhadap perempuan yang menilai secara fisik. Sehingga dalam hal ini, perempuanlah yang paling mudah mendapat tindakan kekerasan seksual,” ucapnya saat diwawancarai di Theater lantai 2 FDIKOM, UIN Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Lebih lanjut, Wiwi menggarisbawahi pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan melalui Workshop Literasi Anti Kekerasan Atas Nama Agama di Perguruan Tinggi oleh Program Studi Jurnalistik UIN Jakarta, Selasa (24/10/2023).
“Hal yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan adalah ketaqwaannya, bukan jenis kelaminnya. Sehingga keduanya memiliki kesetaraan yang sama, baik itu secara spiritual, intelektual, dan physical,” tegasnya.
Kemudian, Pengurus SATGAS Tindak Pidana Kekerasan Seksual R3 FDIKOM UIN Jakarta, Siti Napsiyah menyebutkan dampak-dampak yang terjadi bagi para korban kekerasan seksual. Di antaranya adalah dampak psikologis, trauma, dan ketakutan yang dialami korban.
“Intinya seseorang harus berhati-hati dengan ucapan, perbuatan, dan perlakuan yang tidak pantas. Karena sekarang ini jamannya mudah viral dan proses hukum bisa dengan cepat dilakukan,” lanjutnya.
Adapun, upaya untuk mengatasi kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dapat dilakukan sosialisasi kepada sivitas akademika. Dalam hal ini, Wiwi menyebutkan bahwa UIN Jakarta telah menyediakan fasilitator yang bertugas menerima dan menangani pengaduan korban.
“Kami menamakan dengan nama Rumah Ramah Rahmah atau R3 yang mana memberikan tempat bagi para korban untuk berani melaporkan jika terjadi tindakan kekerasan,”ucapnya.
Keberadaan R3 di setiap fakultas memberikan kemudahan bagi siapa pun, baik itu dosen, pejabat, atau mahasiswa, untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Hal ini merupakan langkah konkret untuk memastikan bahwa para korban merasa didengar, dilindungi, dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
0 Komentar